Ini sudah pagi dan Jani tak kunjung mau sarapan. Dia mendiami semua orang karena Andra masih berada di sana.. Tentu saja dia masih ingat betul saat dirinya ditahan mati-matian agar tidak mengejar sosok yang wajahnya persis sekali dengan Panji.
Bagaimanapun, itu sangat menyedihkan bagi Jani. Pasalnya, setelah disindir kanan kiri kurang waras lah, apa lah! Sekarang, saat Jani menemukan Panji, dia malah dihalang-halangi. Maksudnya apa coba? Mencoba berpikir positif pun, Jani tak kuasa. Yang ada, dia ingin menghujat Andra dan semua antek-antek yang membela lelaki menyebalkan itu.
“Kamu mimpi semalam, Jan. Nggak ada Panji," kata Andra akhirnya.
Jika dihitung-hitung, ini sudah yang ke dua puluh delapan kali Andra mengatakan kalau lelaki semalam bukan lah Panji. Tentu saja Jani yang memang murka langsung meladeni Andra. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Persetan dengan keadaannya yang belum pulih total, Andra harus diberi pelajaran agar kapok dan tidak asal bicara lagi.
“Aku lebih kenal Panji daripada kamu, Ndra. Aku tau, dia Panji.” Kata Jani bersi keras.
Andra menoleh ke belakang, menatap Bu Intan yang mengurut keningnya di sopa. “Tan, kayaknya si Jini oleng deh kepalanya kebentur aspal.”
“Ya!” Jani berteriak tidak terima. “Jelas-jelas semalam itu Panji. Kamu juga lihat dia. Kenapa malah pura-pura tidak tau?” bentaknya sekali lagi.
“Ya karena memang tidak tau." Kata Andra sambil menatap Jani polos, layaknya anak kecil yang tidak memiliki dosa. "Masak aku harus pura-pura bilang iya cuma buat nyenengin kamu.”
Sekarang, gantian Jani yang melihat ke arah mamanya. Mencoba meyakinkan sekali lagi. Siapa tahu dia mendapat dukungan sekarang. “Ma, percaya sama aku. Orang yang aku lihat itu Panji. Dia masih hidup.”
“Iya, Kak. Kamu sarapan dulu, nanti Dokter Sarah mau ke sini, jengukin kamu.”
“Aku nggak lagi halusinasi. Itu Panji! Kenapa nggak ada yang percaya sama aku?” meski mengeluh, tapi Jani tetap tidak putus asa.
Menangis lagi? Tidak, mata Jani hanya berkaca-kaca. Tentu dia kesal dengan semua yang terjadi. Andra sendiri hanya bisa mengembuskan napas berat saat melihat Jani begitu frustasi. Wanita itu kehilangan Panji hampir gila dan saat ada orang mirip lelaki itu pun, dia juga hampir sama gilanya. Tidak ada yang bisa dipilih.
Sepeninggalan semua orang, Jani hanya duduk termenung di atas ranjang rumah sakit dengan kaki yang ditekuk, bersila. Dia tidak habis pikir, dia benar melihat Panji. Andra, lelaki itu juga melihatnya. Namun kenapa malah pura-pura tidak tahu? Kesal, Jani mengusap rambutnya frustasi sampai membuat infusnya terlepas.
Wanita itu kembali mengembuskan napas berat dan memutuskan turun dari ranjang. Baiklah, kalau semua orang tidak ada yang percaya padanya, dia akan membuktikan sendiri dan akan membawa Panji pulang.
“Heh, mau kemana?!” tanya Andra datar. Lagi-lagi, lelaki itu mendegkus kesal melihat Jani yang ada saja tingkahnya. Sudah dibilangi dokter untuk istirahat tapi ngeyel ingin melarikan diri.
Melihat kehadiran Andra, Jani tentu tidak peduli. Masih ingat bagaimana lelaki itu menahannya untuk tidak mengejar lelaki yang Jani pikir mirip dengan Panji? Ya itu! Jani kesal setengah mati.
"Jangan keras kepala deh, Jan!” Andra mendekat, menghalau langkah Jani yang ingin melarikan diri. Sedang Jani, wanita itu menatap Andra tanpa ekspresi. Jujur, dia ingin sekali mencakar wajah Andra yang menyebalkan.
Tak mau menanggapi Andra yang ujung-ujungnya adu mulut, Jani menggeser tubuh Andra pelan dan berjalan menjauh. Peduli setan tangannya sampai bengkak karena infusnya terlalu sering terlepas, secara kasar pula.
Andra menengadah, memejamkan matanya dalam-dalam dengan napas yang dia atur supaya sirkulasinya membaik. Kemudian, baru berbalik dan menyejajarkan kangkahnya dengan langkah Jani yang pelan.
“Mau kemana?” tanyanya lembut. “Aku temenin.”
"Gak usah.” balas Jani tah acuh dan mempercepat langkahnya walau sia-sia. Karena Andra tentu dapat menyusul langkahnya yang terseok-seok dengan mudah. Bahkan, satu dorongan saja, Jani pasti langsung terjengkang.
"Dih baperan.” hujat lelaki itu, berharap Jani msu menanggapinya. Namun, Jani tak peduli dan tetap melanjutkan langkahnya menuju resepsionis. Sampai di sana, dia menumpukan tubuhnya pada sekat dan mulai bertanya.
“Sus, saya mau tanya. Nama lelaki yang membayar pengobatan siapa ya, Sus? Saya mau berterima kasih karena sudah bertanggung jawab.”
Andra mendengkus, Jani memang pintar bersandiwara dalam berbagai hal. Dia bukan ingin berterima kasih sebenarnya, tapi mencari tahu lebih dalam siapa lelaki yang dia anggap mirip dengan Panji. Tertebak sekali.
"Kamu kayaknya harus operasi mata deh, Jan. Lima tahun nggak pernah lihat dia, kamu sampai salah ngenalin orang.” Andra berusaha mencari topik lain lagi. Pasalnya, kalau semakin dalam ditelusuri, pasti hanya luka yang akan Jani dapatkan.
Jani masih tak menggubris cibiran Andra yang saat ini tengah berdiri ogah-ogahan di sampingnya. Dia hanya menatap harap pada petugas yang sibuk mencari sesuatu. “Namanya Dafa Arkana, Mbak.”
Saya Dafa, bukan Panji.
Jani menggeleng saat mengingat perkataan lelaki itu. Kemudian bertanya lagi. "Tahu alamat rumahnya nggak, Mbak?”
“Maaf, Mbak. Beliau tidak menulis alamat rumahnya, hanya menulis nama saja.” katanya memberi tahu.
Cahaya yang terpancar pada wajah Jani mendadak redup. Namun, Jani belum menyerah.
"Nomor telfonnya? Nomor telfonnya ada kan, Mbak?” tanyanya antusias lagi.
“Maaf, Mbak, tidak ada.” kata penjaga itu terlihat menampilkan raut sesal.
Jani mendengkus pelan. “Ya sudah, makasih ya, Mbak.”
Dengan langkah lunglai, Jani kembali berjalan menuju ruangannya. Hanya nama, itu satu-satunya harapan Jani sekarang. Semoga dengan bekal dua kata itu, Jani bisa menemukan orang mirip dengan Panji. Andra yang ditinggalkan, hanya tersenyum singkat ke arah resepsionis.
“Saya tahu kalau ada yang Anda rahasiakan.”
Resepsionis itu mengerjap bingung. “Ya?”
“Nggak mungkin penanggung jawab hanya memberi nama, pasti ada identitas yang lengkap.”
Benar saja, resepsionis itu terlihat gelisah. “Maaf, Mas. Sebenarnya, orang yang bersangkutan sudah berpesan untuk tidak diberitahukan identitasnya.” katanya. Jelas sekali kalau resepsionis itu juga tidak enak hati.
“Lalu kenapa Anda memberi tahu namanya pada teman saya? Harusnya jangan beritahu dia apapun.”
Belum sempat resepsionis ini beralasan, Andra lebih dulu berjalan santai menyusul Jani yang hampir sama di ruangannya. Dan lagi, saat dia sampai ruangan itu, dia melihat Jani meringkuk di ranjang dengan tatapan tak terbaca.
“Kalau dia Panji, harusnya dia pulang. Dia pasti bukan Panji.” Andra berasumsi.
Jani memejamkan matanya dalam-dalam saat Andra melenggang masuk. Tidak ada yang mengerti. Meskipun parfum yang dipakai berbeda dengan Panji, Jani yakin itu Panji. Jani bisa merasakan itu. Jantungnya bertalu hebat saat berada di dekat lelaki itu, sama saat dekat dengan Panji. Jani yakin, lelaki itu pasti Panji.
Namun, Andra benar. Kalau itu Panji, kenapa tidak pulang?
“Aku udah gila, ya, Ndra?”
Andra mendengkus pelan mendengar pertanyaan Jani yang seperti orang lemah. Biasanya, Andra dengan senang hati menghujat Jani dalam berbagai hal. Namun sekarang, daripada menghujat, Andra malah ingin memeluk dan membuat tangisan wanita itu berhenti.
Benar, Andra memang tiak mendengar isakan tapi dia mendengar nada getar saat Jani menangis. Dia tidak melupakan apapun. Dan tangisan Jani, itu adalah bagian yang paling dia ingat sekaligus dia benci.
Tak mampu menahan apapun lagi, Andra menepis seluruh jarak yang ada dan mengusap bahu Jani pelan. Wanita itu sudah tersiksa selama ini. Dan parahnya lagi, dia sendiri tidak ada niatan untuk membebaskan dirinya agar bahagia. Sebegitu cintanya dia dengan sosok Panji yang pergi dan tak kunjung kembali juga.
"Cry, it’s okay. I will pretend if I don’t look.”
Benar, Jani menangis lagi seperti sore kabar pesawat Panji hilang kontak kala itu.
“Aku kangen sama Panji, Ndra…” adu Jani layaknya orang kesakitan.
Andra mengetatkan rahangnya kuat. Andai Panji masih ada, dia pasti menghantam wajah lelaki itu karena terlalu sering, bahkan selalu saja membuat Jani menangis.
Apa gunanya mencintai kalau berakhir menyedihkan seperti ini? Itu yang selalu membuat Andra balik badan saat di depannya ada orang yang seharusnya dia hampiri. Dia benci tangisan. Apalagi tangisan Jani yang seperti magma panas yang menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya.
***
Di sinilah mereka sekarang. Di depan pelataran kediaman Jani. Saat turun dari mobil, Jani dibantu oleh Bu Intan dan Andra yang membawakan tas dari rumah sakit.
Sewaktu sampai rumah, Jani langsung pergi ke kamar. Wanita itu tak melakukan apa-apa. Hanya terbaring meringkuk dengan tatapan kosong ke arah samping. Bu Intan yang melihat dari ambang pintu hanya bisa mengembuskan napas pelan. Harapannya satu, Jani tidak kembali menjadi Jani yang dulu lagi. Beliau takut kalau Jani melakukan hal-hal yang bisa membahayakan nyawanya. Perempuan itu terbiasa kehilangan kontrol akan dirinya sendiri.
"Tan?” Andra menoleh ke arah Bu Intan.
"Dosa tante apa, ya? Jani..."
Ada dua yang paling dibenci Andra. Pertama, pengkhianatan. Kedua, wanita yang disayanginya menangis.
Dia yang biasanya pandai berbicara hanya bisa terdiam melihat Bu Intan menangis pilu untuk kesekian kalinya. Dia ingin menyalahkan Jani, tapi Andra sendiri tak kuasa. Jangankan disalahkan, wanita itu dibiarkan saja sudah terluka sejauh ini.
Bu Intan segera menghapus air matanya dan tersenyum kepada Andra. “Tante titip Jani sebentar, ya. Tante mau nyiapin makan dulu.”
Sebagai balasan, Andra hanya mengangguk dan Bu Intan bergegas pergi dari ambang pintu kamar anak sulungnya itu.
Dengan langkah santai, Andra berjalan perlahan menghampiri Jani yang masih tidak merubah posisinya sedari awal. “Kamu mau sampai kapan terus-terusan kayak gini, hm? Kasian mama papa kamu kalau kamu gini. Seenggaknya kalau kamu nggak pengen hidup, kamu nggak perlu hidup buat diri kamu sendiri tapi hidup buat mereka." tutur Andra lemah lembut. "Hidup buat yang sayang sama kamu. Jangan egois dengan terus-terusan nangisin Panji yang jelas-jelas udah nggak ada, Jan.”
Jani memejamkan matanya dalam-dalam, dia butuh beberapa saat untuk bisa mengeluarkan suara. “Tapi dia mirip banget sama Panji, Ndra. Wajah mereka, suara mereka. Aku berharap banget kalau itu emang dia.” bisiknya lirih.
"Hi, sttttt, jangan nangis…” Andra mengusap bahu Jani yang bergetar hebat meski tak ada isakan yang menyertai. Entah berapa kali wanita itu terus menangis seperti ini. Dan hebatnya, Jani selalu menangis tanpa suara. Entah disembunyikan di bagian tubuh bagian mana suara tangisan pilunya itu.
“Bangun ya, makan dulu. Kamu belum sarapan dari tadi.”
Jani menggeleng pelan kemudian mengusap hidungnya yang berair. “Aku mau tidur, nanti aja.”
"Ya udah, istirahat gih.”
Jani lalu bergerak pelan untuk mencari posisi ternyaman versi dirinya sendiri. Kemudian, Andra memilih keluar. Tidak baik di kamar seorang wanita yang tidak memiliki hubungan yang sah.
Bobrok begitu, Andra masih tahu batasannya. Hingga Andra yang dipasrahi untuk menjaga Jani memutuskan pulang saat dirasa tugasnya sudah selesai.
“Tan, aku izin pulang dulu, ya.”
Bu Intan yang sibuk di dapur lantas berjalan menghampiri Andra yang berdiri di dekat sopa keluarga. “Lhoh, kok cepet banget. Nggak sekalian ikut makan? Tante udah nyiapin buat kamu juga.”
Andra meringis pelan. “Maaf, Tan. Tapi ini aku bener-bener ada tugas yang harus aku kerjain sekarang. Lain kali aja, ya? Atau enggak, suruh Jani atau Vivi buat nganterin ke rumah, nanti pasti aku makan.”
Bu Intan mengangguk sambil tersenyum. “Iya, nanti Tante minta Jani buat nganterin, biar dia keluar nggak diem aja di kamar.”
“Siap, Tan. Aku permisi dulu.”
“Iya, hati-hati.”
Sepeningglan Andra, Bu Intan langsung menatap kamar Jani yang ada di lantai atas. Seharusnya, anak sulungnya tidak semenderita ini. Sudah bertahun-tahun berlalu dan Jani tetap tidak bisa melupakan Panji. Andai saja Panji tidak pergi, mungkin putrinya sudah bahagai, membangun rumah tangga bersama orang yang dia cintai tentunya.
“Ma?”
“Ah iya, kenapa, Dek?” Vivi yang baru datang tadi penasaran melihat mamanya terdiam melihat ke lantai atas. Dan saat ditilik, ternyata sedang mengamati kamar Jani dan saat menoleh, Vivi tahu mamanya sedang bersedih.
Memang iya, Vivi itu keras kepala. Namun, dia juga tahu tugasnya sebagai anak. Pun, dia juga sayang dengan mamanya meskipun dia merasa kalau Jani di atas segala-galanya dibanding dirinya.
“Kasih obat aja kenapa sih, Ma? Kakak tuh masih sakit, kadang aja aku liat dia bicara sendiri di kamar.” kata Vivi kesal.
Bu Intan mengembuskan napas berat melihat raut wajah Vivi yang terlihat tidak suka saat membahas, Jani, kakaknya sendiri.
"Dek, berapa kali Mama bilang, jangan ngomong kayak gitu. Kakak kamu emang lagi sakit, tapi jangan dijauhi. Dia sedih kalau kamu marah sama dia meskipun dia nggak pernah ngomong. Kakak sayang banget sama kamu, Dek. Jangan gitu lah. Kamu kalau sakit, Kakak juga yang jagain. Masak sekarang Kakak yang sakit, kamu gitu?”
Vivi memutar bola matanya malas mendengar penuturan panjang lebar mamanya. “Ya sakitnya apa dulu, Ma? Kalau gangguan jiwa aku nggak mau, lah.”
“VIVI!”
Vivi yang entah sudah berapa kali dibentak oleh mamanya hanya tersenyum culas. Dia berlalu begitu saja tanpa mau melanjutkan perdebatan dengan mamanya lebih jauh.
Selain dia benci, dia juga ingin pergi dari rumah ini. Namun sayang, dia juga tidak bisa berlama-lama di rumah neneknya karena dia juga sering menyusahkan di sana.
Jani sedari tadi mendengar pembicaraan ibu dan adiknya itu. Dia hanya diam, dan wajahnya tak berekspresi apa-apa. Dia memang gila. Tidak perlu diragukan lagi kegilaannya.
Bagaimana orang lain bisa beranggapan kalau dirinya normal kalau orang terdekatnya saja, saudaranya sendiri mengganggap dirinya tak lebih sebagai wanita gila karena ditinggal mati kekasihnya.
"Nji, kamu kenapa nggak bawa aku pergi, aja, sih?” Itulah, kira-kira yang Jani katakan saat masuk ke dalam kamar dan menatap foto Panji yang tengah tersenyum menampilkan gigi rapinya.
Dia selalu terlihat tampan dari berbagai sisi. Dan sungguh, Jani sangat merindukannya.
“Kamu udah janji bakal pulang tapi kenapa sampai sekarang nggak pulang-pulang juga?”
Jani berjalan pelan, dia melihat dari jendela.
Dari posisinya sekarang, dia biasa berbicara pada Panji dengan gerakan khusus yang mereka ciptakan sendiri. Mereka sering menatap dari kejauhan seperti itu. Dan entah itu memang benar nyata, setan, atau halusinasi belaka, Jani melihat Panji berdiri di depan jendela yang sama seperti yang biasa lelaki itu lakukan.
Saking senangnya bisa melihat wajah Panji. Jani mendekat hingga hampir terjatuh karena berjalan terlalu jauh. Dia melihat lelaki itu juga agak tegang melihatnya akan terjatuh.
Namun, saat Jani kembali melihat ke arah jendela kamar Panji, lelaki yang sempat dilihatnya tadi sudah tidak ada selain kekosongan belaka.
Dan untuk kesekian kalinya, Jani menganggap bahwa dirinya sendiri adalah orang gila. Bahkan, tanpa disadarkan pun, Jani sepenuhnya sadar dengan semua yang terjadi pada dirinya.