“Maaf, Anda siapa? Ada perlu apa ke kantor kami? Di sini ada aturannya, Anda tidak bisa seenaknya saja masuk." Seorang wanita muda menghalangi Sinta, yang akan menemui Ardian di ruangannya.
“Aduh keterlaluan sekali suami saya! Punya istri tidak pernah dikenalkan ke pegawai, jadinya begini nih.”
“Hahaha...Anda istrinya Pak Ardian?” Wanita itu tertawa sembari menatap remeh pada Sinta.
“Kenapa kamu menertawakan saya? Kamu pikir saya bercanda?”
“Minggir! Saya mau menemui suami saya. Masih mau tertawa? Silahkan! Sebelum kamu menangis.”
Sontak wanita itu terdiam. Dia membiarkan Sinta masuk. Sinta langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, toh itu juga ruangan suaminya.
“Kenapa kamu ke Kantor? Kamu tidak lihat aku sedang bekerja? Ini kenapa lagi pakaian kamu seperti itu, kamu mau seperti Hana?Jangan halu! Biar penampilan kamu berubah, aku akan tetap menikahi Hana.”
“Jangan kepedean ya Mas! Aku begini karena aku diterima bekerja di perusahaan. Aku mulai bekerja besok pagi. Bagaimana penampilan aku Mas? Apa sudah cocok?" tanya Sinta sembari memutar badannya.
“Bagus deh kalau kamu bekerja, jadi kita bisa mencicil pembelian rumah bersama. Setelah gajian nanti, biar aku yang pegang uangnya, kamu jangan pegang uang banyak.”
Bukannya mengomentari penampilan baru istrinya, justru mengatakan hal tidak terduga.
“Enak saja kamu Mas! Aku bekerja untuk membeli kebutuhanaku yang seharusnya jadi kewajiban kamu. Kamu mau menikah lagi dengan Hana, kenapa mesti aku yang ikut bayar cicilan rumah? Kamu dan Hana yang harus membayarnya, jangan libatkan aku!"
“Tidak bisa. Hana itu menantu kesayangan mama nantinya. Mama pasti tidak mengizinkan dia bekerja lagi, kalau kami sudah menikah.”
“Maaf Mas, aku tidak mau. Uangku akan aku simpan untuk masa depanku. Kalau Kamu mau membeli rumah untuk Hana, ya kamu sendiri yang bayar, kok malah melibatkan aku? Jangan keterlaluan kamu Mas!'
“Apa ini? Sudah berani membentak kamu sekarang? Benar kata mama, Hana memang tang terbaik untuk masa depanku. Sudah pulanglah! Jangan sampai mama dan ketiga saudaraku kelaparan, karena kamu keluyuran.”
“Mulai besok, aku tidak mau lagi mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Carilah asisten rumah tangga! Aku sudah capek jadi babu di rumah orang tuamu.”
“Enak saja, kamu harus bangun lebih awal. Sebelum berangkat bekerja, semua pekerjaan rumah sudah harus selesai. Paham!”
“Lalu apa gunanya ketiga saudaramu itu Mas? Mereka itu juga bisa kok mengerjakan pekerjaan rumah. Masa iya semua harus aku yang menanggung? Kamu sudah memutuskan menikah lagi tanpa aku merestui, dan mulai sekarang, jangan pernah menuntut apa pun dariku Mas! Termasuk menuntut untuk melayani keluarga kamu itu. Aku ini bukan babu.”
“Mereka itu anak kesayangan mama. Tidak mungkin mereka yang mengerjakan pekerjaan rumah. Baiklah, lebih baik aku cari asisten rumah tangga saja. Kamu jangan mau enak sendiri! Kamu juga harus ikut bantu bayar!”
“Mereka kerja untuk melayani keluarga kamu yang toxic itu, jadi kamu yang berkewajiban membayarnya Mas, bukan aku.”
“Sudah, pulang saja sana! Aku tidak mau berdebat denganmu, karena makan siang nanti, aku mau bertemu sama Hana dan makan bersama. Aku tidak mau, kamu membuat suasana hatiku menjadi tidak nyaman.”
“Oh, rupanya mau bertemu sama calon istrimu itu? Jangan lupa bawa uang Mas! Malu-maluin kalau sampai jalan sama calon istri, tidak bisa traktir makan.”
“Apaan sih? Dasar tidak jelas! Tidak perlu kamu kasih tahu ,aku juga sudah tahu. Lagian uang di kartuku sangat banyak, tidak mungkin hilang di telan tuyul.”
“Ya, semoga makan siang kamu menyenangkan ya Mas. Aku tidak langsung pulang, mau ketemu sama teman SMA aku di cafe. Kebetulan dia ada kunjungan kemari untuk urusan bisnis. Bukan hanya kamu yang akan makan siang diluar, aku juga akan melakukannya bersama Riko temanku.”
“Jangan macam-macam! Tidak baik seorang istri keluyuran sama laki-laki lain.”
“Berkaca dulu Mas! Jangan banyak omong kosong. Kamu sendiri bagaimana?”
Ardian terdiam. Dia tidak mampu menjawab, karena ucapan Sinta memang benar adanya.
“Oh, dia sudah menelepon, aku permisi ya, Mas?"
[Halo, aku sudah di cafe, kamu di mana?] tanya Rico, suara di seberang sana.
[Sabar, aku sudah dekat kok.]
“Maaf Mas, aku diam-diam mengambil semua uangmu. Selama kita menikah, kamu tidak pernah memberiku nafkah, jadi tidak ada salahnya, uangmu aku ambil. Siap-siap cuci piring setelah makan siang sama Hana. Aku yakin wanita itu tidak akan mau membayarnya. Aku susah mentransfer semua uangmu ke nomor rekeningku.”
“Untung saja kamu meninggalkan ponselmu di rumah, jadi aku bisa menguras isinya.”
“Enak saja kamu mau makan dengan calon istrimu, sedangkan aku tak pernah menerima perlakuan baik kamu selama ini. Boro-boro diajak makan di luar, ditanya sudah makan atau belum saja tidak pernah.”
Sinta melenggang pergi dengan mengendarai motornya.
“Gila, dari dulu sampai sekarang, kamu tetap saja cantik,” puji Rico tanpa malu-malu.
“Bodoh banget suami kamu, mau menikah lagi. Kalau dia kehilangankamu, bisa gigit jari dia, saat tahu, kamu bukan orang biasa.”
“Ah, kamu ini jauh banget pemikirannya. Aku malah belum adake pikiran mau cerai, justru aku malah mikir mau membalaskan dulu sakit hatiku, sebelum perceraian itu terjadi. Entah bagaimana hubungan kami ke depan, aku juga belum tahu pasti. Yang aku tahu, mereka memang tidak pernah menerima dan menghargai aku.”
“Jangan bodoh kamu Sinta! Kamu terlalu berharga untuk mereka sakiti. Kamu wanita baik yang aku kenal. Jangan bertahan terlalu lama lagi di rumah itu. Kamu tidak berharga di sana.”
“Rico, aku tak mengapa. Aku Mau bermain-main dulu dengan mereka dan istri baru mas Ardian. Mereka harus menerima sedikit demi sedikit pembalasanku. Setelah aku merasa puas, aku akan menggugat cerai mas Ardian. Lagian mulai besok, aku bisa kembali ke perusahaanku lagi. Aku mengatakan pada mas Ardian, jika aku diterima bekerja di sana. Dia tidak akan tahu, jika akulah pemiliknya.”
“Bagus, kalau begitu aku setuju. Kamu memang harus tega pada keluarga toxic itu! Mereka sudah sangat keterlaluan. Suami kamu juga bukan suami yang baik. Mereka akan sangat menyesal sudah berlaku tidak baik sama kamu.”
“Rumah kamu, bagaimana? Apakah masih disewa sama pak Wijaya, bapaknya Hana?”
“Iya, mereka masih tinggal di rumah mewahku, dan mertuaku selalu menyanjung mereka di depanku. Tidak tahu kalau rumah itu, rumah sewaan, bukan rumah asli mereka. Mereka juga tidak tahu, rumah itu rumah wanita yang selama ini mereka hina.”