Akram berjalan keluar dari kamar yang baginya terasa pengap. Bagaimana tidak saat Mia kembali menunjukan sisi lain yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya.
"Sengaja tidak menyalakan AC? Yang benar saja." Akram terus menggeleng. Ia kembali menuruni anak tangga. Ada seseorang yang harus ia sapa.
Akram seperti tidak terlalu mempedulikan lagi rasa canggung yang kadang ia miliki. Saat memutuskan datang ke rumah mertuanya sore ini, ia membawa sedikit perasaan yang berbeda. Kotak kayu itu cukup membantunya mengingat fakta bahwa orang pertama yang memberi dukungan padanya bukanlah Nasha melainkan Mia. Sementara waktu, Akram akan menyimpan itu untuk dirinya sendiri.
"Mau ke mana woi!" seru Frans yang seperti sudah menunggu kedatangan Akram. Sontak Akram menoleh. Frans meminta agar Akram mendekat padanya lewat gerakan tangan.
"Sial," desis Akram. Ia tidak mungkin tidak menyapa kakak iparnya.
"Nyari bapak?" tanya Frans langsung ke inti. Saat Akram menuju taman belakang, kepentingannya pasti itu.
Akram mengangguk kecil. Meski tidak mutlak dugaan Frans benar, ia setuju saja. Akram mengantongi tangannya. Ia enggan mengulurkannya lebih dulu.
"Bapak lagi sama Pak Asep. Tunggu di sini saja." Frans menunjuk gazebo yang berada tak jauh dari posisinya. Gazebo itu adalah tempat khusus untuk membahas sesuatu di keluarganya.
Akram teringat pernah duduk di sana. Saat itu bersama Mia. Ia tidak pernah menduga bahwa mertuanya mengusirnya secara halus. Tanpa sadar, Akram menarik garis bibir.
"Ada yang salah?"
Segera Akram menggeleng. Ingatan itu jelas hanya ia yang memiliki. Frans tidak termasuk di dalamnya.
"Tidak," jawab Akram. Singkat dan memang tidak perlu terlalu mengakrabkan diri. Ia merasa cukup hanya dengan seperti itu.
Frans sedikit kesal. Ia mendekat beberapa langkah. Beberapa bulan lalu, ia sudah mencari tahu tentang siapa Danial Akram. Ia juga sudah mengantongi rencana besar milik ayahnya. Ia pun mengikuti Akram dari belakang.
"Di gazebo!" seru Frans menunjuk tempat pertemuan mereka. Seharusnya Akram sudah tahu.
Akram hanya melirik sekilas. Tujuannya bukan bersantai di Gazebo melainkan mencari udara segar seraya menemui Pak Asep. Ia butuh teman untuk mengobrol. Namun, Frans menyabotasenya lebih dulu.
"Bapak lagi cek bunga sebentar. Kita diminta nunggu sini," ujarnya menangkap gelagat aneh Akram. Sementara Akram menampakkan kesan masa bodoh.
"Ke depan bakal lebih banyak momen kayak gini. Nggak usah cangguh," kelakar Frans. Ia mendudukkan diri di Gazebo. Mengawali sesi pertemuan mereka.
Akram yang sudah telanjur memasang wajah tak menyenangkan itu pun terpaksa mengikuti permintaan Frans. Meski sekali lagi menurunkan harga dirinya.
"Wah wah sudah berkumpul?" seloroh Agit yang datang setelah memeriksa beberapa bunga di kebunnya.
Frans dan Akram refleks berdiri. Mereka sedikit membungkuk sebagai bentuk penyambutan pada Agit.
"Dah, dah. Duduk saja." Agit mengajak Frans dan Akram kembali duduk. Mereka bertiga secara bersamaan pun melakukannya.
"Udah lama nunggunya?" tanya Agit pada Frans. Memang mereka ada janji temu bersama.
"Belum, Pak."
"Kalau Akram?"
Akram tidak tahu apa-apa. Ia hanya berencana mencari udara segar demi menghalau semua kecamuk rasa yang disebabkan oleh istrinya. Sungguh, duduk seperti itu di dekat jendela dan .... Akram buru-buru menggeleng.
"Akram belum Frans kasih tau, Pak. Kebetulan sudah ada di sekitaran sini."
"Oh, begitu? Baguslah. Malah tidak perlu manggil dulu."
"Iya, Pak."
"Ya sudah kalau begitu Bapak mau langsung ke intinya saja. Frans, tentu kamu sudah paham mengingat ini keahlianmu. Dan untuk Akram...." Agit menjeda. Ia perlu membentuk karakter menantunya. "Untuk Akram nanti ikutin arahan Frans, ya."
Sejenak Akram meragu. Ia berusaha mencerna perkataan mertuanya. Mengikuti arahan artinya?
"Begini, Kram. Kalian kan sudah menikah. Kalian juga sudah mulai tinggal di rumah sendiri. Ndak mungkin kan kalau misal seorang kepala keluarga tidak bekerja."
Akram pun mulai mengerti arah pembicaraan ini. Cukup menyentak dan tentu sedikit membuatnya tersinggung. Yang meminta untuk resign bukanlah dirinya.
"Bapak tau sebelumnya Akram sudah ada pekerjaan. Bapak juga ngerti Akram melepaskannya demi Mia. Maksud Bapak, mulai besok kamu sama Mia yang akan mengurus toko baru Bapak. Sengaja Bapak siapkan sebagai bekal kalian."
Mungkin beberapa orang akan menganggap Akram sangat beruntung. Ia menikah dengan putri juragan tanaman kapulaga, pengusaha karpet, dan juga pemilik beberapa toko besi dan bangunan. Namun, baginya ini sangat memalukan. Ia yang seharusnya bisa bekerja sesuai dengan kemampuannya terpaksa harus menuruti kemauan mertuanya.
"Kalian nanti lihat-lihat. Sementara waktu nanti yang bantuin Frans. Dia pengalaman. Kuliah di luar negri buat ngurus toko-toko. Bapak nggak paham istilahnya. Dia Bapak suruh pulang buat handel yang lain, tapi katanya nggak mau. Baru sekarang, anak bapak yang ganteng ini berkenan. Itu karena kalian. Toko milik kalian."
Rasanya saat Agit menyebut kalian benar-benar menikam hati Akram. Jelas-jelas toko itu milik Mia. Bukan miliknya. Ia hanya mengambil alih tanpa mengeluarkan sedikit pun jerih.
Akram terdiam. Ia tak berminat menanggapi ucapan mertuanya. Sesuai dengan prediksi Delia sebelumnya, keluarga Agit butuh orang seperti adiknya. Akram secara kasat mata sangat penurut pada orang tuanya. Tidak banyak tingkah dan pendiam. Secara kasar ia mudah dimanfaatkan. Akram mendecih samar.
"Bapak nggak usah khawatir. Frans percaya Mia sama Akram bisa melakukannya. Nanti malam kita rapat kecil-kecilan dulu. Biar Akram sama Mia ada gambaran."
"Baiklah kalau begitu. Atur sendiri saja Frans. Bapak pasrah sama kamu. Pastikan mereka belajar dan bisa mengembangkan toko itu lebih baik lagi."
"Siap, Pak."
Akram mengangguk pun tidak. Ia hanya sedang menjadi boneka yang akan dimainkan pemiliknya sesuka hati tanpa pernah ditanya. Tanpa pernah ada yang mau tahu perasaannya. Akram sedikit menunduk. Rasanya harga diri yang ia miliki hilang begitu saja.
"Kalau begitu kita lanjut ke kebun, Frans. Ada beberapa hal yang ingin Bapak bicarakan."
"Baik, Pak."
"Buat Akram, bisa di sini dulu. Atau mau ke dalam lagi nemenin Mia. Istri kamu aslinya kalau sudah akrab bukan tipe pemalu, Kram. Kadang malah malu-maluin," ujar Agit sambil mengukir senyum.
"Jangan dibocorkan, Pak. Biarkan suami Mia tau sendiri. Kasihan nanti syok," seloroh Frans.
"Ah, iya. Kamu yang paling paham. Mia dulu waktu belum nikah, Kram suka minta gendong Frans. Pokoknya tuh anak kalau ada apa-apa bilangnya sama Frans. Sampai kakaknya mau ujian kerepotan. Pernah ditelpon taunya di sana dini hari. Ya nggak Frans?"
Frans tersenyum lebar. Kejadian itu terjadi tidak hanya satu kali. Bahkan Frans kerap terlambat masuk kelas demi mendengarkan celoteh Mia. Rasanya begitu mendebarkan.
Akram tak menanggapi. Kaos tipis yang ia kenakan menjadi panas. Sudah suhu udara di luar juga sedang gerah, ditambah senyum mengembang di wajah Frans. Rasanya ia ingin mencoret muka pria itu dengan spidol jika diperlukan.
"Ya sudah, kami duluan, Kram."
"Ya, Pak."
Agit dan Frans berjalan bersama menuju taman belakang. Akram, yang sudah beberapa kali ke datang ke rumah mertuanya belum tahu betul seperti apa area yang dibilang 'kebun' oleh keluarga Mia itu. Akram mengamati postur tubuh Frans. Tinggi, atletis dan proporsional. Frans tipe laki-laki idaman. Untungnya, pria itu kakak Mia. Bukan seseroang yang akan bisa mengambil hati istrinya. Akram menggeleng lagi. Mengapa ia memikirkan hal semacam itu?
"Tidak, tidak. Kamu pasti gila, Kram." Akrammeraup wajahnya kasar seraya mengayunkan langkah meninggalkan area taman. Ia tidak jadi mencari udara segar. Di luar pun, ia kegerahan.
***