Dengan langkah terseok aku berjalan ke rumah untuk mengambil ponsel dan menghubungi Abraham. Aku juga berniat merekam aksi b***t mereka, sebagai bukti jika mereka berkilah saat penggerebekan nanti.
"Loh, Bu Mayla. Kenapa malam-malam berada di sini?" tanya Bang Ali–satpam komplek yang kebetulan sedang berjaga.
"Bang, tolong panggil warga yang masih melek dan Pak Rt. Bawa mereka kesini!" titahku setengah berbisik.
"Emangnya ada apa, Bu May?" Bang Ali menatapku heran.
"Panggil saja. Nanti kumpul di depan rumah itu!" Menunjuk rumah yang di dalamnya terdapat dua manusia yang sedang berlayar di samudra dosa.
"Tapi tolong jangan berisik. Saya tadi lihat ada laki-laki masuk ke dalam rumah itu dan sepertinya mereka sedang berbuat m***m!"
Bang Ali langsung ke pos ronda memanggil teman-temannya dan juga Pak Rt, sedang aku sendiri langsung bergegas mengambil posel, buru-buru ke rumah perempuan jalang itu dan merekam video perbuatan asusila mereka walaupun mata serta bathin ini tidak sanggup menyaksikannya.
Selang beberapa menit kemudian terdengar suara segerombolan orang menghapiri rumah tersebut. Aku segera keluar, memberi kode mereka untuk masuk dan mendobrak pintu.
Semua mata membelalak ketika melihat kedua insan menjijikkan itu sedang bermadu kasih di dalam. Saking asyiknya, mereka sampai tidak menyadari kehadiran kami semua, dan menghentikan aktivitasnya ketika Pak Rt melempar kaleng biskuit ke tepi ranjang.
"Mayla?" Wajah Mas Ibnu langsung terlihat pucat seperti mayat hidup.
"Tega kamu, Mas! Tega kamu, Lusi!" Aku jambak rambut wanita itu dan menyeretnya dari atas tempat tidur.
"Sakit, Tante!" pekik wanita berusia tiga puluh empat tahun itu sambil berusaha menutupi tubuhnya.
"Sakitan mana sama hati aku, jal-ang!" Kutarik perempuan itu dan melemparkannya ke tengah-tengah kerumunan orang-orang tanpa membiarkan dia mengenakan bajunya terlebih dahulu.
"May, Mayla. Kamu jangan seperti itu, May. Kita bisa bicarakan semua ini baik-baik!" rengek Mas Ibnu seperti bocah yang ketahuan mencuri.
"Bicarakan baik-baik apanya, Mas?!" Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Mas Ibnu.
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, aku merasa tenagaku sudah seperti Hulk saja saat itu. Mungkin karena rasa kecewa, marah sekaligus sakit hati membuatku tenagaku menjadi berlipat-lipat.
"Ini mereka berdua bagusnya diapain, Bu?" tanya Bang Ali.
"Terserah kalian saja. Mau diarak keliling komplek, mau diviralkan, atau apalah, saya sudah tidak perduli!" sahutku seraya memijat pelipis yang terasa mulai nyut-nyutan.
"May, kita bicarakan di rumah saja, Mayla. Aku malu kalau sampai diarak keliling komplek, apalagi sampai diviralkan. Nanti kalau anak kita lihat bagaimana?" Mas Ibnu bersimpuh di hadapanku, sambil terus mencekal kedua kakiku.
"Malu, Mas?!" Aku mengangkat satu ujung bibir. "Kamu masih punya rasa malu? Sebelum kamu melakukan hubungan haram ini apa kamu memikirkan rasa malu kamu. Enggak kan?!"
"Aku khilaf, May. Aku minta maaf. Aku juga baru melakukannya sekali ini saja kok!"
"Terus pas malam pertama aku datang ke Jakarta, bukannya kamu juga habis melakukannya?!"
"Aku bisa jelasin, May!"
Aku menjauhkan tangan Mas Ibnu dari kaki, merasa jijik disentuh oleh tangan yang baru saja menjamah barang haram.
"Sudah, Pak! Sekarang tugas Bapak memberi hukuman seadil-adilnya buat dua pezina ini!" perintahku kepada Pak RT.
Aku melenggang pergi meninggalkan rumah Lusi dengan perasaan yang teramat hancur.
Tidak lama kemudian, terlihat mobil Abraham berhenti tepat di depan pagar rumahku. Lelaki berambut panjang itu langsung turun dari mobilnya dan menghampiriku.
"Ada apa, May?" Wajah Abraham terlihat begitu khawatir.
"Kamu lihat saja di rumah pink yang ramai orang itu!" sahutku, menunjuk rumah yang ternyata ditinggali oleh Lusi–calon istri Abraham.
Aku menggeser pintu pagar, berjalan terhuyung menuju teras dan menumpahkan tangisku.
Aku benar-benar tidak menyangka kalau suamiku memiliki hubungan terlarang dengan keponakannya, bahkan sampai melakukan hal sejauh itu.
Pantas saja dia sudah dua bulan tidak pulang ke kampung halaman dan meminta jatah kepadaku. Ternyata di sini dia sudah memiliki hati yang lain.
Kuseka air mata yang terus saja berduyun-duyun keluar dari kedua sudut netra, mencoba menahan rasa sakit yang begitu meraja di hati.
"Sejak kapan mereka memiliki hubungan terlarang itu, May?" tanya Abraham yang tiba-tiba sudah duduk bersila di sisiku.
"Pantas saja Lusi selalu menolak cepat-cepat aku halalkan. Ternyata dia lebih suka melakukannya dengan yang haram!"
Aku menoleh menatap wajah Abraham yang terlihat memerah. Aku tahu dia juga pasti sangat terluka.
"Selama tiga hari aku keliling Jakarta mencari keberadaan Lusi. Ternyata dia malah tinggal di komplek ini dan menjadi duri dalam rumah tangga kamu, May!"
"Aku juga tidak menyangka mereka bisa setega ini kepadaku, Bram!" Lagi-lagi air bah yang sudah aku tahan, kembali merebak membanjiri pipi.
"Nggak usah nangis, May!" Abraham menyodorkan sebuah sapu tangan.
"Orang seperti Ibnu tidak pantas kamu tangisi!"
"Lantas, kamu sendiri bagaimana, Bram? Apa kamu tidak sakit hati melihat calon istri kamu ternyata menghianati cinta kamu?"
"Dia memang tidak pernah mencintaiku, May. Mungkin ini jawaban dari doa-doaku selama ini. Aku selalu meminta kepada Tuhan, supaya mendekatakanku dengan Lusi jika memang kami berjodoh, dan menjauhkannya jika aku memang tidak pantas untuk Lusi. Sekarang, aku sudah tahu kelakuan busuk Lusi. Padahal, May. Setiap bulan aku juga selalu mentransfer sejumlah uang yang dia minta untuk membayar sewa rumah serta kebutuhannya sehari-hari. Ternyata dia malah main serong sama pamannya sendiri!"
Aku hanya bisa diam sambil menahan nyeri di sanubari.
Selama bertahun-tahun aku mengabdikan hidupnya kepada Mas Ibnu, dia malah membalasnya dengan penghianatan.
***
Pagi-pagi sekali Pak Rt mendatangi rumahku dan menanyakan kelanjutan hubungan Mas Ibnu dengan Lusi. Pria berkemeja putih itu juga meminta izin kepadaku, untuk menikahkan keduanya karena mereka sudah melakukan zina.
Hatiku benar-benar seperti sedang dicacah-cacah lalu disiram menggunakan air cuka. Sakit, perih hingga ke urat nadi.
"Kita panggil orang tuanya Lusi dulu, Pak. Kakak dari suami saya!" ucapku sambil menahan tangis.
"Lusi masih memiliki orang tua, jadi harus ada wali ketika menikah!" imbuhku kemudian.
Ya Allah, remuk redam hati ini. Pondasi cintaku telah roboh, hancur berkeping-keping dan rata dengan tanah. Kini hanya menyisakan kepingan luka yang tidak mungkin bisa diobati.