Part 5

1070 Kata
Malam harinya, semua keluarga berkumpul membicarakan masalah perselingkuhan hingga berujung perzinaan itu.   Aku lihat Mas Hansa–ayahnya Lusi hanya tertunduk malu, sambil sesekali menyeka air mata.   Berbeda denganku yang berusaha tegar menghadapi semua pengkhianatan ini, berusaha dengan sekuat tenaga supaya tidak menitikkan air mata di depan mereka, walaupun sebenarnya hati ini hancur berkeping-keping. Remuk sudah tidak berbentuk.   "Ini kelanjutannya bagaimana, Bu Mayla?" tanya Pak Rt memecah keheningan.   "Maaf, Pak Rt. Bukannya saya tidak mengizinkan Mas Ibnu menikah dengan Lusi. Tapi, Mas Ibnu itu pamannya Lusi dan menurut hukum Islam, seorang paman tidak boleh menikahi keponakannya sendiri. Seperti disebutkan dalam Al-Qur'an;   Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua).” (QS. An-Nisa: 23)   "Nggak usah pake ngeluarin ayat-ayat Alquran segala deh, Perempuan jelek. Bilang aja kamu iri karena aku ternyata lebih dicintai sama Mas Ibnu. Kamu takut didepak sama dia kan?!" timpal Lusi. Muntab.   Aku mengangkat satu ujung bibir. Susah kalau ngomong sama manusia tidak punya hati seperti dia.   "Semua yang dikatakan Tante kamu benar, Lusi!" berang Mas Hansa. Wajah pria berusia lebih dari setengah abad itu terlihat memerah dengan rahang mengeras.   "Bapak kok malah belain si buruk rupa itu?!" Lusi menunjuk ke arahku, bahkan mulai berani mengata-ngatai.   Plak!   Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus bagai porselen itu, hingga meninggalkan jejak merah di sana.   Mata Lusi terlihat berkaca-kaca, tangan kanan wanita tersebut juga terus saja memegangi pipinya yang baru saja di tampar oleh bapaknya sendiri.   "Kenapa Bapak malah menampar aku? Harusnya Mayla yang Bapak tampar!" teriak Lusi, tanpa memperdulikan semua orang yang ada di sekelilingnya.   Dia juga bahkan berani membalas memukul bapaknya, hingga ujung bibir Mas Hansa terlihat mengeluarkan darah.   Ya Allah, Lusi. Benar-benar manusia tidak punya adab. Sudah salah, ditegur pun tidak terima. Durhaka pula.   "Dengerin ya kalian semua yang ada di sini. Dengan atau pun tanpa persetujuan kalian semua,  aku akan tetap menikah dengan Mas Ibnu. Aku sangat mencintai dia dan tidak ada satu orang pun yang bisa menghalangi niatku untuk memiliki dia. Bahkan Bapak ataupun Ibu sekalipun!"    "Lusi!!" bentak Ibu membuat wanita berambut keemasan itu langsung terdiam.   "Duduk!" titahnya lagi.   Baru kali ini aku melihat ibu marah. Karena Ibu itu selalu pendiam serta lemah lembut kepada siapa pun. Mungkin kesalahan anak juga cucunya sudah melampaui batas, hingga membuat Ibu tidak mampu lagi menahan amarahnya.   "Kok Ibu juga malah ikut-ikutan marah sama aku. Bukannya sama Mayla." Lusi memang tidak memanggil nenek kepada Ibu, karena usia Ibu mertuaku dan Mba Salamah hanya terpaut dua tahun saja.   Kini dia juga sudah terbiasa memanggilku tanpa embel-embel tante lagi. Tapi biarlah. Apa artinya sebuah panggilan. Dia mau panggil nama, manggil apa, terserah dia. Toh, tidak akan mempengaruhi keadaan yang sekarang.   "Aku ini cucu Ibu loh. Ya, walaupun cucu tiri sih. Kalau Mayla kan orang lain. Cuma lagi numpang hidup di sini!" ucapnya sambil memainkan kuku-kukunya, yang dicat warna merah menyala senada dengan lipstik yang sedang ia kenakan.   Aku hanya menghela nafas. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Mas Ibnu, yang sejak tadi diam membisu seperti seonggok batu.    Cemen sekali dia!   "Ibnu!" Kini suara penuh wibawa Ibu terdengar memanggil nama anaknya dengan nada agak meninggi.   "I–iya, Bu!" sahut Mas Ibnu tergagap.    