1. Tempat Kembali
Orang bilang, Panji sudah pergi. Orang-orang juga bilang, kalau Panji sudah tidak ada di dunia ini. Namun, Jani tidak pernah percaya dengan perkataan mereka. Bahkan, perkataan orang tuanya pun, tidak dia hiraukan. Apapun yang dikatakan orang lain, Jani percaya dengan kekasihnya.
Panji, lelaki itu pasti akan kembali dan menepati janji untuk melamarnya. Jani sudah menunggu terlalu lama dan selamanya akan seperti itu. Lelaki itu tidak akan mengecewakannya, kan? Ya, Jani tahu itu. Karena itu dia masih menunggu sampai sekarang. Bagaimanapun, sudah banyak kisah yang mereka lalui bersama.
Tepat hari ini, lima tahun sudah dia menunggu dalam ketidakpastiaan. Dia tidak gila, sungguh. Dia hanya percaya kalau Panji masih ada. Tak peduli banyaknya orang yang mengatakan kalau Panji sudah meninggal. Terkadang, Jani ingin percaya. Lima tahun itu tidak sebentar. Apalagi diumurnya sekarang yang sudah waktunya menikah.
“Jan!”
“Heh!”
“Janiii!”
Jani yang tersentak kaget reflek melempar Nadia dengan botol minuman yang ada di genggamannya. “Apa sih, Nad? Ngagetin aja!”
“Yee! Lah kamu dipanggil dari tadi nggak nyaut.” Nadia lantas mengambil botol kosong tadi dan melemparnya balik pada Jani.
“Apa?” tanya Jani jutek.
“Konsepnya udah jadi apa belum, ditanyain sama Mas Andi, tuh.”
Sekarang, baru lah Jani menatap laptopnya yang dia biarkan terbuka sedari tadi. Dan pada akhirnya, dia hanya bisa mengembuskan napas berat saat konsepnya masih berbentuk kerangka. Satu jam ini dia benar habiskan untuk mengenang yang sudah-sudah. Begitu rindunya dia dengan sosok Panji.
Nadia yang mengenal Jani sejak kecil tentu tahu semua yang terjadi dengan Jani. Sebagai sahabat, jujur dia menyesali sifat Jani yang terlewat setia. Ratusan bahkan sudah ribuan kali Nadia mengingatkan Jani untuk berhenti berharap. Jahat? Tentu tidak juga. Nadia melakukan itu semua juga demi kebaikan Jani. Dia tidak ingin kalau Jani semakin sakit nantinya. Sayangnya, Jani tetap kuekueh dengan pemikirannya kalau Panji memang masih hidup. Baginya, selama jasad Panji belum ditemukan, itu artinya Panji masih ada. Entah di mana, pokoknya Jani percaya kalau Panji masih ada.
“Kamu makan siang dulu deh, aku bantuin. Tadi aku udah makan.” Degan terpaksa, Nadia menarik Jani agar berdiri dari kursi kerjanya. Namun, Jani tidak mau.
“Nggak usah, Nad. Ini udah ada kerangkanya. Tinggal lanjutin beberapa menit pasti langsung jadi.”
“Iya jadi. Tapi kalau kamu melamun lagi, ya nggak jadi lagi.” Sekali lagi, Nadia menarik Jani agar mau berdiri. “Udah makan siang dulu sana. Sepet aku liat kamu di sini kayak sapi ompong.”
Jani mendelik kemudian tertawa sarkas. “Cantik gini dibilang sapi ompong.”
“Bodoamat! Sana pergi! Minggirrr!”
Jani memutar bola matanya malas saat Nadia berhasil menduduki kursi kerjanya. “Dih ngusir!”
“Dah lahh, sana pergi!”
Tak mau terlibat perdebatan tidak bermanfaat dengan Nadia lagi, Jani segera turun ke lantai lima belas menuju ke kantin. Beruntung, di sana, dia bertemu dengan Andra. Tanpa pikir panjang, Jani langsung menghampiri teman karibnya itu yang kebetulan sedang makan juga bersama teman lelakinya.
“Andra!” katanya bersemangat.
Andra yang saat itu tengah fokus makan sampai tersedak karena terkejut. Dia terbatuk hebat sampai meringis kesakitan. Jani yang panik cuma mengusap punggung Andra pelan. “Kalau makan jangan buru-buru! Keselek, kan? Tsk, kebiasaan!” makinya.
