Terdengar suara sendok yang bersentuhan dengan piring. Ini sudah mangkuk ketiga yang Ayah dan Bunda gunakan untuk makan. Kartini yang memasakkan makan malam untuk keduanya, tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Tadi Adipati bilang kalau masakanku tidak enak, tapi kenapa Ayah dan Bunda makan selahap ini?" batin Kartini bertanya-tanya.
Pagi, siang dan sore tadi, Adipati mengatakan pada Kartini kalau bubur dan sup yang dibuatnya rasanya sangat kacau. Adipati bahkan hanya bisa menghabiskan setengah mangkuk masakan yang Kartini buat. Namun, berbeda dengan kedua orang tuanya yang dengan lahap memakan masakannya.
"Ayah, Bunda, apa ... masakan Kartini enak?" tanya Kartini penasaran.
Sebelum menjawab pertanyaan Kartini, Ayah dan Bunda terlebih dahulu saling tatap satu sama lain. Kemudian, mereka dengan kompak menatap Kartini sembari menyunggingkan sebuah senyuman.
"Sebenarnya, rasanya sedikit ... aneh," kata Ayah.
"Kamu masih perlu belajar memasak lagi, tapi masakanmu ini sudah cukup enak, kok," timpal Bunda.
Kartini yang mendengar kalau rasa masakannya kurang enak, lantas kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
"Kalau masakanku tidak terlalu enak, lalu, kenapa Ayah dan Bunda makan selahap itu?"
Sembari masih melebarkan senyumnya, Ayah pun menjawab, "Karena kami sangat lapar, Nak."
"Dan masakan buatanmu bisa mengenyangkan perut kami," tambah Bunda.
Kartini mengangguk mendengar alasan keduanya. Walaupun sebenarnya, ia merasa sedikit aneh dengan apa yang keduanya katakan.
"Nanti kapan-kapan Bunda ajari kamu memasak agar masakanmu jauh lebih lezat daripada yang sekarang," kata Bunda dan lalu kembali melahap semangkuk bubur yang baru saja dituangnya. Itu berarti, ini sudah mangkuknya yang keempat.
Kartini yang melihat nafsu makan kedua orang tuanya meningkat secara drastis, lantas memaklumi keduanya. Karena menurutnya, banyak orang sakit yang mengalami peningkatan nafsu makan yang signifikan dan ini terjadi pada kedua orang tuanya.
Namun, hal yang berbeda terjadi pada Adipati. Remaja itu sungguh kehilangan nafsu makannya dan bahkan, ia tidak merasakan lapar sama sekali. Jika Kartini tidak memaksanya untuk makan agar bisa meminum obat, mungkin Adipati tidak akan makan sama sekali.
"Aku akan melihat Adipati dulu, Yah, Bund," kata Kartini dan lalu beranjak pergi ke kamar Adipati yang berada di lantai dua.
Sementara itu, Adipati yang berada di kamarnya, kini sedang tertidur dengan sangat pulas. Setelah ia makan dan minum obat sore tadi, ia langsung tertidur dan belum bangun sampai sekarang.
Klek (suara pintu terbuka)
Kartini melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Adipati. Ia menutup kembali pintu kamar dan lalu mendekat ke arah kasur tempat Adipati tertidur.
Dengan kedua mata sendunya, Kartini memandangi adik satu-satunya yang ia miliki, yang kini masih memejamkan kedua matanya. Dari sorot matanya, seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Aku harap, ini hanya firasatku saja," ucap Kartini pelan.
Ia lalu memegangi tangan Adipati yang terasa sangat hangat dengan cukup erat. Seakan-akan, ada sesuatu yang ia takutkan. Dari raut wajahnya pun tergambar jelas sebuah kekhawatiran.
***
Di rumah Keluarga Pradipta atau lebih tepatnya rumah Nando, terdengar anjing peliharaan mereka sejak sore tadi terus menggonggong dan melolong seperti seekor serigala. Mama Nando sudah beberapa kali memberikan anjing itu makan. Namun, anjing itu terus menggonggong seperti sedang kelaparan.
Karena terus berisik dan mengganggu orang rumah, Mama Nando lantas memutuskan untuk menaruh anjing itu di luar rumah dan merantainya. Namun tetap saja, suara gonggongan dan lolongan itu tetap terdengar sampai ke dalam rumah dan mengganggu para penghuninya.
Nando yang sedang santai di kamarnya sembari menonton siaran online, mulai habis kesabarannya karena suara berisik yang anjing peliharaannya buat.
"Dasar hewan pungut pengganggu!" ucap Nando kesal.
Ia lalu bangkit dan bergegas menuju halaman belakang rumahnya. Ia ingin membuat anjing peliharaannya itu diam dengan caranya sendiri.
Byuuur!!!
Seember air Nando guyurkan ke si anjing. Hewan peliharaan malang itu pun langsung terdiam.
"Nah begitu! Kau harus diam!" bentak Nando.
Ia memang selalu berperilaku buruk pada hewan peliharaannya itu. Salah satunya adalah dengan mengguyurnya menggunakan seember air seperti saat ini.
Namun, hal yang tidak biasa pun terjadi. Si anjing yang sempat terdiam, kini kembali menggonggong ke arah Nando. Ia bahkan juga menggeram seperti sedang mengancam.
"GOK! GOK! GOK! RRRR!!!"
Nando yang merasa kesal lantas membentak anjing peliharaannya itu sembari membanting ember kosong yang ada di tangannya ke tanah.
"Diam kau!"
Tapi, hewan peliharaan yang tampak kesal itu terus menggonggong dengan kedua matanya yang melotot. Nando pun akhirnya sadar, ada sesuatu yang aneh dengan anjing peliharaannya itu.
"Biasanya dia akan langsung diam. Tapi ... sekarang ia malah melawan," batin Nando.
Ia lalu melihat ke kedua mata anjing peliharaannya yang mana tampak sangat menyeramkan. Ia pun seketika merasa takut dan memutuskan untuk kembali ke dalam rumah.
"GOK! GOK! GOK!"
Gonggongan pun terus terdengar dan malah semakin keras daripada sebelumnya. Nando yang kini sudah berada di kamarnya, merasa kalau anjing itu pasti terkena rabies atau semacamnya. Sehingga tingkahnya jadi semenyebalkan itu.
"Akan aku minta Papa untuk menyuntik mati hewan itu besok," kata Nando dan lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya di tengah suara gonggongan anjing yang sangat berisik. Namun, ia malah kembali teringat dengan sorot mata hewan peliharaannya yang terlihat sangat menyeramkan tadi.
"Bagaimana bisa anjing yang baik dan seramah Neo jadi semengerikan itu?" batin Nando terheran-heran.
Dan tiba-tiba saja...
"Hachu!"
Nando bersin. Walaupun cuma sekali, tetapi bersinnya itu cukup keras dan langsung membuat kepalanya sedikit pusing.
***
Di kediaman tempat Alan tinggal, remaja yang pagi tadi merasa kurang enak badan, kini tengah sibuk menghabiskan makanan serta stok camilan yang dimilikinya. Rasa laparnya benar-benar sangat parah sehingga membuatnya tidak bisa berhenti untuk makan.
Ia memakan camilan yang ini dan yang itu secara acak dan bahkan ia memakannya dalam sekali suapan. Ia sungguh seperti orang yang sudah tidak makan selama beberapa hari.
Ketika ia masih asik menyuap makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat sakit dan perutnya terasa sangat mual. Ia pun lantas segera berlari menuju kamar mandi.
"Hooeeeekk!!"
Alan memuntahkan semua makanan yang telah ia makan di kloset kamar mandinya. Tubuhnya benar-benar terasa semakin tidak enak dibanding sebelumnya.
Setelah puas mengeluarkan semua isi perutnya, Alan dengan lemas berjalan menuju kamarnya. Sekarang ia benar-benar merasa sangat tidak bertenaga. Namun, rasa sakit di kepalanya masih terasa dan kini tubuhnya pun mulai ikut terasa sakit.
"Apakah ... ini adalah azab karena sering menggoda gadis-gadis cantik?" ucap Alan.
Dia sempat-sempatnya berpikiran seperti itu di tengah-tengah kondisinya yang semakin memburuk.
Sesampainya ia di kamar, Alan langsung meringkuk di atas kasurnya. Ia berusaha untuk menahan rasa sakit serta rasa tidak enak yang kini sedang tubuhnya rasakan.
"Suster cantik ... tolong rawat aku," oceh Alan dalam keadaan setengah sadar.
***
Keesokan harinya tepat saat jam telah menunjukkan pukul lima pagi, Rakha yang biasanya bangun agak siang, kini sudah membuka kedua matanya. Kepalanya benar-benar terasa sangat berat dan sendi-sendi yang ada di tubuhnya terasa sangat nyeri. Tapi, ia yang tidak ingin memanjakan rasa sakitnya, lantas memaksakan diri untuk bangkit dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Saat Rakha berusaha untuk berdiri, ia sangat kesulitan melakukannya. Tubuhnya yang nyeri dan kepalanya yang berat, membuatnya kerap kali terjatuh dan kembali ke posisi duduknya.
"Ayolah, Kha! Jangan manja begini!" Rakha mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Akhirnya, setelah perjuangannya untuk bangkit beberapa kali gagal, kini ia berhasil bangkit walaupun sedikit sempoyongan.
"Setelah mandi pasti kondisi badanku akan enakkan."
Rakha dengan hati-hati melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Ia masih berpikiran baik dengan kondisi tubuhnya saat ini.
Setelah lima belas menit berlalu, Rakha kini telah menyelesaikan mandinya. Ternyata benar apa katanya tadi, kondisi tubuhnya sekarang sudah sedikit membaik. Kepalanya sudah tidak terlalu berat dan rasa nyeri di tubuhnya pun tidak lagi terasa. Dengan begini, ia bisa pergi ke sekolah dengan tenang.
Drtt!
Drtt!
Drtt!
Ponselnya tiba-tiba saja bergetar dan Rakha yang sedang mengenakan atasan seragam sekolahnya pun sejenak beralih ke ponselnya. Terlihat nama Adipati di layar ponselnya.
"Halo, Di," sapa Rakha.
"Halo, Kha. Kamu sudah bangun?" tanya Adipati dengan suaranya yang agak berat.
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi Adipati menelepon Rakha di jam-jam segini untuk memastikan sahabat terbaiknya itu sudah bangun atau belum.
"Sudah rapi malahan," jawab Rakha riang. Namun, ia merasa ada yang aneh dengan suara sahabatnya itu.
"Kamu masih sakit ya?" tanya Rakha.
"Hem," jawab Adipati singkat. "Kalau begitu aku berangkat sekarang ya," lanjutnya.
"Apa kamu tidak mau izin saja hari ini? Kamu bisa serahkan tugas ketua kelas padaku, aku kan wakilmu," kata Rakha.
"Tidak, aku baik-baik saja," balas Adipati.
Rakha tidak bisa berbuat apa-apa jika Adipati sudah mengambil sebuah keputusan, karena ia pasti akan tetap teguh pada keputusannya itu.
"Kalau bisa minta diantar sopir saja." Rakha benar-benar merasa khawatir pada Adipati.
"Iya, hari ini aku diantar kok, kamu tidak perlu khawatir." Adipati di seberang sana sangat mengerti untuk tidak membuat Rakha khawatir.
"Oke. Kalau begitu, aku tunggu ya."
Kemudian sambungan telepon pun berakhir. Rakha lantas kembali melanjutkan kegiatannya untuk mengenakan seragam sekolahnya. Namun, tepat saat ia sedang mengancingkan kancing baju seragam sekolahnya yang terakhir, kepalanya tiba-tiba saja kembali terasa berat dan pandangannya pun sedikit kabur.
"Akh ...."
Ia lantas segera berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.
"Tenang, aku harus bisa menenangkan diriku," batin Rakha.
Ia berusaha untuk menenangkan dirinya dan berusaha meyakinkan pada dirinya sendiri kalau ia dalam keadaan yang baik-baik saja.
Setelah sepuluh menit berlalu, kondisinya pun kembali normal. Kepalanya sudah tidak terasa berat lagi dan pandangannya sudah tidak kabur seperti sebelumnya. Ia pun kini dapat berdiri dengan normal.
"Huh ... lihat kan, kalau aku baik-baik saja." Ia kembali meyakinkan dirinya sendiri kalau ia baik-baik saja.
Kemudian ia mengambil tas sekolahnya dan lalu beranjak pergi keluar kamar untuk menunggu kedatangan Adipati yang saat ini sedang dalam perjalanan.
***
Tin!
Tin!
Tin!
Setelah lima belas menit menunggu, mobil mewah berwarna putih yang sering digunakan untuk mengantar Kartini ke kampus pun tiba.
Rakha menunggu pintu mobil terbuka dan setelah pintu mobil otomatis itu terbuka seutuhnya, Rakha pun segera melangkah masuk ke dalamnya. Namun setibanya di dalam, ia merasa sangat terkejut ketika mendapati sosok Kartini sedang duduk di kursi depan.
"Loh? Ada Kak Kartini?" ucap Rakha tidak percaya.
Kartini lantas membalikkan badannya menatap ke arah kursi belakang. Ia lalu tersenyum dengan begitu cantik ke arah Rakha.
"Iya dong, aku kan juga mau berangkat kuliah," katanya.
Hari Rakha mendadak cerah ketika melihat senyum Kartini. Perasaannya seketika membaik sebaik-baiknya.
"Wah ... coba setiap hari begini ya, pasti bakal seru," ucap Rakha dengan riang gembira.
Adipati yang duduk di sebelah Rakha, dengan wajah yang agak pucat, kini menatap tajam ke arah Rakha. Pasalnya, Rakha yang baru datang mengabaikannya dan malah fokus pada Kartini.
"Sahabatnya lagi sakit, bukannya dikhawatirin malah dikacangin," ucap Adipati sarkas.
Rakha seketika langsung mengalihkan perhatiannya pada Adipati.
"Aduh-aduh, ada yang atit ya? Mana cini yang cakit, biar doktel cembuhin," ucap Rakha sok imut dengan niat menggoda Adipati.
"Ihh! Jijik sumpah!" Adipati langsung menunjukkan ekspresi wajah jijiknya melihat Rakha yang bertingkah sok imut. "Menjauh dariku!" tambahnya, ketika Rakha mulai bergerak mendekatinya.
Kartini yang berada di kursi depan pun kini tertawa melihat tingkah keduanya. Ia suka sekali dengan interaksi yang Adipati dan Rakha tunjukkan jika keduanya sedang bersama.
Tak lama kemudian, mobil pun melaju menuju sekolah tempat Adipati dan Rakha menimba ilmu. Di dalam sana Rakha masih dengan usil menggoda Adipati, dan Kartini yang duduk di kursinya masih tertawa melihat tingkah keduanya. Namun di sela-sela tawanya, Kartini sekilas memperhatikan Rakha dengan sangat intens. Rakha pun tidak menyadari kalau ia sedang diperhatikan seperti itu oleh Kartini.
***
Sesampainya di sekolah, Adipati dan Rakha langsung berjalan menuju kelas mereka. Sepanjang perjalanan melewati lorong sekolah, banyak siswa yang tampak sakit dan bahkan beberapanya ada yang menggunakan masker. Wajah mereka pucat dan tubuh mereka terlihat lemas.
Adipati dan Rakha yang melihat teman-teman mereka dalam kondisi seperti itu lantas merasa kalau tidak hanya mereka yang sedang sakit saat ini.
Setibanya mereka di kelas pemandangan yang sama seperti yang mereka lihat di lorong sekolah pun terlihat di sana. Banyak teman-teman mereka yang terlihat lemas, pucat dan bahkan beberapanya bersin-bersin.
"Pagi, Ketua Kelas, pagi, Wakil Ketua Kelas," sapa Hari.
Hari yang biasanya cerewet, kini terlihat pucat dan lemas. Suaranya pun terdengar bindeng dan lebih berat daripada suara aslinya.
"Pagi," balas Adipati.
Sosok Gio si Murah Senyum dan Karin si Wanita Pemberontak, kini telah berdiri di sebelah Hari. Keduanya hari ini sama-sama menggunakan masker.
"Tampaknya, hampir satu sekolah sedang sakit ya," ucap Rakha.
Hari, Gio dan Karin pun mengangguk kompak.
"Padahal minggu kemarin semuanya sehat-sehat saja," kata Karin.
"Benar," timpal Hari.
Adipati lantas kembali mengedarkan pandangannya ke seisi kelas. Tampak di kedua matanya, geng Nando yang hari ini hanya berempat, juga sedang sakit.
"Ke mana Alan?" batin Adipati. "Apa dia tidak masuk hari ini?"
Ia lalu lanjut mengedarkan pandangannya menuju ke meja Zain, si Tukang Tidur. Remaja itu terlihat sedang tidur di tempatnya seperti biasa. Yang membedakan ia dari hari-hari sebelumnya adalah, hari ini ia mengenakan masker.
"Sepertinya ia juga sakit," batin Adipati.
Ia kemudian beralih melihat ke meja si Kutu Buku Lio dan si Manja Bayu. Keduanya sungguh terlihat tidak berdaya. Adipati pun menaruh kecemasan pada keduanya. Ia lantas menghampiri keduanya yang saat ini sedang membaringkan kepala mereka di atas meja.
"Bayu, Lio, apa kalian baik-baik saja?" tanya Adipati khawatir.
Keduanya pun mengangkat kepala mereka dan lalu menghadap ke arah Adipati.
"Kami baik-baik saja, kepala kami hanya sedikit pusing," kata Lio dan lalu diangguki oleh Bayu.
Adipati yang melihat betapa menyedihkannya keadaan kedua temannya itu, lantas meminta Bayu dan Lio untuk pergi ke ruang UKS. Namun, keduanya menolak dan bersikukuh kalau mereka baik-baik saja.
"Kami baik-baik saja, Di. Sungguh," kata Lio yang mencoba meyakinkan Adipati.
Remaja yang menyandang gelar sebagai ketua kelas itu hanya bisa mengembuskan napasnya berat.
"Baiklah kalau begitu. Jika kalian merasa tidak enak, langsung beritahukan padaku," kata Adipati dan lalu diangguki oleh Lio dan juga Bayu.
Sebagai seorang ketua kelas, Adipati sungguh sangat memedulikan keadaan teman-teman sekelasnya. Padahal, dirinya sendiri saat ini juga sedang sakit.
Ia kemudian beralih ke meja Nando. Belum juga Adipati berkata apa-apa, Nando sudah memberikan sebuah tatapan tajam kepadanya.
"Di mana Alan, Nan?" tanya Adipati.
"Cari tahu saja sendiri," jawab Nando dengan ketus.
Adipati kembali mengembuskan napasnya berat. Ia harus ekstra sabar saat berbicara dengan Nando.
"Aku bertanya serius, Nan. Di mana temanmu Alan?" tanya Adipati untuk yang kedua kalinya.
"Aku juga menjawabnya dengan serius. Kenapa kamu tidak bisa mengerti?!" ucap Nando dengan nada bicara yang semakin ketus.
Ega, Sena dan Qyan yang melihat percakapan antara Nando dan Adipati, tampak acuh dan cuek. Mereka sama malasnya seperti Nando jika harus menanggapi Adipati.
Untuk yang ketiga kalinya, Adipati kembali mengembuskan napasnya berat. Nando sungguh adalah cobaan baginya.
Adipati yang tidak mendapatkan jawaban dari Nando, lantas beranjak pergi dari sana. Namun, baru saja ia membalikkan badannya, Rakha yang berdiri di depan kelas bersama dengan Hari, Gio dan Karin, tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan tubuhnya.
"Rakha?!" ucap Adipati panik.
Adipati dengan sigap menghampiri Rakha yang kini sedang dipegangi oleh Gio dan juga Hari. Nando cs dan beberapa murid yang ada di kelas langsung menatap ke arah Rakha yang hampir saja jatuh pingsan.
"Kamu tidak apa-apa, Kha?" tanya Adipati.
"Aku baik-baik saja, kalian tidak perlu khawatir," jawab Rakha yang kini berusaha untuk tetap kuat.
"Kamu yakin?" tanya Adipati memastikan.
"Iya, Diii. Kamu tidak perlu khawatir. Aku sungguh baik-baik saja," jawab Rakha sembari tersenyum.
Walaupun terlihat meyakinkan, tapi Adipati tidak percaya dengan perkataan Rakha. Namun, ia mencoba untuk mempercayainya.
Kini, Rakha dengan perlahan duduk di kursinya, diikuti oleh Adipati yang duduk di sebelahnya. Hari, Gio dan Karin pun kembali ke tempat duduk mereka masing-masing karena sebentar lagi jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Sembari melepaskan tas sekolahnya, Adipati terus memandangi Rakha yang kini sedang memegangi kepalanya. Akhirnya, sesuatu yang sejak kemarin tidak ingin ia pikirkan, kini malah terus terpikirkan olehnya.
"Sepertinya, sedang terjadi sebuah wabah di negeri ini," batinnya.
"Aku harap, wabah ini tidak semengerikan seperti apa yang aku bayangkan."
Adipati merasakan sebuah kekhawatiran yang cukup besar atas apa yang sedang terjadi saat ini.