Pak Rt mengangguk setuju. Wajah pria berkumis tipis itu menatap prihatin kepadaku, lalu segera mohon diri karena hari sudah siang dan dia harus pergi mengajar.
Segera kukirim pesan kepada Mba Salamah–Kakak pertama Mas Ibnu sekaligus ibu kandung Lusi, menyuruh dia beserta suaminya untuk segera berangkat ke Jakarta dengan alasan Lusi tersandung kasus dan sekarang sedang ditahan oleh pak Rt.
Air mata Mba Salamah tumpah ketika dia sampai di kediamanku, dan mengetahui kalau Lusi telah berzina dengan suamiku bahkan sampai diarak keliling komplek oleh warga serta diviralkan.
Aku juga menunjukkan video yang berhasil aku rekam, supaya mereka semua percaya dan tidak menuduhku mengada-ada.
"Mbak minta maaf, May. Mbak sudah gagal mendidik Lusi!" ucap wanita yang usianya mungkin seumuran dengan ibuku sambil terus menggenggam jemariku.
Aku hanya diam membisu tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
Begitu pula dengan Ibu yang sudah sejak tadi hanya bisa mengusap air mata. Entahlah, dia menangis karena sedih atau apa aku tidak tahu.
***
Aku duduk bersandar di atas dipan, sambil menyusut air mata yang terus saja berlomba-lomba menetes dari ujung netra.
Ya Allah, begitu berat cobaan ini. Akankah aku sanggup menghadapinya?
Tok! Tok! Tok!
Gegas kuhapus air mata ketika mendengar seseorang mengetuk pintu kamar.
Seperdetik kemudian, Mas Ibnu muncul dengan wajah tanpa rasa bersalah, lalu mendekat dan duduk di sebelahku sambil berusaha memeluk pinggangku.
"Tolong izinkan aku menikah dengan Lusi, May!" ucap Mas Ibnu pelan, namun bagai peluru yang menghujam tepat di jantung.
"Coba kamu bilang sekali lagi, Mas?" sahutku sembari menatap wajah Mas Ibnu.
"Tolong izinkan aku menikah dengan Lusi!"
Plak!
Untuk pertama kalinya, aku mendaratkan tangan di pipi Mas Ibnu. Pria berkulit sawo matang itu terkesiap melihat responku. Diusapnya pipi yang memerah karena tamparan sambil menatap dengan sangat murka.
"Kamu sadar nggak sih, Mas. Kalau Lusi itu keponakan kamu sendiri. Dia bahkan tidak membatalkan wudhu kamu. Jadi menurut hukum Islam, Lusi itu salah satu wanita yang tidak bisa kamu nikahi!" berangku muntap.
"Tapi aku sangat mencintai dia, May!!"
"Cinta itu tidak harus berujung zina, Mas. Kamu juga harus mikir siapa kamu dan siapa Lusi!" Otakku serasa mendidih dibuatnya.
"Pantas saja selama dua bulan ini kamu tidak lagi meminta jatah kepadaku, ternyata kamu lebih memilih yang haram dari pada yang halal, Mas!!" imbuhku lagi, menatap sinis wajah lelaki yang sudah menikahiku selama dua belas tahun itu.
"Aku mulai bosan sama kamu, May. Kamu itu terlalu monoton. Kamu juga sudah terlihat tua. Padahal, usia kamu sama Lusi itu hanya terpaut beberapa bulan saja. Kamu itu jauh dari kata sempurna. Tidak seperti Lusi yang terlihat cantik, awet muda, kencang. Kalau kamu?!" Dia menatap mencemooh ke arahku.
"Wajar saja aku jelek dan terlihat lebih tua dari usiaku, Mas. Karena aku tidak pernah sempat melakukan perawatan. Bukan tidak sempat sih, lebih tepatnya tidak punya modal untuk merawat wajah juga tubuh.
Sekarang aku tanya sama kamu, Mas. Apa kamu pernah membelikan aku skin care sama seperti yang kamu berikan ke Lusi? Apa kamu pernah membelikan aku baju mahal, memberiku waktu untuk pergi ke salon? Enggak kan? Setiap aku meminta uang perawatan, kamu selalu mengatakan kalau kamu menerimaku apa adanya!" Aku mengangkat satu ujung bibir, melirik bengis wajah laki-laki tidak berperasaan itu.
"Wajar kalau Lusi lebih cantik dari aku. Dia lebih terlihat awet muda. Lawong dia dimodalin gede sama kamu. Dia juga emang mempercantik wajahnya kan untuk menarik laki-laki. w************n ya memang harus bermodal wajah cantik dan mengobral tubuh!
Coba setahun saja dia kamu suruh mengurus rumah, tanpa skin care, tanpa perawatan. Mungkin wajahnya lebih menyeramkan dari wajahku. Karena aslinya kan Lusi itu berkulit gelap, tidak seputih sekarang!"
"Kamu nggak usah menghina Lusi, Mayla. Bilang saja kamu iri sama dia!" hardik Mas Ibnu muntab.
"Aku, iri sama wanita muraha*?" Menunjuk wajahku sendiri.
Mas Ibnu terlihat begitu marah karena aku menyebut Lusi sebagai w************n. Dia mengepalkan tangan, menggertakkan giginya dan dadanya naik turun tidak beraturan menahan emosi.
Jujur, aku takut dia hilang akal dan menyakitiku. Namun ternyata dia lebih memilih memukuli tembok yang tidak tahu apa-apa.
"Kamu tinggal izinkan saja saya menikah dengan Lusi. Nggak usah banyak omong, Mayla!"
Buk!
Lagi-lagi dia meninju tembok, hingga meninggalkan bercak kemerahan di dinding kamar kami.
Mas Ibnu meringis kesakitan. Punggung tangan laki-laki itu terus mengeluarkan darah dan aku mengabaikannya, walaupun sebenarnya aku sangat tidak tega.
"Kita bicarakan saja nanti sama ibu, Mas!" Aku berujar sambil melenggang pergi meninggalkan suamiku yang sedang mengerang kesakitan.
Siapa suruh pake acara mukul tembok segala. Memangnya kamu sudah memiliki kekuatan seperti Bima?
***
"Memalukan, bikin aib keluarga. Kamu benar-benar sudah membuat Bapak tidak punya muka di depan Ibu serta Mayla!" Sekilas aku mendengar Mas Hansa sedang memarahi putrinya.
Aku pura-pura lewat di depan mereka, ingin melihat ekspresi Lusi saat di marahi bapaknya. Dan dasarnya dia perempuan jala**, dia terus saja memainkan ponsel sambil senyam-senyum sendiri tanpa menghiraukan omelan ayahnya.
"Tante!" Lusi menghampiriku saat tahu aku melintas di hadapannya.
"Pokoknya tante Mayla harus mengizinkan aku menikah dengan Mas Ibnu. Tadi aku sudah mau dinikahkan, tapi kata Pak Rt harus ada persetujuan dari Tante Mayla. Tante harus izinin aku ya. Kalau tidak, aku akan bikin perhitungan sama Tante!" acam Lusi, tetapi aku tidak gentar sedikit pun. Aku akan mempertahankan hakku, dan tidak akan melepaskan Mas Ibnu begitu saja.
"Aku juga sudah menyewa wedding organizer yang terbaik di kota ini. Pernikahanku dengan Mas Ibnu harus menjadi pernikahan yang paling cetar sepanjang abad!" racaunya tanpa rasa malu.
'Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Lusi!'
Aku melenggang pergi tanpa memperdulikan ocehan wanita tidak tahu diri itu. Biar saja dia berhalusinasi. Dia belum tahu sedang berhadapan dengan siapa. Biarpun aku terlihat lemah, tapi aku masih memilki otak untuk berpikir. Tidak seperti dia yang terlihat cantik, berpendidikan, tetapi otaknya sudah bergeser ke dengkul.
Aku mengenyakkan bokongku di teras belakang, sambil menatap rintik hujan yang sedang mengecup dedaunan. Hatiku teramat teriris, sakit tak terperi. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan luka ini. Jika aku pergi pun justru akan membuat pelakor itu semakin besar kepala.
"Mayla." Sebuah sentuhan lembut mendarat di bahuku.
Aku menoleh dan berusaha mengulas senyum kepada ibu mertua.
"Ibu minta maaf. Semuanya terjadi gara-gara Ibu. Ibu yang salah karena dulu menolak tinggal bersama kalian sehingga akhirnya kamu harus berjauhan dengan Ibnu. Kalau saja kamu tetap tinggal bersama putraku, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Ibnu tidak akan selingkuh apalagi sampai berzina!" Ibu berkata sambil menangis tersedu-sedu.
"Semua bukan karena kesalahan Ibu. Mayla yang salah karena tidak bisa menjadi istri yang baik buat Mas Ibnu," sanggahku.
"Tolong kamu jangan pergi ya, May. Ibu tidak mau kehilangan kamu. Ibu lebih baik kehilangan putra Ibu daripada harus kehilangan menantu terbaik seperti kamu. Kamu juga harus mempertahankan semua hakmu dan juga Raihan. Kamu jangan biarkan Lusi merebut semuanya dari kamu. Ibu janji akan bantu kamu. Ibu juga sudah punya rencana untuk membuat Ibnu juga Lusi jera. Asal kamu setuju dan mau menjalankan rencana Ibu!"
Rencana? Apa yang sedang ibu rencanakan?