Andra yang merasa lebih baik langsung menatap Jani tajam. Seenaknya saja malah dia yang marah. Padahal, Jani yang salah di sini. Adabnya memanggil orang itu yang lemah lembut. Lah ini, Andra sedang makan ditabik dari belakang dengan suara yang cukup keras pula. Kalaupun tidak Andra, orang lain kemungkinan juga akan sama terkejutnya.
“Eh Jin-Jinan, harusnya kamu tuh intropeksi diri. Dateng-dateng main ngagetin. Untung nggak aka sembur kamu!”
Jani menyengir dan bergegas duduk di kursi yang kosong. Kemudian, dia meringis pelan menatap teman lelaki Andra. “Hehe, numpang ya, Mas. Maafin Andra kalau ganggu. Emang suka begitu anaknya. Maklum, hiperaktif anaknya.”
Teman Andra hanya nyengir kuda dan malah berpamitan pergi dari sana karena beralasan ada pekerjaan tambahan. Andra hanya bisa mendengkus kesal.
“Ngapain nyamperin aku segala? Bikin mood anjlok aja.”
Jani tak menghiraukan. Dia malah memesan makanan dan menganggap Andra seolah tak ada. “Bubur ayam aja ya, Mbak. Jangan pakai bawang goreng.” Setelah mengatakan itu, Jani menatap Andra dengan senyuman. Sedang Andra sendiri, dia melipat tangannya di depan d**a, bersandar pada kursi dan menatap Jani datar sedatar-datarnya.
“Kenapa?” tanya Jani.
Andra menggeleng, bukan ditujukan pada Jani, tapi lebih tepatnya ditujukan pada dirinya sendiri. Sekalinya punya teman wanita dari dulu, Andra malah selalu dibuat pusing. Namun, Andra juga sedang saat dibuat pusing seperti itu.
“Nadia mana? Tumben nggak bareng.”
Jani mengangkat bahunya acuh. Dia sibuk memainkan ponselnya sambil berkata. “Dia masih di atas, ngerjain pekerjaanku.”
Andra menatap Jani tak habis pikir. “Ya kenapa dibolehin, dia kan punya magh akut, Jan. Pingsan dia entar.”
Jani sudah meletakkan handphonennya di meja dan menatap Andra lamat-lamat. “Dia bilang udah makan, makanya aku iyain aja. Lagian, dia yang maksa juga.”
“Makanya kerjaan jangan ditinggal ngalamun!”
“Enak tahu, bisa bayangin Panji.”
Andra terdiam tanpa kata. Lima tahun… Itu sudah berjalan lima tahun dan Jani tetap seperti ini. Hati siapa yang tidak hancur saat melihat sahabatnya seperti ini. Oke lah, Andra akan membiarkan Jani kalau Panji masih ada. Namun masalanya, yang tidak ada, belum tentu masih ada.
Baiklah, untuk saat ini, Andra akan mengalah dengan diam saja. Dia tidak ingin menyakiti Jani dengan mengatakan kenyataan yang sebenarnya Jani sendiri sudah tahu. Kalau orang lain, pasti sidah menganggap Jani terlalu terobsesi dan menjadikannya gila. Namun, Jani tidak gila. Itulah kenyataannya. Dia hanya masih ingin mengenang. Terkadang, Andra tidak habis pikir. Masih menjadi kekasih saja, Jani sudah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya seperti itu pada Panji. Kalau sudah menikah, Andra sangsi kalau Jani tidak bunuh diri setiap hari.
Benar, Jani pernah melakukan percobaan bunuh diri di awal berita kalau Panji tidak selamat. Beberapa kali dia membahayakan dirinya sendiri. Sengaja berjalan di pinggir jalan agar ditabrak motor atau mobil. Dan yang paling parah, dia pernah overdosis obat tidur sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Beruntung, Jani masih bisa diselamatkan.Karena itu, keluarga masih bersyukur. Apapun yang terjadi, sekeluarga bersyukur Jani masih hidup sampai sekarang.
Dan keheningan itu mendadak pecah saat pelayan datang dan memberikan pesanan. “Makasih, Mbak.” Kata Jani tulus.
Kemudian, Andra hanya diam memperhatikan Jani yang makan dengan lahap. Sesekali, dia tersenyum saat mengingat kenangannya dulu bersama empat serangkai. Empat serangkai, dia,Panji, Jani dan Nadia. Sekarang, hanya tinggal tiga orang. Tidak ada kata empat serangkai lagi.
Andra tahu, bagaimana sejarah percintaan Jani dan Panji. Mereka bersahabat dan takut mengungkapkan rasa suka satu sama lain. Mereka berpikir, kalau sampai mengatakan kata cinta itu, hubungan persahabatan mereka akan hancur. Dan memang benar, hubungan mereka bukan akan hancur, malah sudah hancur saat itu. Mereka terlihat kolot sekali dan mengatasnamakan persahabatan adalah di atas segala-galanya. Memang ada aturan tertulis maupun tak tertulis yang menyatakan kalau jatuh cinta pada sahabat sendiri itu salah? Tidak.
Perbedaan usia di antara mereka yang terpaut tujuh tahun, tak lantas membuat mereka bisa berpikir dewasa akan cinta. Mereka bahkan kalah dengan anak kecil. Kalau anak kecil bisa seenaknya sendiri mengatakan kecintaannya pada seseoarng, mereka yang dewasa malah malu-malu dan berakhir dengan drama-drama yang berkepanjangan.
Kalau boleh menceritakan, mereka berempat itu tetangga yang tumbuh bersama. Saat Jani dan Nadia susah, Panji dan Andra yang selalu membantunya. Lagi, saat Andra dan Panji sedang, Jani dan Nadia yang selalu membantunya. Jadi, mungkin itu kesimpulan kenapa Jani bisa sampai sesayang itu dengan Panji.
“Ndra! Heh, mikirin apa, malah ngalamun? Tadi, nyindir aku.” Nyinyir Jani. Kebetulan, dia sudah selesai makan dan malah mendapati Andra melamun.
Andra menggeleng tak peduli dan lantas berdiri. Jani yang melihat itu segera bangkit untuk menyusul Andra setelah memberikan kartu makannya.
“Tungguin, dong!”
Mendengar pekikan Jani, Andra baru berhenti. Dia menunggu Jani sampai menyejajarkan langkahnya. “Habis ngantor mau langsung pulang, kan?”
Jani hanya terkekeh seadanya. “Mau ke bandara.”
Dan Andra tahu, dari dulu, memang seharusnya dia berhenti.
***
Udara dingin di Bandara Soeta hari ini, membuat Jani mengeratkan pelukannya pada lengannya sendiri. Dari dulu, setelah pulang kerja, Jani selalu datang ke bandara. Dia hanya berdiri dan memandang pesawat yang berada di lapangan luas tempat pesawat berada. Hanya diam dan memandang. Dia ingat betul bagaimana perpisahannya dengan Panji kala itu. Dia bahkan masih bisa merasakan dekapan hangat lelakinya sampai sekarang. Kemudian, mereka saling tersenyum dan Panji melangkah menjauh. Dan… lelaki itu tidak pernah terlihat lagi, apalagi kembali.
Tidak, Jani tidak menangis. Dia sudah lelah menangis. Terakhir menangis, mungkin lima tahun yang lalu juga. Dan Jani juga tidak ingin dikasihani dengan terus-menerus menangis. Dia percaya, Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar kemampuan hamba-Nya. Bahkan, di setiap doanya, masih terselip nama Panji di sana. Lelaki itu, sekali lagi Jani percaya, dia belum pergi. Panji-nya belum pergi.
Beberapa saat kemudian, senyumannya merekah saat melihat pesawat mulai lepas landas. Jani mendoakan semoga pesawat itu sampai tujuan. Semua penumpang maupun kru yang ada di salamnya selamat. Karena dia tahu, kehilangan orang tanpa bisa melihatnya untuk terakhir kali, rasa sakitnya bukan main. Dan sekarang pun, Jani berusaha untuk tetap berpikiran waras. Kalau imannya tidak kuat, dia pasti sudah gila dan berakhir di rumah sakit jiwa karena berkeinginan untuk mengakhiri diri sendiri.
Jujur, Jani menyesali tindakan bodohnya yang beberapa kali ingin mengakhiri hidup sendiri. Dia kan percaya kalau Panji masih hidup dan dia malah beberapa kali ingin bunuh diri. Jika dilogika, untuk apa dia percaya sepenuhnya kalau berujung menghabisi diri sendiri. Kalau seandainya Panji memang masih hidup, tak ada gunanya juga Panji kembali kalau malah Jani sendiri yang mati. Betul, kan?