Bab 51. Berpisah itu Mudah

1211 Kata
Pagi hari Mia menjadi kurang semangat. Ia kira setelah mereka datang ke rumah orangtuanya, kondisi mereka akan sedikit berbeda. Rupanya sama saja. Berita duka itu, menurut hematnya cukup mengganggu. Bukan ia tidak mau berbelasungkawa, melainkan ia mempertanyakan apa yang dilakukan suaminya di sana. Mia duduk termenung. Seorang diri di sofa lantai dua. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan hanya menatap layar ponselnya yang tak kunjung menyala. "Mana Akram? Belum bangun?" tanya Frans. Ia sudah siap memberi pelajaran praktik untuk hari ini. Pakaiannya juga sudah rapi. Mia tersenyum tipis. "Sedang pergi, Kak." "Pergi?" Mia mengangguk. "Ada acara." "Dari pagi?" "Iya, Kak." "Hari ini acara kita ke toko, loh. Semalam sudah sepakat. Dia lupa?" Frans ingat betul menyampaikan hal itu pada Mia dan Akram. Mia mengangguk lagi. "Iya, Mia ingat, Kak. Mendadak ada acara.." Jawaban Mia membuat rasa penasaran Frans bertambah. Tampak jelas adik angkatnya tidak seantusias sebelumnya. Frans menggeser posisi duduknya. Mendekatkan jarak di antara mereka. "Ada apa? Katakan yang sebenarnya," ujar Frans sedikit menuntut. Mia mendesah. Ia menjadi semakin resah. "Katakan, Mia. Buat apa aku di sini kalau kamu malah tidak mau membahasnya," desak Frans. Mia menggeleng. Masih pagi, rasanya kurang patut jika ia sudah mengeluh. Mia hanya tersenyum samar. Ya, wajar sekali saat suaminya peduli dengan tetangga mereka. Akan tetapi, tetangga yang dimaksud cukup berbeda. Mia sudah berusaha berpikir positif tapi rasanya sulit. Mia mengulas senyum. Ia tidak boleh terlalu memusingkannya. Ia harus selalu mengedepankan rasa percaya dan setianya. Menyaksikan hal itu, membuat Frans cukup tahu apa yang terjadi pada adik angkatnya. Mia hanya sedang berpura-pura. Frans menatap lekat pada Mia. "Lagi? Apa alasannya?" "Apanya?" "Suamimu pergi karena alasan apa? Sama seperti dulu? Rasa kemanusiaan?" Mia diam sejenak. Rasa kemanusiaan? Mungkinkah? "Jawab, Mia." Frans menjadi kurang sabar. "Ayah Nasha meninggal dunia, Kak. Mas Akram layat ke sana." "Innalillahi wainailaihi rojiun. Siapa? Nasha?" Mia mengangguk. Sepertinya ia pernah membahasnya dengan Frans. "Gadis itu?" "Iya, Kak. Makanya hari ini off dulu ya, Kak," "Kenapa? Kamu menjadi malas? Lupa dengan tujuan?" Sontak Mia menggeleng. "Enggak, Kak. Aku takut Mas Akram ketinggalan materi praktiknya." Frans pun terperangah. Meski ia tahu adik angkatnya mengkhawatirkan hal lain, masih saja Mia peduli pada Akram. Frans menjadi sedikit geram. Tanpa berpikir panjang ia menarik tangan Mia yang mengenakan handsock. "Ikut aku!" "Ke mana, Kak?" "Pokoknya ikut saja." Langkah Frans menjadi semakin cepat. Mereka menuruni tangga menuju lantai satu. "Bu, kita berangkat!" seru Frans. Ia sengaja tidak berpamitan ke dapur. Ia tidak mau ibunya melihat caranya menarik Mia. "Kak," lirih Mia. Dari tarikan Frans ia merasakan aura kekesalan. "Diam," tegas Frans sambil meminta Mia masuk ke dalam mobilnya. "Kita perjelas semuanya, Mia," batin Frans. Mia memang tersentak dengan perlakuan Frans. Namun, ia enggan membantahnya. Hatinya sedang kalut saat menyadari Akram kembali mengutamakan Nasha. Terbukti hingga pagi Akram tak kunjung kembali. Mia menatap keluar lewat kaca mobil. Benar kata seseorang. Dalam sebuah hubungan, bagian tersakitnya adalah siapa yang menunjukkan cinta lebih banyak, akan mendera luka. Dan Mia mulai menyadarinya. Frans melirik sekilas posisi Mia. Tanpa dijelaskan lebih, ia paham apa yang sedang dipikirkan adik angkatnya itu. Frans meghela napas. Sungguh, ia tidak terima dan ingin menghukum pria bernama Danial Akram itu. Sepanjang perjalanan, keheningan menjadi teman. Baik Mia maupun Frans tenggelam dalam pikirannya masing-masing. * Hilmi tidak terlalu mempermasalahkan sikap Nasha yang tiba-tiba menghambur ke pelukan Akram. Ia sadar, kekasihnya sedang terguncang. Hilmi mencoba memahami dan membiarkan hal itu terjadi. Namun, saat matahari sudah mulai meninggi dan pria itu masih saja setia di saat para tetangga mulai kembali ke rumahnya, ia menjadi tidak nyaman. Hilmi melambai. Meminta Akram menemuinya di luar. "Ada apa?" tanya Akram. Sejak tadi ia tahu Hilmi mengawasi. "Rumahmu yang mana? Itu?" tunjuk Hilmi pada rumah di sebrang rumah Nasha. Akram menggeleng. Hilmi salah menerka. "Itu rumahku," ralat Akram. Refleks Hilmi pun menoleh ke samping. "Sebelah?" "Iya. Sebelah rumah Nasha." "Mana istrimu? Apa dia tidak mencari?" Hilmi tidak mau ketahuan sudah salah mengira. Ia berusaha membuat alasan. Akram tersenyum samar. "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Santai saja." Jawaban Akram membuat Hilmi tersentak. Sejak kapan pria rendahan ini memiliki keberanian? "Aku ingatkan, Kram. Nasha bukan lagi milikmu. Dia milikku," tegas Hilmi. "Dia bukan barang yang bisa dimiliki. Dia miliknya sendiri." Akram malas membahas hal yang tidak pantas. Mereka sedang berduka. Hilmi semakin kesal. Ia maju beberapa langkah hendak menarik kaos Akram. Namun, ia sadar sedang berada di mana. Ia hanya menatap tajam ke arah Akram dengan cara yang nyaris sama seperti di Betamart dulu. "Lupakan pelukan itu. Nasha hanya sedang tidak baik kondisinya. Jangan berpikir ia masih ada rasa." Akram mendecih. Sempat-sempatnya Hilmi mengancam. Putra pemilik Betamart ini sudah sombong sejak dini. Akram bisa saja membalas dengan kata-kata dan perlakuan sama. Namun, ia menahannya. Akram masih waras. "Aku nunggu temen. Kalau dia sudah melayat, aku pulang. Kamu tenang saja." Akram membalikkan badan. Ia biarkan Hilmi penuh dengan prasangkanya. Beruntung, tak lama berselang Rios datang. Mereka bertemu dan memberi penghormatan terakhir untuk ayah Nasha. "Yang tabah, Sha," ujar Rios. Ia mengenal Nasha dengan cukup baik, akibat dari pertemanannya dengan Akram. "Aku pamit, ya, Sha. Kamu yang tabah," ulang Akram sebelum benar-benar meninggalkan rumah Nasha. Nasha mengangguk. Ia memang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan. Namun, tetap mampu menjawab ucapan duka dari para tamu. "Makasih, Yos. Makasih, Kram." "Sama-sama, Sha." Lepas menemani Rios, Akram benar-benar pergi. Ia mengabaikan apa yang terjadi dini hari tadi saat Nasha menangis di peluknya dan berujung tak sadarkan diri. Seperti ucapannya pada Hilmi. Ia tidak akan terlalu memikirkannya. "Wah, ini rumahmu, Kram? Gila sih ini." Rios cukup antusias saat pertama kali melihat rumah Akram. Benar-benar di luar dugaan. "Bukan rumahku, lah. Rumah mertuaku." "Ya elah, sama mertua sendiri juga. Ini hadiah kan?" Akram mengangguk. Ia buka minuman kemasan yang masih tersisa di kulkas. Akram meneguknya. "Beda lah, Yos." "Belagu bener lu!" "Beneran. Bakal kerasa kalau udah nikah, Yos. Nggak enak." Rios menggeleng. Ia heran dengan sikap Akram. "Apa ini ada bubungannya sama pinjam duit?" Akram nyaris tersedak. Seingatnya ia tidak bilang dengan Rios tapi ke Mas Danang. "Iya. Ini dititipin ke aku." "Ah, sial," gerutu Akram. "Kenapa? Malu sama aku, Kram...." "Mas Danang bilang apa?" "Cuma bilang nitip buat Akram. Kayaknya lagi butuh banget. Kamu nanti mampir dulu ke rumahnya." Akram menggeleng. Mas Danang tidak pandai menjaga rahasia. Benar-benar menyebalkan. "Santai aja kali, Bro. Kaya sama siapa." Akram terus menggeleng. "Arghhhhh!" Rios terbahak. Ia kira sahabatnya akan senang tapi malah kesal. Mas Danang ada urusan mendadak yang tidak mungkin ditinggalkan. Mas Danang bahkan menjelaskan kalau Akram butuhnya tunai. Sontak Rios bergegas ke rumah baru Akram sekaligus melayat. Ia tidak tahu sahabatnya benar-benar membutuhkan uang itu. "Ngemeng-ngemeng, istrimu belum bangun, Kram? Apa lagi belanja?" "Aku tinggal di rumah mertua. Jam satu pagi aku langsung ke sini." "Edan! Lu waras kan, Kram?" Akram mengangguk. Ia kembali meneguk minuman dinginnya. "Hati-hati lho, Kram." "Apa?" "Kalau kata anaknya Sule, Berpisah itu mudah, menghapuskan semua kenangan kita adalah hal yang paling menyulitkan. Ati-ati." Akram berusaha mencerna ucapan Rios. Anaknya Sule? Siapa dan apa hubungannya? Melihat ekspresi wajah Akram menjadikan tawa Rios semakin menjadi. "Kram, Kram. Apa sih yang lu tau? Itu tuh lagu!" tukas Rios. Sementara Akram masih belum paham. Rios pun melantunkan lagu berpisah tapi mudah milik anak dari komedian Sule tersebut sambil terus meledek sahabatnya. Rumah bergaya minimalis itu untuk pertama kali menjadi lebih hangat bagi Akram.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN