Part 2

1277 Kata
"A–aku melakukannya sendiri, May!" sahutnya sambil menundukkan kepala.   "Ya Allah, Mas. Kamu tahukan kalau itu hukumnya dosa?!" Ada kelegaan sekaligus rasa bersalah karena suamiku sampai melakukan hal seperti itu.   "Sudah jangan dibahas. Mas malu!"    Aku segera turun dari atas ranjang, mengambil seprai baru di dalam lemari dan lekas memasangnya dibantu oleh Mas Ibnu. Setelah itu kami tidur karena tubuhku terasa lelah setelah melakukan perjalanan dari kota asal Mas Ibnu ke Jakarta.   ***   Lamat-lamat terdengar suara adzan subuh berkumandang. Kubangunkan Mas Ibnu yang masih terlelap sambil memeluk guling, lalu segera ke kamar mandi membersihkan badan serta mengambil wudhu.   "Loh, kok tidur lagi, Mas?" Kembali ku guncang tubuh suamiku dan menyuruhnya untuk segera melaksanakan shalat subuh.   "Nanti nunggu jam setengah enam, May!" ucapnya tanpa mau membuka mata.   "Kok kamu jadi nunda-nunda sholat sih? Nggak biasanya loh!"   "Nggak usah mulai bawel. Nanti juga aku sholat!" hardiknya dengan nada meninggi.   Astaghfirullahaladzim, aku mengelus d**a mendengar ucapannya yang sedikit menyakiti perasaan.   Mas Ibnuku telah berubah. Dia tidak selembut dulu. Dia juga mulai malas-malasan melakukan kewajibannya sebagai seorang mu'min.   "Mas, sholat dulu. Habis sholat tidur lagi kan bisa." Aku terus mengusap bahunya supaya dia lekas beranjak dari tempat peraduan.   Mas Ibnu malah membungkus rapat tubuhnya dengan selimut.   Aku menggeleng sambil melenggang menjauh darinya.   Gegas menggelar sajadah, bersujud minta pengampunan serta keridhaan hati untuk menjalani takdir yang digariskan Illahi.   Karena jujur, aku ingin kembali tinggal serumah dengan Mas Ibnu, namun keadaan ibu tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri. Ibu juga selalu menolak untuk tinggal bersama kami, hingga akhirnya Mas Ibnu menyuruhku hidup di kampung mengurus orang tuanya.   "Mas, bangun dong sayang...." Kudaratkan ciuman di pipinya, memercikkan sedikit air ke wajah tampan itu, seperti dulu aku selalu melakukannya setiap kali membangunkan dia untuk shalat subuh ataupun shalat di sepertiga malam.   "Kamu apa-apaan sih, May. Nggak sopan banget!" bentaknya tidak kusangka.   Hatiku mencelos mendengar suara bariton Mas Ibnu. Aku langsung menunduk takut, sambil sesekali menyeka air mata yang sudah berlomba-lomba lolos dari ujung netra.   Kenapa Mas Ibnuku berubah? Dulu, dia langsung melingkarkan tangan di pinggang setiap kali aku mengganggunya untuk bangun.    "May, maafin Mas. Mas tidak bermaksud membentakmu. Tadi spontan karena Mas masih merasa ngantuk!" Mas Ibnu meraih jemariku dan menggenggamnya.   "Ya sudah, sekarang Mas bangun. Tolong bikinin Mas teh ya!" titahnya sambil menyibak selimut lalu masuk ke dalam kamar mandi.   Setelah selesai membuat teh, kami berdua bercengkrama di teras depan sambil menunggu tukang makanan lewat.   Mataku menyipit melihat ruam-ruam merah di leher Mas Ibnu.    Ya Allah, ruam itu bukan gigitan semut tapi gigitan manusia. Tapi, siapa yang melakukannya. Mas Ibnu tidak mungkin melakukannya sendiri.   "May, ada ketoprak mau gak?" tanya Mas Ibnu menarikku dari lamunan.   "Eh, iya, Mas. Apa saja yang penting buat sarapan!" jawabku berusaha tersenyum, menepis rasa gelisah yang bertengger di sanubari.   Mas Ibnu beranjak dari duduknya dan menghampiri tukang ketoprak yang sudah ia panggil. Tidak lama kemudian, ia kembali membawa dua piring makanan berbumbu saus kacang itu, dan mengangsurkannya kepadaku.   "Loh, Mas. Kok tumben kamu pesannya salah. Aku nggak suka pake bihun sama kerupuk loh kalau makan ketoprak. Dan kamu faham banget itu!" protesku seraya mengaduk-aduk makanan itu dan menyingkirkan makanan yang tidak aku sukai.   "Maaf, Mas lupa!" Dia menyunggingkan bibir sambil mengusap pipiku.   Tidak lama kemudian, Lusi keponakannya Mas Ibnu datang menghampiri kami.   "Tante Mayla kapan datang?" tanya perempuan itu sambi duduk di sebelahku.   Ya Tuhan, kenapa wangi parfum Lusi sama persis seperti yang aku cium di tubuh serta kamar Mas Ibnu?   Ah, sepertinya tidak mungkin mereka berbuat macam-macam di belakangku. Lusi itukan keponakannya Mas Ibnu. Anak dari Kakak tirinya yang beda ibu.   "Mas, Lusi mau minta anterin ke rumah temen bisa nggak?"    Lusi memang selalu memanggil Mas Ibnu dengan sebutan Mas, karena usia wanita itu hanya terpaut dua tahun darinya.   "Bisa, dong!" jawab suamiku terlihat semangat.   Setelah selesai menyantap sarapannya, Mas Ibnu langsung pergi bersama Lusi dan pulang setelah pukul sembilan malam. Aku tidak tahu mereka pergi kemana saja karena sesampainya di rumah, Mas Ibnu langsung tidur tanpa mengganti bajunya. Sepertinya dia sangat kelelahan sekali.   Ponsel Mas Ibnu terus saja menjerit-jerit padahal jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Ada panggilan video masuk dari Lusi.    Karena penasaran dan takut ada kepentingan mendesak, aku langsung menggeser tombol hijau mengangkat panggilan tersebut.   'Astaghfirullah!' pekikku dalam hati ketika melihat Lusi mengenakan pakaian yang sangat menggoda di seberang sana.   Apa maksudnya menelepon dengan pakaian kurang bahan seperti itu.   "Ma–maaf Tante. Lusi salah pencet. Tadinya Lusi mau nelepon temen, eh, malah nyambungnya ke Mas Ibnu!" ucap wanita berambut keemasan itu kemudian menutup panggilannya secara sepihak.   Aku menggeleng kepala sambil meletakkan ponsel suamiku di atas nakas. Untung saja bukan Mas Ibnu yang menjawab panggilan dari Lusi. 'Kan bisa gawat kalau sampai suamiku melihat aurat keponakannya.   ***   "May, aku berangkat kerja dulu ya. Nanti pulang mau dibawain apa?" tanya Mas Ibnu sembari mengecup puncak kepalaku.   "Cukup bawa ini secara utuh, Mas!" Aku meletakkan tangan di d**a suamiku. "Aku nggak mau hati kamu terbagi dengan cinta yang lain!" Imbuhku.   "Kamu ngomong apa sih? Udah kaya abege labil saja!" Dia mencubit pipiku mesra.   'Karena aku merasa kalau kamu sudah mulai membagi cinta, Mas.' Bhatinku.   Setelah Mas Ibnu pergi, aku langsung membereskan baju kotornya yang menumpuk di keranjang baju.   Mataku menyipit dengan dahi berkerut-kerut, ketika melihat bon pembelian tas bermerek yang harganya begitu fantastis, seharga nafkahku selama sepuluh bulan. Aku juga menemukan slip p********n skin care, dengan harga tidak kalah fantastisnya. Total belanjaan tas serta skin care hampir lima puluh juta.    Apa Mas Ibnu sengaja membelikan untukku dan akan memberikannya sebelum aku pulang nanti?   Aku mengulum senyum membayangkan kejutan yang akan suamiku berikan nanti.   "Tante May. Mas Ibnu mana?" Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba Lusi sudah berdiri di belakangku.   "Sudah pergi, Lus. Memangnya ada apa?" Aku menatap wajah cantik Lusi.   "Ada perlu sedikit!"    Aku hanya ber 'oh' ria sambil memandangi tas bermerek yang menggantung di tangannya.   "Kenapa, Tan. Bagus ya? Ini dibeliin sama pacar aku loh. Harganya empat puluh lima jutaan!"   Deg!   Pacar? Kenapa harga dan mereknya sama persis seperti di bon pembelian yang aku temukan di saku celana Mas Ibnu?   Enggak. Dia tidak mungkin selingkuh dengan suamiku. Dia itukan keponakannya. Masa iya, ada seorang paman mempunyai hubungan khusus dengan sang keponakan.   ***   Malam kian beranjak sunyi. Hanya suara denting jam yang terdengar, berpadu dengan suara cicak yang sedang bersenandung di dinding kamar.   Aku masih saja terjaga, memikirkan semua perubahan-perubahan sikap Mas Ibnu, juga penemuan-penemuan yang mencurigakan di rumah ini. Aku benar-benar gelisah, teramat takut kalau dia sampai menduakan cintaku.   Aku pura-pura memejamkan mata saat merasa kasur tempatku sedang berbaring bergerak dan Mas Ibnu turun dari atas peraduan dengan sangat pelan serta hati-hati.   Laki-laki berkaos putih itu lalu berjalan mengendap-endap menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali secara perlahan.   Gegas aku mengambil kerudung dan membuntuti suamiku yang berjalan kaki keluar dari rumah yang sedang kami tinggali.   Aku sangat penasaran. Sebenarnya hendak kemana dia tengah malam seperti ini.    Jantungku menghentak kuat ketika Mas Ibnu masuk ke dalam rumah bernuansa merah muda. Rumah yang terlihat begitu gelap, hanya satu ruangan yang terlihat menyala, dan sepertinya itu kamar si empunya rumah.   Dengan hati berdebar aku ikut masuk ke dalam rumah tersebut, berusaha membuka pintunya, tetapi ternyata terkunci dari dalam. Aku hampir putus asa dan pingsan karena penasaran.   Ragu-ragu aku mengambil bangku, meletakkannya di teras kamar serta mencari celah untuk mengintip ke dalam.   Tubuhku luruh seketika saat melihat ternyata Mas Ibnu masuk ke dalam kamar kemudian memeluk mesra perempuan yang ada di dalamnya dan....   Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus mendiamkannya dan menunggu Mas Ibnu pulang, lalu membicarakannya baik-baik?   Atau? Aku harus memanggil warga biar menggerebek mereka dan memberi mereka berdua pelajaran?   Aku meremas d**a yang terasa seperti sedang dicacah-cacah, lalu disiram menggunakan air garam. Sakit, perih hingga ke nadi.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN