Adipati dan Rakha kini sedang menunggu jemputan. Sopir Adipati yang sudah berada dekat dengan sekolah berkata kalau ia terjebak macet karena ada sesuatu yang terjadi di depan mobilnya. Jadinya, Adipati dan Rakha harus menunggu agak lama di depan sekolah.
Keduanya duduk di halte bus dengan tenang. Baik Adipati maupun Rakha memilih untuk sama-sama diam. Mereka diam bukan karena sedang bertengkar, melainkan karena keduanya sedang menahan rasa tidak enak yang tubuh mereka rasakan.
"Hachu! Hachu!"
Di tengah-tengah suasana yang tenang, Rakha bersin sebanyak dua kali. Adipati lantas langsung menatap ke arah Rakha. Walaupun sama-sama sakit, tapi kondisi Rakha masih sedikit lebih sehat ketimbang Adipati. Hanya saja, Rakha masih sering bersin sementara Adipati sudah tidak.
Langit yang sebelumnya cerah, kini mulai gelap. Sepertinya hujan besar sebentar lagi akan turun.
Kendaraan bermotor yang berlalu lalang terlihat mempercepat lajunya. Mereka buru-buru ingin sampai ke tempat tujuan mereka sebelum hujan turun. Adipati pun berharap agar sopir dan mobilnya segera sampai di tempat ia dan Rakha menunggu.
Selang beberapa menit, mobil Alphard putih pun menepi. Ya, itulah mobil jemputan mereka. Keduanya lantas buru-buru masuk ke dalam mobil dan lalu, mobil pun beranjak pergi meninggalkan halte bus.
Dalam perjalanan menuju kosan Rakha, Adipati dan Rakha sama-sama duduk bersandar di kursi sembari memejamkan mata. Di posisi itulah mereka merasa sedikit lebih baik. Namun, Adipati yang sedikit penasaran dengan apa yang menghambat perjalanan sopirnya, padahal biasanya tidak pernah, lantas menanyainya.
"Pak, tadi macet parah ya?" tanya Adipati.
"Iya, Mas, panjang pula antrean kendaraannya," jawab Pak Sopir.
"Tumben sekali ya. Apa Bapak tahu apa penyebab macetnya?" tanya Adipati lagi.
"Saya tidak tahu pasti, Mas. Tadi saya kira ada kecelakaan. Tapi, yang saya lihat cuma beberapa mobil yang berhenti di tengah jalan. Dan ketika saya melewati dua dari beberapa mobil yang sedang berhenti itu, saya melihat para polisi sedang menggendong keluar pengemudinya yang pingsan," jawab Pak Sopir. Ia menerangkan sedetail yang ia tahu.
"Pingsan? Jadi menurut apa yang Bapak lihat, mobil-mobil yang berhenti di tengah jalan itu, berhenti karena pengemudinya pingsan?" Adipati merasa penasaran dengan penjelasan sopirnya.
"Iya, Mas. Aneh ya, bisa serempak begitu."
Setelah mendengar penjelasan Pak Sopir, Adipati lantas kembali teringat dengan kejadian pria yang pingsan di Giyowo Sasageyo Cafe. Ia pun mengait-ngaitkannya dengan kejadian itu.
"Apa semua orang sudah terjangkit ya?" batin Adipati bertanya-tanya.
Ia yang masih menduga-duga bahwa ada sebuah wabah yang sedang terjadi saat ini, sejak di sekolah terus memikirkannya. Ia merasa apa yang masih ia duga ini termasuk masalah yang cukup serius.
"Hachu! Hachu! Hachu!"
Suara bersin pun terdengar. Namun, itu bukan dari Rakha. Remaja itu sudah tertidur pulas di tempatnya sejak mobil baru berangkat. Suara bersin tadi berasal dari Pak Sopir. Adipati lantas dengan cepat menatap ke arah kemudi.
"Bapak sakit juga?" tanya Adipati.
"Iya, Mas. Sudah dua hari ini saya flu," jawab Pak Sopir.
Adipati pun semakin paranoid sekarang. Dengan sakitnya Pak Sopir, maka hampir seluruh orang yang ada di rumahnya saat ini sedang dalam keadaan sakit. Kecuali Kartini yang masih tampak sehat sampai terakhir kali Adipati bertemu dengannya.
Kini, Adipati duduk bersandar sembari memijat-mijat pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Permasalahan tentang wabah yang masih ia duga-duga ini membuatnya jadi sangat kepikiran sekaligus takut.
***
Nando, Ega, Sena dan Qyan memutuskan untuk pergi ke rumah Alan. Teman mereka yang satu itu sejak pagi tidak ada kabar dan akhirnya membuat mereka jadi sangat khawatir.
Karena kondisi Qyan yang paling bugar dari mereka berempat, maka dialah yang mengemudikan mobil. Kini mereka sudah berada setengah perjalanan menuju rumah Alan.
Perjalanan mereka terbilang tenang dengan hanya suara radio saja yang sedari tadi terdengar. Nando yang biasanya menyalakan lagu untuk menemani perjalanannya, entah kenapa kali ini ia ingin mendengarkan siaran radio.
"Kalian," ucap Sena si pendiam secara tiba-tiba. "Sejak kapan kalian merasa tidak enak badan?" lanjutnya.
Ega yang duduk di sebelahnya lantas menjawab, "Aku mulai merasa benar-benar kurang enak badan kemarin. Tapi, aku mulai bersin-bersin saat pulang dari bermain biliar tempo hari."
"Aku juga sama," sahut Qyan yang sedang fokus mengemudi. "Tapi sampai sekarang, kondisi tubuhku masih terasa fit walau kadang beberapa sendiku terasa sedikit linu," tambahnya.
Sena lalu menatap ke arah Nando. "Bagaimana dengan kamu, Nan?"
Nando mengembuskan napasnya dan setelahnya ia baru menjawab pertanyaan Sena.
"Kemarin," jawab Nando. "Aku mulai bersin kemarin. Kemudian, secara bertahap dan terhitung cepat, kesehatanku pun menurun." Ia lebih menjelaskan dengan detail apa yang terjadi padanya.
Mendengar jawaban ketiga temannya, Sena kini yakin kalau Alan juga pasti sedang tidak enak badan. Ia bahkan meyakini kalau sakit yang sedang Alan rasakan pasti jauh lebih parah dari mereka bertiga.
Kini mobil yang mereka naiki tinggal melewati satu perempatan lagi. Nando yang duduk di depan tiba-tiba saja merasakan panas. Padahal, AC sudah menyala dan bahkan salah satunya sudah mengarah tepat ke arahnya.
"Kamu berkeringat sekali, Nan," kata Qyan.
"Wajar. Aku sedang tidak enak badan," balas Nando.
"Tapi-- aku, Sena dan Ega tidak berkeringat sampai sepertimu." Qyan kembali memandangi Nando.
Ega yang duduk di belakang kini bangkit dari posisi menyandarnya dan lalu melihat Nando yang kata Qyan sangat berkeringat.
"Benar, Nan. Kamu berkeringat sekali," kata Ega.
Nando yang merasa risi, lantas meminta kepada teman-temannya untuk tidak memperhatikannya lagi. Namun, Ega yang merasa sangat khawatir dengan kondisi Nando, lantas menyarankan pada semuanya untuk membatalkan kunjungan mereka ke tempat Alan.
"Kita batalkan saja untuk mengunjungi Alan. Tampaknya, salah satu dari kita harus lebih dipentingkan ketimbang Alan." Ega menatap khawatir ke arah Nando.
Qyan yang duduk di sebelah Nando juga sangat khawatir pada kondisi Nando. Sena yang duduk di belakang pun juga merasakan hal yang sama seperti apa yang kedua temannya itu rasakan.
Nando yang tidak ingin teman-temannya mengkhawatirkan dirinya, lantas mencoba untuk meyakinkan mereka.
"Ega, Sena, Qyan ... aku baik-baik saja. Sungguh," kata Nando dengan ekspresi wajah pucatnya yang meyakinkan.
Ketiga orang yang namanya Nando sebut itu, mau tidak mau mempercayai apa yang Nando katakan.
"Baiklah kalau begitu." Ega akhirnya mengalah. "Jika kamu merasa tidak enak, langsung beritahu kami," katanya dan lalu kembali menyender di kursi belakang.
Keadaan pun kembali tenang. Kini, hanya suara radio yang terdengar. Tidak ada lagi dari mereka yang berbicara sampai mereka tiba di rumah Alan.
Setelah mobil terparkir, Nando langsung turun dan menghampiri pintu rumah Alan. Ia memencet bel beberapa kali, namun tidak ada yang membukakan pintu. Dan saat ia memencet bel yang kedelapan, barulah bibi yang bekerja di rumah Alan membukakan pintu untuknya. Wajahnya terlihat sangat pucat dan ia juga terlihat sangat lesu. Nando, Ega, Sean dan Qyan bahkan merasa sedikit terkejut melihat rupa si bibi.
"Alan ada, Bi?" tanya Nando.
Bibi mengangguk dan lalu mempersilakan keempat orang remaja itu untuk masuk. Ia mengantarkan Nando cs langsung ke kamar Alan tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Sob," panggil Nando sembari melangkah masuk ke dalam kamar Alan. Ega, Sena dan Qyan mengekor di belakang Nando.
Betapa terkejutnya mereka melihat kamar Alan yang berantakan sekaligus dipenuhi oleh sampah bekas makanan dan juga minuman. Sementara itu, Alan yang baru bangun, kini menyunggingkan senyumnya ke arah teman-temannya yang datang menjenguknya.
"Wah, ada yang bertamu rupanya," kata Alan.
Ia tampak berantakan, namun wajahnya tidak terlihat pucat dan tubuhnya pun terlihat bugar.
Nando, Ega, Sena dan Qyan kini menghampiri Alan yang masih duduk di atas kasurnya sembari melihat ke arah mereka berempat.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Nando.
Alan menggeleng, namun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.
"Tubuhku rasanya tidak enak sekali. Aku juga terus merasa lapar," kata Alan.
Ia lalu memperhatikan Nando dengan sangat teliti. Dan barulah ia sadari kalau Nando terlihat sangat pucat. Nando yang sebelumnya berkeringat dan kepanasan, kini malah seperti orang yang sedang kedinginan.
"Kamu pucat sekali," kata Alan. "Kamu juga seperti sedang kedinginan."
Ega, Sena dan Qyan kini ikut melihat ke arah Nando. Mereka juga baru menyadari kalau teman mereka yang satu itu terlihat kedinginan dan jauh lebih pucat daripada sebelumnya. Karena sebelum ini, Nando terus berkeringat seperti orang yang sedang kepanasan dan sekarang malah sebaliknya.
Nando sendiri sekarang merasakan kedinginan. Berbanding terbalik saat ia sedang berada di mobil tadi. Ia pun jadi merasa bingung.
Ketika Ega menyentuh kening Nando, betapa terkejutnya ia dengan kulit Nando yang begitu dingin. Ia seketika menjadi sangat khawatir dan bahkan memutuskan untuk membawa Nando pulang.
"Kamu benar-benar dingin," kata Ega. "Kamu harus pulang dan beristirahat sekarang, Nan. Aku takut kamu kenapa-napa." Rasa khawatirnya benar-benar sudah diambang batas.
Qyan pun setuju dengan apa yang Ega katakan. Ada baiknya jika mereka pulang sekarang dan menjenguk Alan di lain hari jika Alan masih tidak masuk sekolah.
"Kita pulang sekarang. Besok kalau Alan masih sakit, kita jenguk dia lagi," kata Qyan dan lalu diangguki oleh Sena.
"Tapi--"
Ucapan Nando dipotong oleh Alan.
"Aku sudah agak baikan, kok. Kalian pulang saja. Aku yakin, kalian pasti juga sedang tidak enak badan," kata Alan sembari melihat ke arah Nando. Ia berusaha untuk meyakinkan temannya itu kalau ia sudah baik-baik saja.
Nando pun akhirnya mengalah dan memutuskan untuk pulang. Walaupun sejak tadi ia kekeh ingin tetap di tempat itu, tapi sebenarnya ia juga mengkhawatirkan kondisinya sendiri.
"Ya sudah kalau begitu, kami pulang dulu ya," ucap Nando.
Alan mengangguk dan lalu mereka melakukan salaman khas mereka sebelum pergi meninggalkan Alan.
Saat Nando ingin keluar dari kamar Alan, ia berhenti sejenak. Ega, Sena dan Qyan yang ada di belakangnya pun ikut berhenti.
Nando sempat terdiam sejenak. Dan tak lama kemudian, ia kembali menatap Alan yang kini masih berada di kasurnya. Ekspresi wajahnya menampilkan sebuah kekhawatiran yang cukup kentara.
"Cepat sembuh, Sobat," ucap Nando.
Alan mengangguk dan lalu kembali melebarkan senyumnya.
"Terima kasih, Sob. Semoga kita bisa segera kembali sehat dan lalu dapat bermain bersama lagi," kata Alan.
Nando mengangguk dan lalu tersenyum. Berbeda dengan Ega, Sena dan Qyan, hubungan Nando dengan Alan sangatlah dekat. Jauh lebih dekat dibanding dengan ketiganya. Itu semua karena Alan adalah teman masa kecil Nando yang mana sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
"Kalau begitu ... aku dan yang lainnya pamit pulang."
Nando, Ega, Sena dan Qyan pun pergi meninggalkan ruang kamar Alan. Dan tak lama setelah keempatnya pergi, Alan tiba-tiba saja meringkuk.
"Sa-kit," ucapnya lirih dan lalu menangis.
Ternyata, sejak awal nafsu makannya meningkat drastis, rasa sakit yang tubuhnya rasakan tidak pernah hilang dan bahkan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Ia sengaja menahan rasa sakitnya dan berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja di depan Nando, Ega, Sena dan juga Qyan agar teman-temannya itu tidak merasa khawatir padanya.
***
Malam pun tiba. Adipati baru saja selesai makan malam dan kini ia baru saja selesai meminum obat dan vitamin yang Kartini berikan padanya. Sekarang, ia mau istirahat karena kepalanya terasa sangat berat.
Adipati merebahkan tubuhnya dan lalu mulai mencari posisi nyaman untuk mempermudah tidurnya. Ia kemudian mulai memejamkan kedua matanya dan berharap besok pagi keadaan tubuhnya bisa membaik.
Namun, sebuah suara tiba-tiba saja terdengar di dalam pikirannya. Suara yang awalnya kecil, kini semakin lama terdengar semakin besar. Adipati lantas kembali membuka kedua matanya karena merasa sangat terganggu.
"Argh! Suara-suara ini ... benar-benar mengganggu!" Adipati kini memegangi kepalanya.
Ia sungguh tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Semuanya begitu aneh baginya.
Sampai setengah jam berlalu dan suara-suara itu masih saja terdengar olehnya. Namun, kini secara bertahap suara-suara itu mulai mereda dan lalu menghilang. Adipati pun bisa bernapas lega sekarang karena suara-suara yang berisik itu sudah tidak lagi terdengar olehnya.
Saat ini, Adipati sedang menarik dan mengembuskan napasnya dengan berat. Ia berusaha menenangkan dirinya yang sedikit shock dengan apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya pun tampak berkeringat karena menahan semua suara yang berisik tadi. Tapi tiba-tiba saja, pintu kamarnya pun terbuka.
"Di," panggil Kartini.
Perempuan cantik yang baru saja selesai mengurus kedua orang tuanya itu, kini berjalan menghampiri Adipati dengan terburu-buru. Tampaknya, ada sesuatu yang sedang terjadi. Tetapi, ia seketika beralih fokus ke Adipati saat mendapati adik satu-satunya yang ia miliki itu terlihat seperti orang yang baru saja selesai berolah raga.
"Kamu baik-baik saja, Di?" tanya Kartini dan lalu memegangi kening Adipati.
"Tubuhmu panas." Kartini merasa semakin khawatir.
Adipati yang tidak ingin Kartini terlalu mengkhawatirkannya lantas berusaha untuk menenangkannya.
"Aku hanya demam biasa, jadi kakak tidak usah khawatir," kata Adipati.
"Tapi--"
"Aku sungguh baik-baik saja, Kak." Adipati memotong ucapan Kartini.
Kartini pun mengangguk dan menganggap kalau Adipati sungguh dalam kondisi yang baik-baik saja.
"Ngomong-ngomong, ada perlu apa Kakak kemari?" tanya Adipati.
Kartini yang sebelumnya berniat memberitahukan sesuatu pada Adipati, kini mulai mengeluarkan ponselnya. Ia membuka salah satu aplikasi yang ada di ponselnya dan setelah itu ia berikan ponselnya pada Adipati.
"Apa ini?" tanya Adipati.
"Tonton saja," balas Kartini.
Adipati pun menurut dan lalu fokus menyaksikan apa yang ditampilkan di layar ponsel.
Tayangan Berita :
Sebuah wabah penyakit misterius telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjangkit hampir semua makhluk hidup yang ada.
Para profesor, dokter dan ilmuwan di seluruh dunia, kini sedang berusaha mencari tahu apa yang telah menyebabkan banyaknya manusia dan bahkan hewan, sakit secara mendadak.
Pemerintah dunia pun sepakat untuk menghentikan semua kegiatan dan aktivitas di luar ruangan untuk mencegah wabah ini semakin menyebar luas.
Pemerintah dunia juga memberlakukan karantina mandiri bagi seluruh keluarga, baik yang sehat maupun yang telah jatuh sakit. Para hewan yang sakit pun akan dipisahkan dan diletakkan di sebuah tempat khusus yang jauh dari pemukiman manusia.
Para tenaga medis dalam jumlah yang sangat banyak akan dikerahkan untuk melakukan pengecekan dan pemeriksaan di setiap wilayah yang ada di setiap negara. Untuk itu, kami akan meminta pada masyarakat untuk melaporkan kondisi anggota keluarga mereka melalui....
Siaran masih berjalan, namun Adipati kini mengalihkan pandangannya ke arah Kartini. Wajahnya terlihat sangat panik dan ketakutan.
"Kita harus tenang. Kakak akan melaporkan kondisi keluarga kita ke tenaga medis. Kamu, Ayah dan Bunda pasti akan baik-baik saja," kata Kartini.
Adipati hanya mengangguk dan kemudian ia mengembalikan ponsel Kartini.
"Istirahatlah. Pemerintah dunia pasti bisa mengatasi masalah wabah ini."
Kartini lantas meminta Adipati untuk kembali berbaring dan tertidur sementara ia akan menghubungi tenaga medis Indonesia untuk mengabarkan kondisi anggota keluarganya.