Bab 50. Sandaran

1124 Kata
Akram tak bisa terlelap meski waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tak hanya karena suhu udara yang panas melainkan ia dan Mia hanya terpisah oleh satu guling saja. Ini kondisi yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Akram, bahkan bisa mendengar degup itu. Jelas sekali meski ia berusaha mengabaikannya. "Mas," lirih Mia. "Ya." "Belum tidur?" "Belum." Sejak tadi Mia juga belum terlelap. Ia menggenggam ujung bantal yang menjadi sandaran. Sungguh hal semacam ini tidak bisa terus ia biarkan. Perlahan Mia menggeser posisi. Ia memberanikan diri melihat Akram yang tidur membelakanginya. "Nggak laper, Mas?" tanya Mia. Kebiasaan mereka di rumah adalah makan tengah malam. Tidak janjian tapi mereka kerap bertemu di dapur saat mencari sesuatu untuk mengganjal perut mereka. Akram menggeleng. Perutnya sudah penuh dengan camilan yang disediakan mertuanya. Ia akui urusan perhatian baik ibu kandungnya dan ibu mertuanya sama saja. Keduanya senang memberikan yang terbaik untuk keluarga. "Oh." "Kenapa? Kamu laper? Makanya nggak bisa tidur?" sahut Akram. Meski masih dalam posisi yang sama ia mencoba menanggapi sebisanya. "Nggak laper. Cuma nggak bisa tidur." "Aku bikin nggak nyaman?" sambar Akram. Mia tersenyum samar. "Nggak, Mas." "Kalau iya aku pindah ke sofa aja." "Nggak ada sofa, Mas." "Di luar." Mia menghela napas. Jangankan melakukan banyak hal. Sejenak membalikkan badan pun tidak dilakukan oleh Akram. Mia berusaha memendamnya. Tak masalah. Sejak awal memang begini semua bermula. Perlakuan baik Akram mungkin hanya di waktu tertentu saja. Terutama saat mereka sedang berkumpul dengan keluarga. "Banyak nyamuk, Mas." "Ada sofel," pungkas Akram. Percakapan itu pun berakhir. Mia memutuskan kembali pada posisi semula. Ia bisa merasakan saat perlahan Akram turun dari ranjang dan meninggalkannya. Mia berusaha memejamkan mata. Tak apa. Memang begini nasibnya. Akram mendudukkan diri di kursi. Ia ingin meninggalkan kamar pengap ini, namun tidak bisa. Tak elok jika mertuanya mengetahui tentang ketidakharmonisan rumah tangga mereka. Demi mengusir kebosanan, Akram meraih ponsel. Seharian ini, benda pipih itu sedikit ia lupakan. Innalillahi wainailaihi rojiun, berita duka.... Belum habis membacanya Akram langsung menghubungi nomor lain. Pemberitahuan di grup alumni sangat menyentaknya. Jelas ia memikirkan satu nama. "Innalillahi wainailaihi rojiun," ujar Akram. Mia tak benar-benar mengabaikan Akram. Ia mengamati dan mendengarnya. Mia pun bangkit dari rebahnya. "Siapa yang meninggal, Mas?" Akram menoleh. Sulit baginya mengatakan secara langsung. "Coba cek ponsel kamu, Mia." Mia mengernyit. Ponsel? Mungkinkah? "Innalillahi wainailaihi rojiun," lirih Mia. Seperti yang ada dalam benaknya. Akram berusaha menyambungkan panggilan itu. Namun, tetap tidak bisw. Akram melihat layar ponselnya. Beberapa story di kontak WA miliknya sudah menyiarkan berita duka tersebut. "Mas mau ke sana?" tanya Mia. Tampak jelas suaminya begitu khawatir. Akram hanya terdiam. Ia ragu atas beberapa hal. "Rumahnya dekat dengan rumah kita. Misal mau ke sana sekarang nggak apa-apa, Mas," imbuh Mia. Akram mempertimbangkan saran Mia. Jika mereka di rumah, pasti dengan sendirinya Akram akan datang. Kewajiban sebagai seorang tetangga adalah bertandang ke rumah duka. "Aku besok pagi. Mas bisa pergi sekarang naik motor." "Benar nggak apa-apa?" Mia mengangguk. Menahan Akram di sini sampai pagi pun hanya akan memperburuk keadaan. Suaminya tidak akan bisa tenang. "Nanti biar aku yang bilang ke Bapak sama Ibu." "Kamu nggak apa-apa?" Mia mengangguk mantap. "Iya, Mas." "Kalau begitu aku ke sana." Akram mengantongi ponselnya. Tanpa perlu diminta kedua kalinya, ia segera meninggalkan kamar mereka. Berita duka itu jelas memicunya datang ke tempat di mana seseorang yang pernah mengisi hatinya berada. Nasha sedang patah. Ia harus ada meski berstatus sebagai tetangga. Mia