Bab 49. Sekadar Basic

1079 Kata
"Balik lagi, Mas?" tanya Mia yang hendak keluar dari kamarnya. Ia cukup tersentak karena Akram kembali lagi. "Iya." "Nggak jadi cari udara segar?" Akram meggeleng. Ia membelakangi pintu agar Mia tidak bisa keluar. Ada rasa iseng yang muncul begitu saja. "Jendelanya ditutup saja," ujar Akram. "Ditutup? Kenapa ditutup?" Akram memutar bola mata. Ia harus menahan Mia. Ia tidak mau istrinya pergi dari kamar. Terlebih bertemu dengan Frans. "Kalau mau pake AC harus rapat, kan? Kedap udara." "Oh, Mas mau ngadem di sini?" Akram mengangguk kecil. Mia pun berbalik. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Segera Mia menaiki kembali tempat tidurnya sama persis seperti tadi. Akram terus mengamati. Mia menyambar remote AC untuk kemudian menyalakannya. "Dua enem ya, Mas?" "Ya?" "Dua enem cukup, kan?" "Apanya yang cukup?" Akram kehilangan fokus. Ia masih setia memegang kenop pintu sambil tetap mempertahankan gaya angkuhnya. "Udah dingin, kan? Masa nggak kerasa?" Jemari Mia asyik memainkan remote. Seharusnya dua puluh enam derajat celcius sudah cukup. "Oh, itu? Ya." Akram seperti orang bodoh. Ia tersihir dengan tingkah random Mia. "Sebelah sini, Mas lebih kerasa," ujar Mia. Saat baru pertama dinyalakan udara yang ada memang belum mengisi seluruh ruangan. Posisi Akram kurang tepat. Akram pun menggaruk tengkuk. Artinya mereka harus berdekatan. Sejak tadi rasanya ada yang tidak beres di hatinya. "Gimana? Oke, kan?" "Oh, iya." Akram berpura menikmati aliran udara itu meski tetap saja ia merasa gerah. Mia dengan santainya berlagak seperti anak kecil yang pipinya tertiup angin. Ia juga menghirup dalam-dalam udara tersebut. Mia yang keras kepala dan memaksakan diri. "Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Refleks Akram menepuk punggung Mia karena memang posisi duduk mereka cukup dekat. "Kamu nggak apa-apa?" "Uhuk! Uhuk! Huaaaaaaappppp!" Mia kesulitan bernapas. "Kamu kenapa Mia? Keselek angin?" "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Wajah Mia memerah. Akram pun panik. Mia benar-benar seperti orang tersedak. Akram menyamankan diri untuk terus menepuk punggung Mia. "Ma--af, Mas. Beneran kemakan ini. Masuk anginnya," celetuk Mia. Tadi tanpa sengaja ia memang menghirup sekaligus melahap angin itu. Akram pun terkekeh. Istrinya yang sebenarnya cukup konyol. Angin dimakan? Mana ada? Mia menjura. Ia legakan sendiri perasaanya dengan mengusapnya. Disamping bantuan Akram di punggungnya. Rasanya ada kehangatan yang mengalir pada usapan itu. Mia cukup terharu. "Ehemmm!" Akram berdeham. Tanpa sadar terlalu lama tangannya mengusap punggung Mia. Ia pun segera menurunkannya. Mia berbalik. Ia berikan senyum terbaiknya. "Makasih, Mas." Akram mengangguk kecil. Ia mengalihkan pandang. Ia harap Mia tidak menyadari perubahan rona wajahnya. Di rumah ini, ia jelas tidak punya tempat bersembunyi. Mau tidak mau ia harus berada di kamar itu, berdua saja dengan Miana Agya. Selintas isi surat yang sempat ia baca menyapa. Akram meraba saku celananya. Namun, ia urung menunjukkannya. Masih belum waktunya. Mungkin nanti saat hatinya benar-benar siap. Mia terdiam. Ia memikirkan lebih jauh pun tidak berani. Begini saja. Cukup begini bagi Mia sudah istimewa. Sekadar berdiam diri tanpa aliran kata atau canda sudah membuat hatinya berbunga. Danial Akram suaminya, pada akhirnya menganggap hadirnya meski belum utuh sempurna. Mia tak berani menuntut lebih. Ia tahu benih itu akan bersemai saat waktu terbaiknya tiba. Menunggu adalah satu hal yang bisa ia lakukan. *** Frans bukanlah pria bodoh tanpa perhitungan. Meski hatinya terbakar, ia tetap melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Ia juga bukan tipe orang yang tidak tahu balas budi. "Gimana? Ada gambaran?" tanya Frans saat ia menjelaskan sedikit tentang manajemen toko pada Mia dan Akram. Ia membuat penjelasan yang cukup sederhana. Mia menggeleng. Ia jarang sekali membaca buku tentang bisnis. Ia di pesantren hanya disibukkan dengan hafalan dan hal-hal yang berbau dengan agama. Sementara Akram cenderung tidak peduli. "Kamu dulunya jadi crew store kan, Kram? Masa nggak paham?" Akram mengangkat bahu. Ia melirik sekilas pada tumpukan buku yang disodorkan Frans. "Saya ma cuma tukang nata barang, Kak. Istilah crew store nggak ngenal." "Lah orang yang cheking barang, natain kemudian laporan itu ya crew store, Kram." "Ya saya nggak ngenal itu, Kak. Taunya ngikut arahan Mas Danang aja." "Mas Danang? Siapa Mas Danang?" tanya Frans heran yang diikuti dengan Mia. "Atasan saya, Kak." "Chief store?" "Ya apa ya. Menejer kali." Akram menyilangkan kaki. Ia tak terlalu bodoh tapi memang malas menanggapi Frans lebih lama. Setelah solat isya berjamaah mereka makan malam bersama dan berujung di sofa lantai dua. "Kamu?" Frans menunjuk Mia. Namun, ia sadar adiknya jelas tidak paham. Frans pun mengacak rambutnya frustrasi. "Kata Bapak kan yang biasa aja, Kak. Nggak usah pakai istilah asing," ujar Mia. Pesan ayahnya saat berkumpul di meja makan masih ia ingat. "Nah betul itu. Kita kan cuma lulusan SMA. Mana tau yang begitu," timpal Akram. Frans kian frustrasi. Dua adiknya ralat yang satu adik ipar sama-sama tidak tertarik dengan bisnis. Keduanya memiliki karakter yang hampir sama. Frans pun mendudukkan diri di sofa. "Uluh, uluh ada apa ini? Serius amat belajarnya?" kelakar Sufi yang datang membawa beberapa potong buah. Rasanya saat ketiga anaknya berkumpul, kurang afdhol saat ia belum menyuguhkan hidangan tambahan. "Makasih, Bu," ucap Mia sambil menerima piring dari ibunya. "Iya, Nduk. Siapa tau camilannya kurang." Sufi melirik meja yang sudah bersih dari toples dan hanya berganti buku-buku. "Kak Frans, Bu." "Iya, paham. Kamu mana rajin belajar, Mia. Kamu hobinya kan ngegambar," celetuk Sufi. Mendengar hal itu Akram tersenyum miring. Ya, Frans terlalu berlebihan. "Biar paham, Bu," timpal Frans. "Iya, paham, Frans. Tapi urusan dagang itu bukan soal untung rugi saja. Ada nilai kebermanfaatan di sana. Jangan sampai usahanya murni hanya untuk memperkaya diri." Sufi jelas paham suaminya memberikan toko untuk Mia dan Akram tidak serta merta demi keuntungan. Ada maksud lain di sana. "Iya, Bu. Cuma harus tau basicnya dulu." "Basic? Apa basic?" "Pakai bahasa arab aja, Kak. Ibu malah ngerti," timpal Mia. "Jowo alus mawon, Bu," kelakar Akram. "Njih, yo, Mas Akram. Mudah dipahami." Mia, Sufi dan Akram tersenyum mendengar bahasan mereka sendiri. Sementara Frans hanya bisa menggeleng. "Dah, pada makan buah aja biar sehat. Belajarnya besok lagi. Udah jam sembilan waktunya istirahat." Refleks Akram dan Mia melihat ke arah dinding. Ya, sudah jam sembilan malam. Mia dan Akram tanpa sengaja saling melihat. Pandangan mereka bersirobok. "Nanti sekalian bawa ke bawah sama matiin lampu ya, Mia." "Ya, Bu." "Frans, kamu juga istirahat. Ingat sayangi badan sebelum menyayangi orang lain," tukas Sufi sambil mengulas senyum. Sontak hal itu mengundang tawa bagi Mia dan Akram. Frans cukup jengkel. Namun, saat itu ibunya sendiri ia tidak bisa menimpali. Ia biarkan dirinya menjadi objek candaan. Sambil membereskan buku-buku ia mencuri pandang pada adiknya. Bagaimana Mia tampak begitu lepas tertawa dan sangat cantik di matanya. Frans menundukkan pandangan. Ia tidak boleh terus-terusan terjebak dalam perasaan yang tidak semestinya berkembang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN