Samar-samar terdengar sang muadzin mengumandangkan adzan. Gegas aku membuka mata, turun dari tempat peraduan lalu segera mengambil wudhu dan melaksanakan shalat wajib dua rakaat.
Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, lekas diri ini pergi ke dapur, menyalakan kompor untuk menjerang air. Biasanya setiap bangun tidur Mas Ibnu selalu meminta dibuatkan teh hangat.
"Kamu ngapain, May?" tanya Ibu sambil mematikan kompor.
"Loh, Bu. Kenapa kompornya dimatikan?" Aku menatap wajah ibu mertuaku.
"Sekarang ini pekerjaan di dapur sudah menjadi tugasnya Lusi. Kamu ingat kata Ibu kemarin? Kita harus jadi tim yang kompak dan kuat untuk melawan perempuan nggak tahu diri itu!"
Ibu mengajakku ke kamar utama, membangunkan Lusi karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 05:30.
Sebelum Lusi benar-benar membuka mata, aku mengambil semua skin care milik dia yang tergeletak di atas meja rias dan menyimpannya di kamarku.
"Bangun, Lusi. Sudah siang!" ucapku sembari mengguncang kasar tangan perempuan tersebut.
"Apa-apaan sih, May? Ganggu orang tidur aja!" bentaknya.
"Sudah siang. Kamu lihat sekarang sudah jam berapa?"
Lusi mengucek mata sambil melirik jam yang menggantung di dinding.
"Baru setengah enem. Biasanya aku bangun jam sepuluh. Masih lama!" Wanita berbaju tidur kurang bahan itu kembali memeluk guling dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut.
Aku masuk ke dalam kamar mandi, mengambil seember air dan menyiramkannya ke tubuh Lusi.
Wanita itu berteriak histeris, membuat seluruh isi rumah langsung berlari menghampiri kami.
"Kamu ini apa-apaan sih, May?!" tanya Mas Ibnu meninggikan nada bicar satu oktaf.
"Nyuruh dia bangun. Sudah siang!" sahutku, berusaha setegas mungkin. Padahal dalam hati, aku sangat takut kalau Mas Ibnu marah kepadaku.
"Dia itu biasa bangun jam sepuluh, May!" bela laki-laki yang telah memporak-porandakan hatiku itu membela gundiknya yang pemalas.
"Bukannya semalam kita sudah sepakat, kalau dia akan menggantikan posisiku di rumah ini. Kamu ingat kan, Mas. Kalau aku itu selalu bangun subuh dan menyiapkan sarapan untuk kita. Kamu juga pastinya tidak pernah lupa kalau setiap pagi baju kerja serta sepatu kamu sudah harus siap dan tidak boleh ada yang kurang sedikit pun! tukasku panjang lebar.
"Ya sudah, sekarang kamu kerjakan semua. Kenapa malah nyuruh Lusi?"
"Mulai hari ini semua pekerjaan rumah Lusi yang mengerjakan. Mengepel, menyapu, masak, nyuci piring. Semua harus Lusi yang melakukannya, jika dia mau menikah dengan kamu. Tugas Mayla sekarang hanya tidur, makan, shoping, habisin duit kamu, ke salon untuk perawatan, dan dia tidak boleh memegang pekerjaan apa pun!" timpal Ibu, menatap begis wajah anaknya.
Lusi dan Mas Ibnu saling menatap.
"Sudahlah, Sayang. Kamu lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Ibu. Semua demi cinta kita!" Mas Ibnu menggengam jemari gundiknya, mencium punggung tangan perempuan tersebut seolah ingin memamerkan kemesraan mereka di depanku. Memuakkan!
"Ya sudah sekarang aku mau mandi dulu. Tolong kamu siapkan baju untukku ya, Cintaku!"
Huek!
Rasanya ingin muntah melihat mereka yang sok romantis-romantisan di pagi buta.
Awas saja kamu, Mas. Dalam waktu kurang dari enam bulan, aku pastikan kamu dan Lusi akan berpisah. Karena kalian itu tidak akan bisa menikah walaupun sampai menangis darah.
Aku duduk di sofa ruang keluarga sambil menatap layar televisi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah laki-laki yang statusnya masih suami sahku, yang terlihat mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu.
Sebenarnya aku tidak tega melihat dia kebingungan seperti itu. Tetapi biarlah. Biar dia tahu rasa. Makan tuh cinta dan wajah cantik. Kalau nyiapin keperluan buat Mas Ibnu saja dia tidak bisa.
Jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh pagi. Sudah dipastikan hari ini Mas Ibnu akan terlambat masuk kerja, sebab biasanya dia berangkat dari rumah itu selalu pukul setengah tujuh pagi.
"May, tolong setrikain baju aku dong. Masa aku kerja pake baju kusut begini?" titah Mas Ibnu sembari menunjukkan kemejanya, yang memang sengaja aku buat kusut.
"Kan ada Lusi, Mas. Wanita sempurna yang selalu kamu banggakan!" Aku menyahut sambil mematikan televisi dan lekas pergi meninggalkan Mas Ibnu.
"Lusi nggak bisa nyetrika, May. Lagian dia itu nggak pantes ngerjain semua pekerjaan pembantu seperti ini!"
Deg!
Dadaku langsung bergemuruh mendengar dia mengucap pekerjaan pembantu. Jadi selama ini dia hanya menganggap aku sebagai asisten rumah tangganya?
"Aku juga bukan pembantu di rumah ini, Mas!" hardikku kesal.
"Tapi kamu biasa mengerjakan semua ini. Aku takut tangan Lusi menjadi kasar."
"Sekarang semuanya sudah menjadi tugas Lusi, Mas. Sesuai perjanjian!"
Aku melenggang pergi sambil menahan rasa nyeri di sanubari.
***
Duduk di depan cermin, memindai wajahku yang memang terlihat lebih tua dari usiaku. Pantas saja Mas Ibnu berpaling. Sebab, aku memang sudah tidak menarik lagi.
"Mulai sekarang, aku harus mempercantik diri. Aku harus berubah. Aku tidak boleh kalah dari pelakor itu!" Mengusap mukaku yang terlihat kusam.
Setelah selesai mandi, aku langsung pamit kepada Ibu untuk pergi ke salon. Pokoknya aku harus melakukan perawatan. Aku harus menyayangi tubuhku sendiri.
Kuambil uang tabungan yang Mas Ibnu titipkan kepadaku, menggunakannya untuk membeli skin care juga melakukan perawatan. Tidak lupa juga membeli beberapa potong baju baru, juga tas hingga menghabiskan banyak sekali uang suamiku.
"May, mayla!" teriak Mas Ibnu ketika dia baru saja pulang dari kantor.
"Ada apa, Mas?" tanyaku seraya menghampiri suami.
Mas Ibnu terbengong-bengong melihatku. Aku sengaja mengenakan lingerie, memoles wajahku dengan makeup yang baru saja aku beli dan mengenakan minyak wangi. Dandananku sudah persis seperti w*************a malam ini.
"Kenapa kamu pakai uang tabungan yang aku titipkan ke kamu?" Dia memelankan nada bicaranya. Tumben.
"Loh, memangnya kenapa? Uang kamu itu uang aku juga loh. Daripada kamu habiskan dengan wanita lain, mendingan aku yang make uang kamu. Toh, aku cantik juga buat kamu. Iya toh? Coba kamu pikir deh, Mas. Kalau wajah aku cantik, aku cuma mempersembahkannya untuk kamu. Tapi, kalau wajah gundik kamu yang cantik, emang kamu yakin dia itu setia?"
Mas Ibnu hanya diam. Dia lalu menggadengku masuk ke dalam kamarnya, namun aku langsung menolaknya dengan alasan sedang datang bulan.
Dasar laki-laki. Nggak boleh lihat jidat licin sedikit langsung pengen ngembat!
Aku segera masuk kamar dan langsung menguncinya dari dalam. Sementara Ibu, dia masuk ke kamar utama dan tidur bersama Lusi. Antisipasi takut dia dan Mas Ibnu berbuat macam-macam. Ibu juga diam-diam memasang CCTV di kamar yang sedang ditempati wanita tidak tahu diri itu.
***
Pagi-pagi sekali, Lusi sudah berteriak histeris karena pipinya mulai di tumbuhi jerawat. Aku tersenyum puas karena Tuhan mulai menunjukkan wajah asli keponakan suamiku itu.
"Mana skin care aku, Mayla. Muka aku bisa rusak kalau aku nggak pake skin care!" ucapnya, berusaha menerobos masuk ke dalam kamarku.
"Sudah aku buang!" jawabku enteng.
"Kamu tahu nggak itu harganya berapa?!" rutuknya emosi.
"Enggak!" Aku memasang muka lugu.
"Oh, iya aku lupa. Wanita kampung mana tahu sih harga skin care mahal!" cicitnya semakin kebakaran jenggot.
"Mendingan jadi wanita kampung daripada jadi wanita perusak rumah tangga orang!" bisikku, dekat sekali di telinganya.
Lusi menghentakkan kakinya lalu berusaha menarik rambutku. Untung saja aku sudah antisipasi hingga bisa menghindari serangan harimau betina tersebut.