memejamkan mata. Berpisah memang mudah. Menghilangkan setiap kenangan dan keterikatanlah yang susah. Bisa jadi secara fisik Akram menjadi suaminya. Akan tetapi, semua memori Akram terhubung dengan Nasha. Mia mengambil napas panjang. Ia harus menyampaikan bela sungkawa juga meski hanya lewat pesan. Mereka dulu sempat berteman. [Innalillahi wainailaihi rojiun. Turut berduka Nasha. Semoga ayah kamu husnul khotimah. Semoga kamu dan keluarga tabah.] Mia mengetuk icon send. Meski hatinya berkrenyut, ia tak bisa mengabaikan berita duka itu begitu saja. Sebagai sesama muslim wajib baginya turut serta mendoakan saudaranya sendiri. Mia menyibak selimut. Ia perlu melihat kepergian suaminya. "Hati-hati, Mas!" seru Mia. Akram sudah mengeluarkan motor. Akram menoleh. Ia mengangguk kecil. Tak menyangka Mia akan melihatnya. Akram pun membawa motor berharganya ke kediaman Nasha. Tak peduli malam sudah sangat larut. Ia hanya perlu memastikan keadaan separuh hatinya itu. * Di depan rumah Nasha tenda sudah terpasang. Warga komplek perumahan mungkin bersiap lebih awal. Ayah Nasha meninggal mendadak saat sedang melakukan kunjungan dinas di luar kota. Sambil memastikan kapan waktu yang tepat untuk menyapa Nasha, Akram membaca sekilas berita yang menyebar lewat grup WA. Beberapa orang mulai lalu lalang. Sebagian langsung masuk ke rumah besar Nasha. Sebagian lagi duduk di luar. Akram termasuk warga baru di komplek itu. Ia cukup jarang kelihatan. "Saya kira pergi, Mas. Dari sore rumahnya sepi," ujar tetangga Akram. "Oh, iya, Pak. Kebetulan saya tadi habis pulang ke rumah orangtua." "Oh, begitu. Pantas, ya. Ini istri masih di sana berarti?" "Iya. Sudah malam kasihan kalau saya ajak pulang." "Lagi isi, ya, Mas?" "Ya?" tanya Akram heran. Ia hanya orang asing yang tiba-tiba bergabung dengan beberapa orang entah dengan kepentingan yang sama atau tidak. "Biasanya kan kalau lagi ham ndak boleh pergi malam. Kali aja istrinya juga." Pria itu terkikik. Akram tersentak. Hamil? Ia menggeleng kecil. "Tidak, Pak. Tidak hamil." "Tidak? Belum kali, Mas." "Ya, Belum, Pak." Akram mengiyakan pendapat tetangganya itu. Obrolan mereka tidak ada hubungannya dengan berita duka. Cukup rancu dibahas di momen seperti ini. "Nah, Mbak Nasha tuh baru nyampe," ujar tetangga yang lain. Refleks Akram melihat ke arah yang diperhatikan tetangganya. Jantung Akram berkrenyut pedih. Akram seperti para tetangga yang lain. Ia hanya sedang menyambut salah satu tuan rumah yang belum datang. Akram tahu Nasha tidak mungkin memerhatikannya terlebih saat di sampingnya ada pria yang mungkin menemani gadis itu terus menerus. Namun, Akram berusaha bersikap biasa. Sekali lagi ia hanya tetangga yang ikut melayat sebagaimana mestinya. Wajah Nasha terlihat sembab. Tampak jelas kesedihan ada di sana. Akram terus memerhatikan sampai akhirnya mereka sedikit berpapasan. Nasha hendak melewatinya. "Akram," lirih Nasha nyaris tak terdengar. Akram mengangguk kecil. Ia tahu apa yang paling dibutuhkan perempuan itu. Akram, andai diizinkan sudah pasti akan melakukannya. Sementara itu, Nasha berdiri mematung. Ia melihat sekilas ke arah Hilmi yang sejak tadi menatihnya. Pelan, Nasha melepaskan diri. Gadis itu berbelok ke sisi di mana Akram berada. Terhuyung Nasha meghampiri seseorang yang pernah sangat ia andalkan. Buk! Nasha menghamburkan diri ke tubuh Akram. "Ayah, Kram. Ayah," lirihnya. Sontak semua mata tertuju pada mereka. Pemandangan yang dirasa cukup ganjil. "Ayahku meninggal, Kram," isak Nasha. Tangis itu tak terbendung. Akram tidak mungkin mengabaikannya. Sudah pasti Nasha menjadi yang paling sedih di sini. Tanpa diminta Akram biarkan tubuhnya menjadi sandaran daan merengkuh Nasha dalam peluknya. Tak peduli apa kata orang nanti. Ia hanya ingin melakukannya. "Yang kuat, Sha, yang tabah," ucap Akram pilu. Nasha mengangguk. Ia membekam tangisnya dalam dekap Akram yang menentramkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN