Kini Ardian dan Hana telah resmi menikah. Mereka menjadi pasangan suami istri sekarang. Tidak ada kesedihan di wajah Sinta sebagai istri pertama. Entah dia pura-pura kuat, atau memang dia sudah hilang rasa pada suaminya. Wanita normal tentu saja tidak bisa begitu saja menerima madu di dalam sebuah pernikahan.
“Kamu mau ke mana, Mbak? Siapkan dulu sarapan untukku dan mas Ardian! Jangan karena Mbak istri tua, mbak mau seenaknya sama aku. Kalau Mbak berani macam-macam, aku akan laporkan pada mas Ardian dan juga mama mertuaku.”
“Heh, jalang! Kamu itu sadar diri dan posisi! Aku sebagai istri pertama, seharusnya kamu menghormatiku layaknya kakak madumu. Ingat, aku bukan babumu! Kamu jangan seenaknya memerintahku! Lapor? Lapor saja! Aku tidak peduli. Aku mau berangkat kerja dulu, kamu urus saja pekerjaan rumah, dan suami kita.”
“Mbak jangan mau enaknya saja dong! Mas Ardian itu suami kita, seharusnya, kamu turut membantuku juga Mbak.”
Sinta tidak menghiraukan sama sekali teriakan Hana, yang memekakkan telinga itu. Ia pun lantas menyambar kunci mobil dan berangkat kerja. Kini mereka tinggal bertiga. Sinta meminta pisah rumah dengan mertua dan juga iparnya sebagai salah satu syarat, dia menerima dimadu. Ardian menyetujuinya, kini mereka tinggal bertiga.
Uang Ardian telah habis untuk membeli rumah mewah tersebut, sehingga tidak ada pembantu yang bekerja di rumahnya.
“Hana, mana sarapan aku? Aku sudah telat ini. Aku ada pertemuan pagi ini dengan klien penting!” seru Ardian sembari memasang dasi dan merapikan jas yang ia kenakan.
“Aduh Mas, istrimu itu sudah berangkat kerja pagi-pagi. Aku 'kan tidak bisa masak Mas. Kamu makan di luar saja ya!” sahut Hana sembari mencoba menyalakan kompor, tetapi tidk kunjung menyala, karena Hana tidak bisa melakukannya. Wanita manja itu, jangankan masak, menghidupkan kompor saja tidak pernah.
“Kenapa sih? Kompornya rusak?” tanya Ardian berjalan mendekat.
“Tidak tahu ini Mas, aku tidak pernah menyalakan kompor Mas. Aku tidak pernah di dapur. Mas 'kan tahu sendiri, di rumahku itu, aku tidak pernah tahu urusan pekerjaan rumah,” sahut Hana sembari menatap Ardian dengan wajah masam.
“Menyalakan kompor saja tidak bisa! Benar-bebar tidak berguna!"
“Mas bilang mau pakai jasa pembantu, kenapa sekarang malah marah-marah?"
“Kamu tahu sendiri, uangku habis untuk membeli rumah ini, uang dari mana untuk membayar pembantu Hana? Kamu bisa mikir atau tidak sih? TernyataSinta jauh lebih segalanya dibanding kamu.”
“Ih, kok malah membandingkan aku sama wanita kampungan itu sih Mas? Kita menikah baru satu minggu lho, kamu sudah berubah Mas.”
“Sudah, jangan nyerocosnya saja yang dibesarkan! Aku lapar, dan aku sedang terburu-buru. Cepat gorengkan telur! Aku mau sarapan. Mana ada aku uang untuk makan di luar? Aku tidak mau mengotak-atik uang perusahaan dan uang gaji karyawan.”
“Iya, aku gorengkan, tapi nanti kamu harus cari pembantu ya Mas! Aku tidak mau tanganku lecet gara-gara pekerjaan rumah. Aku ini model Mas, aku harus selalu sempurna dan menjaga penampilan aku.”
“Kok rasanya manis? Ini telur kamu kasih gula bukan garam. Bisa gila aku lama-lama kalau kelakuan kamu begini.”
“Maaf Mas, aku tidak tahu yang mana gula mana garam? Salah kamu sendiri, aku tidak pernah masak, kamu suruh masak.”
“Biar aku goreng lagi. Sana kamu! Hanya modal cantik saja, tahunya gak bisa apa-apa. Menyesal aku kasih kamu mahar banyak, tahunya tidak berguna sama sekali.”
Ardian tidak bisa menahan lagi emosinya. Ia buru-buru mau berangkat ke kantor, malahan mengulur waktu. Ini karena Ardian, mesti menggoreng telur lagi. Tidak mungkin dia makan telur manis buatan istri keduanya itu.