"Nghhh ...."
Adipati membuka kedua matanya. Sama seperti kemarin, ia merasakan sakit di kepalanya dan juga linu di sekujur tubuhnya. Namun, hari ini rasa sakit dan linu yang ia rasakan jauh lebih terasa dibanding hari-hari sebelumnya.
"Tubuh dan kepalaku ... nghh ... sakit," katanya sembari mendudukkan tubuhnya.
Ia memegangi kepalanya yang terasa sangat berat. Untuk beberapa menit ia terdiam sembari menyender di kepala kasurnya. Dan barulah kondisinya mulai membaik setelah tiga puluh menit kemudian. Kepalanya sudah tidak terlalu berat dan rasa linu yang mendera tubuhnya pun juga sudah agak mendingan.
Klek (suara pintu terbuka).
"Kamu sudah bangun?" tanya Kartini yang langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Hemm," jawab Adipati singkat.
Ia kemudian berjalan menghampiri jendela kamar Adipati dan lalu membuka gorden yang menutupinya sehingga cahaya matahari bisa masuk ke dalam kamar.
"Apa badanmu sudah terasa baikkan?" tanyanya lagi. Ia tampak sangat mengkhawatirkan adiknya itu.
Adipati lantas berbohong dengan menganggukkan kepalanya. "Sudah, Kak. Aku sudah baikkan," katanya.
Kartini bergerak mendekati Adipati dan lalu memegangi kening, pipi serta lehernya. Ia mengecek suhu tubuh adiknya untuk mengetahui, apakah adiknya itu demam atau tidak.
"Tubuhmu sedikit panas," kata Kartini.
"Apa kepalamu terasa pusing? Dan apakah ada bagian tubuhmu yang sakit?" tanya Kartini sembari menatap manik-manik mata Adipati.
Adipati pun kembali berbohong dengan mengatakan, "Aku baik-baik saja. Aku hanya merasa lemas."
Kartini mengangguk percaya dan lalu mengatakan pada Adipati tentang keadaan kedua orang tua mereka yang saat ini menderita demam yang cukup tinggi. Bahkan, para asisten rumah tangga dan beberapa pekerja lainnya juga mulai menunjukkan gejala flu dan sakit seperti yang Adipati dan kedua orang tua mereka alami.
"Ayah dan Bunda demam cukup tinggi. Para asisten rumah tangga dan beberapa pekerja juga sakit."
Adipati merasa cukup kaget mendengarnya. Ia tidak menyangka kalau orang-orang yang berada di rumah ini akan sakit secara serempak.
"Kakak akan buatkan bubur untukmu dan juga untuk Ayah-Bunda," ucap Kartini. "Setelah ini, Kakak akan membuat janji dengan dokter langganan Kakak untuk memeriksa keadaan kalian," lanjutnya dan lalu bergegas pergi meninggalkan kamar Adipati.
Namun, sebelum Kartini menutup pintu kamar, Adipati kembali memanggil kakaknya itu.
"Kak," panggilnya.
"Ya?" jawab Kartini.
"Apa ... Kakak tidak mengalami gejala flu?" tanya Adipati.
Kartini menggeleng. "Mungkin karena Kakak rajin minum vitamin, jadinya Kakak tidak tertular penyakit flu ini," katanya.
Setelah tidak ada lagi pertanyaan, Kartini bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan bubur untuk adik serta kedua orang tuanya.
Adipati kini kembali terdiam dan ia pun kembali menyandarkan tubuhnya di kepala kasur. Ia terus terdiam sembari menatapi jendela kamarnya yang sudah terlihat terang karena sinar matahari yang berasal dari luar. Dan kemudian, ia langsung kepikiran dengan sahabat satu-satunya yang ia miliki, yaitu Rakha.
Adipati segera meraih ponselnya dan lalu mencari nama Rakha di daftar kontaknya.
Tut...
Tut...
Tut...
Klek...
"Halo, Di," sapa Rakha dengan suara bindengnya.
"Kamu sakit juga, Kha?" tanya Adipati.
"Gejala flu, sama sepertimu," jawab Rakha dan lalu terdengar suara bersin darinya.
Adipati yang mendengar sahabatnya juga mengalami gejala flu, lantas merasa sangat aneh dengan sakitnya orang-orang yang terjadi secara serempak ini. Ini benar-benar sebuah hal yang kebetulan.
"Ya sudah, kalau begitu istirahatlah," ucap Adipati dan lalu menutup sambungan telepon.
Adipati yang tidak mau terlalu memikirkan tentang masalah flu yang datang secara serempak ini lantas menaruh kembali ponselnya di meja kecil yang ada di pinggir kasur dan lalu ia sendiri kembali merebahkan tubuhnya. Ia harus kembali beristirahat agar kondisi tubuhnya membaik karena besok ia harus masuk sekolah.
***
Rumah Keluarga Pradipta...
Seorang remaja lelaki berwajah tampan dan angkuh baru saja selesai melakukan kegiatan mandi paginya. Ia hanya mengenakan handuk di pinggangnya sehingga tubuh bagian atasnya yang atletis dan terbentuk itu terekspos dengan begitu jelas.
Remaja itu kini berjalan menghampiri meja belajar untuk mengambil ponsel miliknya yang saat ini sedang diisi daya. Sebelum sampai di meja belajar, ia yang terlebih dahulu melewati cermin, lantas tersenyum kagum ke arah dirinya sendiri yang terlihat begitu sempurna.
"Tampan dan seksi," katanya.
Ia lalu melanjutkan langkahnya menuju meja belajar.
Remaja yang berasal dari keluarga berada itu tinggal di rumah mewah tiga lantai yang besar. Ruangan kamarnya berada di lantai dua, berukuran besar dengan cat berwarna putih. Semua barang-barang yang berada di kamarnya terlihat sangat mewah dan mahal. Bahkan, handuk yang ia kenakan saat ini pun seharga puluhan juta rupiah.
Ia kini telah berada di depan meja belajarnya dan sedang mencabut kabel pengisi daya yang menempel pada ponselnya. Ponsel keluaran terbaru itu kini telah terisi daya seratus persen dan langsunglah ia gunakan untuk menghubungi teman-teman segengnya.
"Halo," ucap remaja itu.
"Halo, Nan, aku sudah siap. Kamu sudah rapi kan?" tanya temannya yang ada di seberang sana.
Si remaja tampan bernama Nando pun menjawab, "Sudah, sebentar lagi mau berangkat."
"Oke. Sampai ketemu di tempat CFD (Car Free Day) ya."
Setelahnya sambungan telepon pun terputus. Nando kini berjalan menuju ruang ganti khusus tempat ia meletakkan seluruh pakaian, sepatu dan segala aksesoris mahalnya. Walaupun terlihat sangat mewah dan mahal, tapi ruangan khususnya ini masih kalah dengan milik Adipati.
Ia akan mengenakan pakaian olahraga yang terbaik dari sekian pasang pakaian olahraga mahal yang ia miliki. Ia ingin terlihat sangat keren dan mahal di depan semua orang nanti.
Setelah beberapa menit berlalu, Nando kini telah siap untuk berangkat CFD. Ia turun dari kamarnya yang berada di lantai dua menuju ke ruang makan. Sesampainya ia di sana, kedua orang tuanya langsung menyapanya dengan wajah yang berseri-seri.
"Pagi anakku," sapa Papa Nando.
"Tampan sekali anak Mama." Mama Nando tampak terkagum-kagum melihat anaknya yang sangat tampan.
Seekor anjing dengan riang menghampiri Nando. Ia menggonggong senang dan meminta Nando untuk mengelusnya.
Namun, Nando yang wajahnya terlihat cemberut dan kesal, lantas menendang anjing itu dengan cukup keras. Si anjing pun lari ketakutan meninggalkan ruang makan. Hewan itu tampak kesakitan dan berlari sedikit pincang setelah Nando menendangnya.
"Nando!" ucap Mama Nando yang melihat kelakuan buruk anaknya.
Nando yang merasa tidak menyesal dengan apa yang telah ia lakukan, dengan santai mengabaikan mamanya dan lalu berjalan mendekat ke arah papanya. Ekspresi wajahnya terlihat masih sama. Cemberut dan kesal.
"Kapan mobil baru yang aku mau datang?" tanya Nando dengan nada bicara yang dingin pada sang Papa.
Papa Nando lantas mengembuskan napasnya berat dan lalu menatap Nando dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang.
"Tunggu dulu ya, Nak, Papa sedang mengusahakannya," katanya sembari menyunggingkan sebuah senyuman.
"Ish! Aku mau secepatnya!" bentak Nando.
"Nando, tidak boleh seperti itu," kata Mama Nando.
Wanita itu berbicara dengan suara yang sangat lembut, walaupun Nando sudah berbicara dengan sangat kasar.
"Aku tidak sedang berbicara denganmu, Mama!" kata Nando dengan ketus.
Papa Nando lantas kembali mengembuskan napasnya berat. Ia harus sangat sabar meladeni tingkah anaknya ini.
"Iya, Nak, Papa akan usahakan secepat mungkin. Untuk sekarang, pakailah dulu mobil yang sebulan lalu Papa belikan, ya."
Nando yang masih merasa kesal, lantas berkata, "Aku tidak mau tahu! Besok mobil itu sudah harus ada! Temanku sudah memilikinya dan aku tidak mau kalah darinya!"
Teman yang Nando maksud di sini adalah Adipati. Ia ingin mobil yang seperti Adipati miliki.
Papa Nando dengan berat hati mengangguk, mengiyakan perkataan Nando. Ia tidak ingin mengecewakan anak semata wayangnya itu.
"Bagus, kalau begitu, aku pergi dulu," kata Nando dan lalu beranjak pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
Mama Nando langsung menggenggam erat tangan Papa Nando. Baik keduanya sama-sama ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayang mereka, walaupun anak mereka telah bersikap sangat buruk seperti tadi.
Nando memang berasal dari keluarga yang berada, tetapi tidak sekaya dan sesultan Adipati. Orang tua Nando, khususnya sang Papa, hanyalah seorang manajer di sebuah perusahaan terkenal, sedangkan orang tua Adipati, mereka adalah pengusaha kaya raya yang memiliki banyak usaha yang terbilang sangat sukses.
Nando yang selalu iri dengan Adipati, selalu meminta dibelikan barang-barang mewah dan mahal pada kedua orang tuanya. Ia ingin barang mahal dan tentunya keluaran terbaru agar ia tidak kalah dari Adipati.
Rasa iri pada Adipatilah yang akhirnya membuat Nando sangat benci dan tidak suka pada sosok Adipati. Padahal, Adipati tidak pernah sedikit pun menyombongkan harta kekayaannya di depan orang lain. Apalagi pada Nando.
Sekarang Nando telah berada di dalam mobilnya. Ia telah siap berangkat menuju lokasi CFD untuk berakhir pekan bersama dengan teman-temannya.
***
Di lokasi CFD, tepatnya di Jalan Sudirman; Alan, Ega, Sena dan Qyan telah tiba di sana, mereka terlihat sangat keren dengan satu set pakaian olahraga yang mereka kenakan. Aksesoris pelengkap pun menambah kesan 'wah' di diri mereka. Orang-orang yang berjalan melewati mereka tidak akan bisa untuk menolak pesona keempatnya.
Kini, mereka tengah menunggu Nando yang katanya sebentar lagi akan sampai. Ega dan Sena menunggu dengan anteng, Qyan menunggu sembari memainkan ponselnya sedangkan Alan menunggu sembari menggoda gadis-gadis cantik yang lewat.
Namun, saat Alan sedang asik menggoda, tiba-tiba saja ia bersin sebanyak beberapa kali dengan rentan waktu yang terhitung cepat.
"Hachu! Hachu! Hachu! Hachu!"
Ketiga temannya seketika mengalihkan perhatian mereka pada Alan.
"Kamu baik-baik saja, Lan?" tanya Ega sembari berjalan mendekati Alan.
"Aku baik-baik saja, Hachu!" jawab Alan dan ditutup dengan bersin.
Sena yang membawa sebotol air mineral, tanpa berbicara apa-apa langsung memberikannya pada Alan.
"Terima kasih," ucap Alan dan lalu meminumnya.
Setelah bersin-bersin tadi, tenggorokan serta langit-langit mulutnya terasa begitu panas. Kepalanya bahkan terasa sedikit pusing karena saking kerasnya ia bersin.
Setelah cukup dengan minumnya, Alan lalu mengembalikan lagi botol air mineral milik Sena yang kini sisa setengah. Ia sudah merasa baikan sekarang.
"Jika kamu sedang sakit, seharusnya kamu tidak pergi," kata Qyan.
"Sudah aku bilang kalau aku baik-baik saja," balas Alan. "Aku tidak sakit. Aku sehat," tambahnya.
Qyan hanya mengangguk sebagai respons atas perkataan Alan.
Mereka pun kembali menunggu kedatangan Nando. Alan yang tadi sudah agak baikan, kini mulai merasakan berat di kepalanya. Ega yang berdiri di depannya pun sadar akan hal itu. Tapi, ia memilih untuk tidak menanyainya karena ia yakin, sakit Alan akan sembuh dengan sendirinya.
Tak lama kemudian, orang yang mereka berempat tunggu pun akhirnya datang.
"Eyyy, pada nungguin ya?" kata Nando.
Mereka lalu melakukan tos secara bergantian seperti yang biasa mereka lakukan.
"Kenapa kamu, Sob? Sepertinya sedang kurang sehat?" tanya Nando yang melihat wajah Alan agak sedikit berbeda.
"Aku baik-baik saja, Sob. Mending sekarang kita mulai saja jalannya," kata Alan.
Mereka berlima pun akhirnya memulai kegiatan CFD mereka dengan berlari-lari kecil menyusuri jalanan yang ramai dengan orang-orang. Selama berlari, Nando terus membicarakan soal barang-barang keluaran terbaru yang menurutnya sangat keren. Teman-temannya pun hanya mendengarkan ocehan Nando dan hanya Ega saja yang beberapa kali meresponsnya.
Sampai ketika kelimanya tiba di tengah-tengah rute lari mereka, Sena yang sedari tadi mengamati jalan di sekitarnya mulai menyadari ada hal yang aneh. Orang-orang banyak yang bersin dan bahkan beberapanya ada yang terlihat pucat.
"Ini firasatku saja atau orang-orang banyak yang sedang sakit ya?" batin Sena.
Ia kembali mengamati sekitarnya sembari terus mendengarkan ocehan Nando yang kini sedang membahas tentang ponsel keluaran terbaru. Selama pengamatannya, Sena kembali mendapati orang-orang yang terlihat sedang sakit. Bahkan, beberapa orang yang berjalan melewatinya terdengar bersin-bersin.
"Sepertinya benar. Orang-orang ini banyak yang sedang terkena flu."
Sena yang yakin tidak akan tertular karena rajin meminum suplemen dan vitamin, lantas mengabaikan orang-orang tersebut.
Kini kelimanya telah tiba di depan Monumen Nasional (Monas). Alan yang masih merasa tidak enak dengan tubuhnya, tiba-tiba saja merasa lapar.
"Aku lapar," kata Alan.
"Kalau begitu kita mampir ke Monas. Kita makan dulu di sana," kata Nando.
Yang lainnya pun menyetujui perkataan Nando. Mereka lalu segera melangkahkan kaki mereka pergi menuju Monas yang ada di depan sana.
Sesampainya mereka di pujasera, Alan langsung memesan beberapa menu makanan sekaligus. Dari mereka berlima, Alanlah yang memesan makanan paling banyak.
"Aku tahu nafsu makanmu besar, tapi kamu tidak pernah memesan makanan sebanyak ini," kata Ega.
"Benar apa kata Ega," sahut Nando.
Alan yang ditatap heran oleh teman-temannya, lantas berkata, "Aku benar-benar kelaparan, Kawan. Aku butuh asupan makan yang sangat banyak."
Keempat temannya pun mengerti dengan penjelasan yang diberikan oleh Alan. Kini, mereka berlima tengah menunggu pesanan yang mereka pesan.
Hanya berselang tiga puluh menit, pesanan mereka pun tiba. Alan yang sangat kelaparan, dengan rakus melahap pesanan pertamanya, yaitu nasi goreng.
"Ah, rasanya tidak enak," kata Alan sembari memasang mimik wajah yang aneh.
Ia lalu meminum jus yang ia pesan dan lagi-lagi mimik wajahnya terlihat aneh.
"Rasa jusnya juga tidak enak," katanya.
Keempat temannya yang penasaran, lantas mencicipi nasi goreng dan juga jus milik Alan. Mereka menggunakan sendok dan juga sedotan yang telah Alan gunakan. Padahal, mereka tahu kalau Alan saat ini sedang kurang enak badan.
"Rasanya enak kok," kata Nando saat mencicipi nasi goreng yang Alan bilang tidak enak.
"Benar, rasanya enak, bumbunya juga pas," timpal Ega yang sependapat dengan Nando.
"Jusnya juga enak kok," kata Qyan dan lalu diangguki oleh Sena.
"Masa sih?" tanya Alan tidak percaya.
Ia pun lantas kembali mencicipinya dan menurutnya, rasa dari makanan dan minuman yang ia pesan tidak enak.
"Bagaimana bisa kalian mengatakan kalau makanan dan minuman ini enak? Kalian benar-benar aneh," ucap Alan.
Nando, Ega, Sena dan Qyan pun merasa keheranan dengan Alan. Mungkin, teman mereka yang satu ini sedang ada masalah dengan lidahnya.
Pada akhirnya, Alan tetap menyantap semua makanan dan juga meminum dua gelas minuman yang ia pesan. Walaupun menurutnya, rasanya amat sangat tidak enak.
Kelimanya kini fokus pada makanannya masing-masing. Dan saat semua yang mereka pesan telah habis, mereka pun memutuskan untuk duduk sebentar. Mereka ingin menurunkan makanan yang baru saja mereka makan.
Nando yang melihat semua pesanan Alan habis, bersih tak tersisa, lantas meledek Alan.
"Bilangnya tidak enak, tapi dihabisin juga," ucap Nando.
"Lapar bosku, jadi tanggung, habisin saja semuanya," balas Alan.
Mereka berlima duduk-duduk di sana selama lima belas menit sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi berkeliling Monas.
"Biar aku yang bayar semuanya," kata Nando dan lalu mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna merah.
"Tidak usah, Nan, biar kami bayar sendiri-sendiri saja," kata Ega.
"Sst! Sst! Sst! Biar aku yang bayar." Nando memaksa.
Ia lalu memberikan tiga lembar uang seratus ribuan itu pada seorang pelayan wanita yang kini sedang menagih p********n pada mereka.
"Ambil saja kembaliannya," kata Nando sembari menyunggingkan senyumnya.
Pelayan wanita itu seketika tersipu saat disenyumi oleh lelaki setampan Nando. Ia pun kini pergi meninggalkan meja tempat Nando cs berada dengan wajah yang berseri-seri.
"Bisa saja kamu, Nan," ucap Ega sembari meninju pelan lengan Nando.
Nando pun hanya mengangkat kedua alisnya beberapa kali sembari menyunggingkan senyum sombongnya.
Dan ketika mereka baru saja ingin beranjak pergi, Alan tiba-tiba saja kembali bersin.
"Hachu! Hachu! Hachu!"
Ia bersin dengan cukup kuat dan bahkan sampai membuat dirinya sendiri kehilangan keseimbangan.
Sena yang berdiri di sebelah Alan, dengan sigap memeganginya. Ia tidak ingin Alan sampai terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
"Kamu baik-baik saja, Sob?" tanya Nando khawatir.
Alan pun mengangguk sembari memegangi kepalanya yang sedikit pusing.
Ega yang sebelumnya tidak pernah melihat Alan sakit sampai seperti ini, lantas meminta kepada Nando untuk menyudahi kegiatan CFD mereka.
"Nan, lebih baik kita pulang," kata Ega. "Alan sepertinya benar-benar sedang kurang enak badan," lanjutnya.
Nando pun mengiyakan perkataan Ega. Kini, mereka berlima memutuskan untuk pulang. Namun, baru beberapa langkah saja mereka pergi menjauh dari tempat pujasera, mereka kembali membalikkan badan mereka menatap ke arah pujasera.
"Ada apa? Kenapa di sana tiba-tiba ramai?" tanya Ega yang merasa penasaran melihat orang-orang mulai berkerumun di salah satu meja yang ada di pujasera.
Dan tak lama kemudian, tampaklah seorang pria gemuk yang tengah pingsan, sedang digotong oleh beberapa remaja seumuran mereka. Seorang wanita dan anak kecil yang sepertinya adalah istri dan juga anak dari pria itu, terlihat menangis dan sangat panik.
"Hanya orang pingsan," kata Nando.
Mereka pun lantas melanjutkan langkah mereka untuk pergi dari tempat itu. Tapi lagi-lagi, keadaan di belakang sana kembali ramai. Mereka pun kembali menoleh ke arah belakang untuk melihat apa yang terjadi sekarang.
Kini, seorang wanita yang tengah pingsan, sedang digotong oleh seorang bapak-bapak menuju ke tempat di mana pria gemuk sebelumnya pingsan. Mereka berlima pun merasa keheranan dan bertanya-tanya.
"Kebetulan sekali. Dua orang pingsan di waktu yang berdekatan," kata Nando.
"Mungkin mereka kelelahan atau sedang sakit," sahut Ega.
Mereka melihat ke arah tempat di mana kedua orang yang sedang pingsan itu diletakkan. Beberapa orang memberikan pertolongan pada keduanya agar keduanya segera sadar dari kondisi pingsan mereka.
"Teman-teman, bisakah kita pulang sekarang?" kata Alan yang kini kepalanya terasa semakin berat.
Nando, Ega, Sena dan Qyan yang hampir saja kelupaan dengan Alan yang juga sedang tidak enak badan, kini mulai beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Mereka pergi sembari membawa rasa penasaran di pikiran mereka masing-masing. Khususnya Sena yang merasa ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang yang terlihat sakit saat ia sedang joging tadi. Ia pun kini menatap ke arah Alan yang mana menurutnya memiliki gejala yang sama dengan orang-orang sakit yang dilihatnya sebelum ini. Rasa takut serta pikiran-pikiran negatif pun kini memenuhi pikiran Sena.