Laki-laki berkulit sawo matang itu mengangkat wajahnya, mencoba menatap wajah Ibu yang sudah memerah padam.   "Apa yang membuat kamu berpaling dari Mayla? Apa kamu tidak ingat semua perjuangan istri kamu. Dia rela meninggalkan pekerjaannya, rela menghabiskan waktu santainya demi mengurus keluarga kita. Menghabiskan sisa hidupnya untuk selalu berbakti kepada kamu, tapi malah pengkhianatan yang kamu berikan kepadanya. Kamu laki-laki macam apa, Ibnu?!"    "Maaf, Bu. Saya khilaf. Saya mencintai Lusi, begitu juga sebaliknya, Bu."    Lusi langsung duduk di sebelah suamiku lalu melingkarkan tangannya di lengan Mas Ibnu. Sungguh pasangan yang sangat serasi. Sama-sama tidak punya rasa malu. Menjijik**.   "Coba ibu lihat sendiri wajah Mayla. Dia terlihat begitu tua dari usianya. Padahal dia sama Lusi itu seumuran. Dia sudah tidak menarik lagi di mata saya, Bu. Saya bosan melihatnya!"    Brak!   Semua yang ada di ruangan berjingkat kaget ketika ibu menggebrak meja. Tidak terkecuali aku yang duduk di sebelah wanita berhijab putih tersebut.    Jujur, aku sangat khawatir penyakit stroke Ibu kembali kumat karena dia terus saja marah-marah seperti itu.   "Noh, Bu. Ibu dengar sendiri kan. Mas Ibnu itu cintanya sama aku. Sekarang buruan deh, nikahin kami. Aku mau menggantikan posisi Mayla di rumah ini. Menjadi ratu di hati Mas Ibnu!"    "Kamu mau menjadi pengganti, Mayla?" tanya Ibu, kali ini suaranya mulai melembut.   "Iya, Bu. Mas Ibnu kan cintanya sama aku."   "Oke, Ibu mulai hari ini kamu akan menggantikan posisi Mayla."   Aku menatap wajah keriput Ibu.   "Berarti mulai malam ini aku tidur di kamar utama, iya dong?" Dia tersenyum penuh kemenangan.   "Semua yang Mayla punya dan Mayla lakukan sekarang beralih ke kamu semua!"   "Yeeee...!" Dia memeluk erat suamiku di depan semua orang.   "Lusi, jaga sikap kamu!" bentak Mas Hansa.   Lusi langsung melepaskan pelukannya dan memperbaiki posisi duduknya.   "Silahkan kamu tanda tangani surat perjanjian ini. Biar suatu saat kalau Mayla protes, kamu punya bukti hitam diatas putih!" Ibu memberi kode kepada Abraham supaya memberikan beberapa lembar kertas yang entah apa tulisannya itu.    "Nggak kamu baca dulu, Lus?"    "Nggak usah, Bu. Malas!" jawabnya sambil menggoreskan tinta di atas kertas bermaterai tersebut.   Setelah itu, Ibu menyuruhku juga Mas Ibnu ikut menandatangani surat perjanjian itu. Aku menatap Ibu dan dia memberi kode supaya aku menurutinya.   "Sudah, Ibu akan menguji coba kamu selama enam bulan sebelum menikahkan kalian berdua. Kamu boleh tinggal di sini, namun dengan pengawasan Ibu selama dua puluh empat jam. Kamu juga tidak boleh macam-macam sama Ibnu. Kalian mengerti!"    Setelah semuanya selesai, aku langsung beranjak masuk ke kamar.   "Heh, Mayla. Kamu lupa ya. Mulai hari ini kan aku yang tidur di kamar utama!" teriak Lusi menghentikan langkahku.   "Kamu juga lupa ya, kalau malam ini mulai menjadi penggantiku. Itu gelas bekas kita minum, kenapa belum kamu cuci? Cuci sono gih!" balasku.   Lusi mendelik kaget. Aku lalu membacakan surat perjanjian pertama. Bahwa Lusi akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti yang aku lakukan selama menjadi istrinya Mas Ibnu.   "Nggak bisa begitu dong...!" protes Lusi.   "Kamu sudah tanda tangan di atas materai, juga disaksikan beberapa orang saksi. Jadi surat perjanjian ini kuat hukum. Kalau kamu macam-macam, aku bisa mencebloskan kamu ke penjara, atas tuduhan penipuan dan kasus perzinaan!" ucapku seraya melenggang pergi.   Puas rasanya melihat wajah mulus Lusi memerah karena menahan marah.                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN