Bagaimanapun hidup terus berjalan. Seberapa besar keinginan untuk berhenti melangkah sekalipun, selalu saja ada yang memaksa untuk tetap berjalan. Jani contohnya. Dia ingin berhenti bernapas tapi nyatanya dia masih bernapas sampai sekarang.
Dulu, Jani pernah hilang harap pada penulis favoritnya. Dia sampai bad mood seminggu gara-gara tokoh utama tidak disatukan. Ringkas cerita, dia tidak terima dengan ending yang ada. Bahkan, saking berharap hasil yang berbeda, dia sudah ikut PO (pre order) n****+ tersebut. Namun sayang seribu sayang, tidak ada ending yang benar-benar dia inginkan. Semuanya, jauh dari harapannya. Sama seperti hidupnya sekarang.
Kembali bekerja dan menyibukkan diri di hari Senin yang hectic adalah pilihan terakhirnya. Bersamanya menghilang sosok yang mirip dengan Panji, menghilang pula keceriaan yang Jani punya. Semakin ke sini, Jani semakin sadar kalau cintanya memang begitu besar bagi Panji.
“Jan? Are you okay?” tegur Nadia pelan yang kebetulan mendapati Jani melamun lagi. Yang entah, sudah ke berapa kalinya hari ini.
Jani yang saat itu terdiam langsung tersenyum tipis. Dia tidak sedang melamun saat Nadia bertanya. Jadi, Jani bisa langsung menjawabnya. “I’m okay. Kenapa, keliatan berantakan banget?”
Nadia mendengkus pelan dan berjalan untuk mendekati Jani, dia dekap tubuh ringkih sahabatnya itu. Jani sudah sagat menderita selama ini meskipun tanpa sadar dirinya sendiri yang menyiksa dirinya sendiri.
“Maaf nggak bisa nemenin kamu waktu sakit kemarin.”
Jani sekali lagi tersenyum tipis, dia mengusap lengan Nadia pelan. Jujur saja, Jani sedikit bersyukur Nadia tidak menjenguknya. Karena, kalau sampai itu terjadi, sudah pasti terjadi drama nangis bombay yang biasa Nadia lakukan saat Jani tertimpa musibah. Nadia sendiri juga menyalahkan diri sendiri karena tidak menemani Jani waktu membeli parfum. Seandainya dia ikut, dia mungkin bisa melihat lelaki yang disebut Andra mirip dengan Panji.
“Andra udah cerita.” Nadia melepas pelukannya dan tetap berdiri di depan Jani, menunggu wanita itu buka suara.
Jani menggeleng pelan, seperti tengah menerawang jauh ke depan.. “Aku nggak tau, Nad. Mungkin…aku lagi halusinasi.”
“Heh, nggak boleh ngomong kayak gitu. Kalau emang wajahnya mirip sama Bang Panji, aku yang orang lain pasti bakal mikir dia Bang Panji kok, apalagi kamu. Udah, kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh.” Nadia mengusap bahu Jani pelan, berharap mampu meringankan sedikit bebannya.
Jani mengangguk pelan sebagai jawaban. Jujur, dia masih tidak bersemanagt melakukan apapun. Dia kerja hanya ingin mengalihkan pikirannya. Kalau tidak, bisa-bisa, dia benar gila kalau mengingat Panji setiap saatnya.
Kalau begitu mudah untuk mencintai, harusnya mudah juga untuk membenci, bukan? Benar kalau ada lirik lagu seperti ini, “Cinta ini, membunuhku…”
Berlama-lama dalam keheningan, Jani memutuskan pergi ke atap saat jam istirahat makan siang. Dia sedang tidak ingin makan, pun tidak sedang lapar. Jadi, di sini lah Jani berada. Di dalam lift menuju lantai teratas gedung tempatnya kerja.
Sebenarnya, dia bisa kerja remote atau kerja dari jarak jauh, tapi Jani memang sengaja ingin berkumpul dengan orang. Dia takut saat isi kepalanya memberontak dan terus mengatakan kalau lebih baik mati saja.
Terkadang, saat di kamar mandi, Jani membawa pisau. Siap-siap, kalau-kalau suara batinnya itu kembali berulah. Namun, dia tersadar sesaat sebelum melakukan tindakan tercela itu.
Hidupnya masih panjang. Orang yang sudah mati pasti ingin diberi kesempatan hidup lagi untuk menebus dosa-dosanya di hari lalu. Dan Jani, dia hanya ingin bertahan untuk orang-orang yang sayang padanya. Bukan untuk dirinya sendiri. Dia sendiri tidak mengerti dirinya masih hidup atau sudah tiada. Rasanya hampa, kosong, bagai ruang tak berpenghuni. Tidak ada siapa-siapa.
Di lantai enam belas, pintu lift terbuka dan menampilkan sosok yang sempat membuat Jani kehilangan jati dirinya lagi beberapa saat lalu. Sosok yang mengaku bernama Dafa dengan wajah yang mirip sekali dengan Panji. Untuk sesaat, Jani terdiam tanpa kata. Matanya memanas seolah ingin mengeluarkan cairannya. Namun, dia berpaling dan memutus tatapan dingin yang ditujukan padanya sepihak lebih dulu.
Jani menatap punggung lelaki itu nanar. Demi apapun, Jani ingin berteriak dan menangis agar lelaki itu mengaku kalau dirinya memang lah Panji. Jani harus bagaimana lagi kalau dirinya sudah berusaha melupa tapi kembali dipertemukan. Apa rencana Tuhan sebenarnya? Dia hanya ingin hidup tenang, sungguh!
Sedangkan Dafa, dia merasa kalau sedang diperhatikan. Namun, dia diam saja. Dan lagi, dia juga sadar siapa orang yang satu lift dengannya. Itu adalah wanita yang dia tabrak dan saat tersadar menyebut namanya sebagai Panji. Dia di sini karena ada rapat direksi dari kantor cabang yang dia pimpin. Mana tahu kalau menghindari lift khusus dewan direksi malah dipertemukan dengan wanita itu lagi. Kemudian, semuanya terasa asing. Tidak ada kata paling nyaman untuk mengatakan atmosphere di antara keduanya.
Hingga detik-detik berlalu, denting mengalun dan pintu terbuka, lelaki itu keluar lebih dulu di lantai dua puluh lima dan Jani tetap diam di tempatnya karena tujuannya adalah lantai teratas, dua puluh tujuh. Dafa menoleh sejenak karena merasa tidak ada orang yang mengikutinya. Kemudian, dia terdiam dan menggeleng, tidak mengerti dengan dirinya sendiri yang malah penasaran dengan wanita yang jelas-jelas hanya ingin mempermainkannya. Buktinya, wanita itu hanya diam dan seolah tidak pernah bertemu sebelumnya. Jadi, Panji sudah dapat kesimpulannya sendiri.
Tak mau berpikir terlalu banyak tentang wanita itu, Panji bergegas menuju ruang rapat direksi. Hari ini akan sangat melelahkan baginya. Bahkan, dia sengaja melewatkan jam makan siang karena tidak sedang ingin makan. Alhasil, dia menunggu di ruang rapat sekalian mengecek beberapa laporan dalam iPad yang selalu dia bawa ke mana-mana untuk mempermudahkan pekerjaannya saat bepergian dari tempat satu ke tempat yang lainnya.
***
Jani berdiri di pinggir atap yang tidak dibatasi apapun. Kalau satu langkah lagi dia maju, mungkin tubuhnya sudah tak berbentuk ketika jatuh dari lantai dua puluh tujuh. Dia hanya sedang menguji dirinya sendiri, seberapa takut dirinya dengan kematian.
Kemudian, kaki kanannya terayun untuk menapaki jalan yang memang tidak ada jalannya karena itu memang udara yang berhembus tenang, bukan jalan.
“Are you crazy?! Didn’t you think before?!"
Jani terhempas ke belakang saat tubuhnya ditarik paksa. Bibirnya yang gemetar sedikit terbuka melihat siapa yang ada di depannya sekarang. Bukan apa-apa. Maksunya, untuk apa lelaki itu repot-repot menyusulnya. Mereka dua jelas-jelas orang asing, bukan? Harusnya tidak perlu saling peduli seperti sekarang. Mengingat, lelaki itu yang menegaskan dengan nada dingin padanya.
Jani tak membalas dan langsung memilih pergi, tak mau menghiraukan orang yang berwajah mirip sekali dengan Panji. Perlu diulang! Dia ingat betul, lelaki itu mencampakkannya begitu kejam di saat dirinya terjatuh. Setidaknya, orang itu membantu. Namun tidak, dia tetap pergi membiarkan Jani seorang diri seakan-akan wanita itu sedang mencari kesempatan dalam kesempitan belaka. Mana ada yang percaya dengan perkataannya saat itu. Orang Dafa sendiri tidak kenal siapa dirinya, dan lagi, siapa itu Panji? Mendengar namanya pertama kali saja baru saat itu.
Merasa harga dirinya tercoreng, Dafa langsung menghampiri Jani. Dia tentu tidak terima. Sudah baik-baik dia menahan perempuan itu. Kalau tidak, pasti sudah jatuh dan menjadi tontonan banyak orang di lantai dasar sana. Dasar tidak tahu diri. Tidak tahu terima kasih pula.
“Don’t you know how to say thank you?”
Jani berhenti, tapi tidak mau berbalik. Dia tidak biasa dihadapkan dengan orang mirip Panji tapi menatapnya begitu datar. “I’am sorry, Sir. But, I didn’t ask you to help me.”
Dafa menatap kepergian Jani tidak percaya. Baru kali ini ada perempuan yang terang-terangan mengabaikannya. Padahal, waktu pertama kali bertemu, Jani yang pertama kali mengaku-ngaku.
Tidak bisa dipercaya. Dafa akan membalasnya nanti. Dia pikir, Dafa tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih. Lelaki itu bukanlah lelaki baik hati seperti Panji yang Jani punya. Dafa tidak sebaik itu hingga Jani malah mencari gara-gara dengannya.
Dan Dafa, harusnya dia biasa saja. Pun, harusnya dia bersyukur saat Jani memilih pergi. Kenapa juga malah dia yang sewot saat perempuan yang diusirnya pergi. Terkadang, mulut dengan hati memang beda haluan. Mulut bilang A, hati bilang B. Ya begitu, kalau urusan hati memang tidak mudah untuk menghadapinya.
Menghembuskan napas berat, Dafa mengangkat bahunya tak acuh. Tidak ada gunanya juga berpikir balas dendam atau apapun itu. Mereka tidak ada hubungan sama sekali. Kemudian, Dafa berbalik, menatap cakrawala yang terlihat tidak ada batasnya. Dia mengembuskan napas berat sekali lagi. Kepalanya mendadak pening saat bertemu perempuan itu. Bisa-bisanya dia malah menolong perempuan tidak tahu diri seperti Jani, harusnya dia biarkan saja peremuan itu terjun bebas dari lantai 27.
“Sial!” desisnya tajam dengan tangan berkacak pinggang.
Tak mau menunggu lebih lama, Dafa segera kembali ke ruang rapat. Setelah selesai rapat direksi, dia akan pergi dari sini.
Namun, satu yang Dafa sadari. Takdir mempertemukan mereka kembali dengan caranya sendiri. Dan ya, Dafa jadi tahu kalau Jani bekerja di sini. Di anak cabang yang dipimpinnya. Entah hanya kebetulan semata atau kesialan yang haqiqi. Pasalnya, kemungkinan besar mereka bisa dipertemukan kembali. Atau bahkan, lebih sering dari sebelumnya.
***
Here she goes. Kembali ke kubikel yang membuatnya tidak terlihat dari sayap kanan. Jani mengembuskan napas berat dengan napasnya yang tak kalah berat. Lama-lama, jiwanya terganggu lagi kalau terus begini.
Setelah percobaannya untuk baik- baik saja, lelaki itu tiba-tiba datang bak seorang penyelamat tapi nyatanya, malah dia yang membunuh Jani.
Untuk membunuh Jani itu mudah. Bawa saja perempuan lain di hadapannya, perempuan itu pasti akan mundur teratur. Atau bahkan, dia akan tenggelam dengan sendirinya. Tenggelam seperti yang dikatakan orang-orang. Tenggelam bersama jiwa Panji yang mungkin memang sudah pergi bersama puluhan nyawa kala itu.
“Heh Jan, tadi ada petinggi Ormrod meeting pertama kali di sini. Kata orang-orang sih, cakep tadi. Mau lihat nggak, kayaknya masih di lobby. Kuy kalo mau lihat, aku penasaran wkwk.” Nadia yang baru datang langsung memberondong Jani dengan perkataan beranak seperti itu.
Jani menggeleng tidak semangat. Seganteng apapun, setajir apapun, hati Jani hanya milik Panji seorang. Tidak akan berganti.
Menyadari penolakan halus yang Jani berikan, Nadia mencoba merayu sekali lagi. “Kalo nggak mau, temenin aku aja ya. Siapa tahu jodohku dia.”
Lama-lama, Jani ingin menghantamkan kepala Nadia ke tembok juga. Semakin ke sini, semua orang semakin tidak tahu diri dan Jani menyayangkan itu termasuk menyayangkan dirinya sendiri.
“Nad, kalau jodoh nggak akan kemana. Mau kamu kelelep di laut jodoh kamu lagi terbang di angkasa, dia pasti datang ke kamu juga. Udah deh, di sini aja. Kalau kamu mau liat, lihat sendiri sana.”
Nadia mencebik kesal. Setelah Jani mengomel, dia langsung sibuk dengan komputernya, menyiapakan artikel yang harus rilis besok.
“Yaudah kalau nggak mau, aku pergi sendiri aja.”
Baru mengatakan itu, belum berbalik, semua orang terkejut melihat Andra datang dengan wajah tidak bisa didefinisikan. Urat wajahnya seperti akan marah. Namun, terlihat tenang. Entahlah.
“Kamu nggak ketemu sama dia lagi, kan?”
Jani tertawa sadar Andra datang mempertanyakan hal apa. Tentu saja Andra juga sadar mendapati tawa Jani. Mereka seolah saling terhubung satu sama lain.
Nadia yang bingung langsung pergi saja, dia kan ceritanya mau lihat yang bening-bening. Tapi eh tapi, dari radius lima meter yang lama-lama terkikis juga jarak itu, Nadia bukan lagi tercengang tapi dia menangis tersedu-sedu dan menghampiri Panji alias Dafa dengan langkah seperti di televisi, yang sengaja diedit slow motion. Padahal, memang Nadia yang gemetaran.
“Bang… kamu kemana aja? Kenapa nggak pernah pulang? Jani hampir gila gara-gara kamu.”
Dafa dengan dua petinggi Ormrod di sampingnya, kebingungan melihat karyawan tiba-tiba datang dan menangis tersedu begitu di depan Dafa. Dan parahnya, dia memanggil Dafa dengan sebutan Bang pula.
Salah satu petinggi yang dikenal ramah bernama Pak Surya, hampir marah. “Kamu-“
“Tidak ada apa-apa, Pak.” kata Dafa menengahi. Dia sebenarnya penasaran, kesal setengah mati juga. Ponji-Panji, Ponja-Panji, memang siapa lelaki itu sampai dikait-kaitkan dengannya?
“Anda mengenal saya?” tanya Dafa kalem.
Nadia menghapus air matanya kasar, dia menatap Dafa berani. “Aku Nadia, Bang. Rumah kita sebelahan, masak lupa. Om, tante sama Bagas pasti seneng banget kalo Abang pulang.”
Dafa mengusap keningnya yang mendadak pening lagi. Dia hanya berusaha bersabar. Entah kenapa, sejak menabrak perempuan itu, Dafa seolah kena balasan. Tapi, bukankah dia sudah minta maaf dan membayar semua kerugiannya. Lalu, apa lagi sekarang? Hidupnya yang sedari dulu baik-baik saja, mendadak menjadi tidak tenang seperti ini.
Oh ayolah, siapa yang akan tenang kalau dikira orang lain. Tentu Dafa yang sebelumnya hidup damai, jadi terganggu.
“Maaf, sepertinya Anda salah orang. Saya Dafa, bukan Panji.” kata Dafa masih, berusaha tak menunjukkan emosi. Atau mungkin, tidak emosi sama sekali karena sudah menganggap itu lelucon belaka. Kalau dipikir terus, stress yang ada.
Kening Nadia mengerut. “Jadi yang nabrak Jani kemarin, Abang?!” desisnya.
Pak Surya yang semakin bingung karena Nadia berani sekali menggunakan nada tinggi dengan atasan, langsung menegur Nadia sekali lagi.
“Nad, dia Pak Dafa, penerus Ormrod. Dia putra Pak Kana, direktur utama.”
Nadia menggeleng tidak terima. “Dia kakak sepupu saya, Pak. Namanya Panji. Dia pergi lima tahun lalu dan-“
“Saya Dafa Arkana.” kata Dafa tegas sambil mengulurkan kartu namanya pada Nadia.
Nadia serta merta menerima kartu nama itu dan benar namanya memang Dafa Arkana yang tertulis di sana tapi tetap saja Nadia tidak percaya.
“Ini bisa dimanipulasi.” katanya seakan-akan sadar dan tidak sadar. “Abang kenapa nggak pulang sih, Bang? Semua orang nyariin. Jani juga…”
Dafa menatap Nadia datar, Jani lagi Jani lagi. Tak mau banyak bicara, Panji langsung berjalan menjauh, tak mengacuhkan Nadia yang benar berteriak. Perempuan itu malah lebih histeris dari Jani. Ah iya, mungkin tenaganya yang penuh. Kalau Jani dulu, jelas dia baru kecelakaan.
Dan sampai sekarang, Dafa masih menganggap semua yang terjadi hanya untuk menjatuhkannya. Karena itu, dia tidak perlu repot-repot untuk peduli.
Andra dan Jani yang baru sadar ada keributan, baru keluar bertepatan Dafa menjauh pergi.
“Nad?” Jani beringsut mendekat, memeluk Nadia yang menangis tanpa tahu alasan perempuan itu menangis apa.
“Kalau kamu bersikap tidak professional begitu lagi, saya akan meminta atasan memecat kamu dan tidak akan merekomendasikan kamu ke perusahaan lain.” ancam Pak Surya. Padahal, beliau yang terkenal paling mengayomi di sini.
Nadia tidak peduli, dia masih saja menunduk sambil menangis. Sedang Jani bingung juga Pak Surya yang terkenal sabar sampai semarah itu.
“Kenapa?” tanya Jani lembut.
Nadia mengangkat kartu nama yang dia pegang dan menunjukkannya pada Jani. “Tadi Bang Panji di sini.” Isaknya.
Jani menoleh, dia melihat ke arah lift yang menjadi lift khusus petinggi dan dia tidak mendapati siapa-siapa lagi. Dia yang dia rindukan, sudah pergi lagi.
Ah salah. Mungkin, wajah mereka mirip, tapi dari segi sikap, pria itu jauh dari Panji yang begitu lembut.