Di sebuah kawasan perumahan kumuh yang ada di pinggiran kota, dua orang kakak beradik sedang menangis histeris melihat kedua orang tua mereka yang terus mengejang dengan hebat.
"Bapak! Ibu!" teriak seorang bocah laki-laki.
Ia begitu ketakutan melihat bapak dan ibunya terus mengejang hebat dengan mata yang melotot dan mulut yang membuka lebar.
"Tenang, Dik. Sebentar lagi bantuan akan datang," kata seorang remaja perempuan yang adalah kakak dari bocah laki-laki tersebut.
Untungnya sang kakak dengan sigap melaporkan hal ini pada petugas keamanan yang berjaga, sehingga mereka bisa segera menghubungi pihak rumah sakit perihal masalah ini.
Namun sayang, tampaknya pihak rumah sakit tidak akan sempat untuk menolong keduanya karena saat ini pria dan wanita berumur empat puluh tahunan itu sudah mulai mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Tidak!!"
Si bocah lelaki menangis semakin keras melihat apa yang terjadi di hadapannya, sementara sang kakak dengan cepat menarik dan memeluk adiknya. Ia berusaha menenangkan sekaligus menghalangi adiknya untuk tidak melihat apa yang terjadi pada kedua orang tua mereka.
"Tenang, Dik. Kakak ada di sini," katanya sembari menangis.
"Bapak dan Ibu, mereka akan ... baik-baik saja," lanjutnya.
Ia yang sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kini berusaha tegar dan kuat. Ia tidak ingin adiknya itu merasakan kehilangan dan ketakutan karena ditinggal oleh kedua orang tua mereka.
Sambil memeluk adiknya, si kakak terus menatap ke arah kedua orang tuanya yang kini sudah dalam kondisi bermandikan darah. Keduanya pun akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
***
Di rumah Keluarga Rahadian, terlihat Kartini yang sedang menelepon. Ia terlihat sangat serius berbicara dan sesekali mencatat sesuatu di kertas yang ada di depannya.
"Iya betul. Terima kasih ya," ucap Kartini pada seseorang di seberang sana.
Sambungan telepon pun terputus. Wajahnya terlihat sedikit lega.
Kartini baru saja selesai menelepon tenaga medis nasional yang saat ini sedang fokus menangani wabah penyakit masal yang terjadi di Indonesia. Mereka menyediakan layanan 24 jam penuh. Namun sejak awal diumumkannya wabah penyakit ini, baik telepon ataupun website tenaga medis nasional, jadi sibuk dan sedikit sulit untuk diakses. Itu semua karena orang-orang menggunakannya secara bersamaan dan serempak.
Sejak malam tadi, Kartini merasa sangat kesulitan untuk menelepon ataupun membuka website tenaga medis nasional. Ia sampai sedikit frustrasi dan uring-uringan karena hal itu. Dan untung saja, pagi ini sambungan teleponnya berhasil masuk dan ia pun segera mendaftarkan anggota keluarganya sekaligus menerangkan kondisi mereka.
Kini, Kartini berniat untuk menghubungi Rakha. Ia sangat kepikiran dengan adiknya yang satu itu. Ia tidak bisa mengunjunginya ataupun Rakha yang menghampirinya karena diberlakukannya karantina sejak kemarin.
Tut
Tut
Tut
Klek
"Halo ... Kak," sapa Rakha di seberang sana.
"Halo, Rakha. Bagaimana kondisimu? Kakak sangat mengkhawatirkanmu," tanya Kartini.
Terdengar jelas dari nada bicaranya kalau ia benar-benar khawatir pada Rakha.
"Ya ... beginilah, Kak. Aku merasa sangat tidak enak. Kepala dan tubuhku terasa sakit, bahkan ... aku juga mulai melihat yang aneh-aneh." Suara Rakha terdengar sangat tidak bertenaga.
"Melihat yang aneh-aneh?" Kartini penasaran.
"Iya. Aku sedang berada di kosan, tapi mataku samar-samar melihat tempat lain."
Mendengar apa yang Rakha katakan padanya, Kartini sangat yakin kalau remaja itu pasti sedang mengalami sebuah halusinasi.
"Itu pasti hanya halusinasi karena kepalamu yang sedang sakit," kata Kartini.
"Mungkin," balas Rakha.
Kartini ingin sekali membawa Rakha ke sini, ke rumahnya, agar ia bisa merawat Rakha bersama dengan Adipati dan juga kedua orang tuanya. Namun apa daya, ia tidak bisa melakukannya.
"Maafkan Kakak karena tidak bisa mengunjungi ataupun membawamu ke sini," ucap Kartini dengan nada bicara yang terdengar sangat menyesal.
"Tidak apa, Kak, aku paham kok, kondisinya sekarang kan memang sedang seperti ini," kata Rakha. "Kakak tidak perlu mengkhawatirkan aku, aku kan pemuda kuat, mandiri dan tentunya tampan." Rakha sempat-sempatnya berkata seperti itu di saat-saat seperti ini.
Mendengar Rakha masih bisa bercanda seperti itu, Kartini pun bisa merasa sedikit tenang. Walaupun begitu, rasa khawatirnya terbilang masih besar karena Rakha saat ini tinggal hanya sendirian.
Kemudian, Kartini beralih untuk menanyai Rakha perihal pendaftaran sekaligus pemberitahuan informasi kepada pihak tenaga medis nasional.
"Apa kamu sudah menghubungi atau mengunjungi website tenaga medis nasional?" tanya Kartini.
"Sudah, Kak. Tadi sekitar jam 3 pagi aku bisa membuka website-nya dan mengisi semua yang perlu aku isi," jawab Rakha.
"Syukurlah kalau begitu," kata Kartini dengan perasaan yang kembali sedikit lega.
Rakha di seberang sana yang merasa tubuhnya kembali tidak enak, lantas meminta izin pada Kartini untuk menutup sambungan teleponnya.
"Kak, aku mau istirahat dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa, aku akan langsung menghubungi Kakak."
"Baiklah. Selamat beristirahat. Kakak akan terus mengaktifkan ponsel Kakak untuk menunggu kabar darimu."
Setelahnya sambungan telepon pun terputus. Kartini yang merasa mengantuk dan lelah, kini melihat jam yang terpampang di ponselnya.
"Sudah jam enam rupanya. Waktunya membuat sarapan."
Kartini kini beranjak menuju dapur. Tapi tiba-tiba saja...
PRANG!
Suara benda yang pecah mengagetkannya. Suaranya berasal dari dapur. Ia lantas segera mempercepat langkahnya untuk memeriksa apa yang terjadi.
***
Setelah selesai teleponan dengan Kartini, Rakha kini bergegas untuk tidur. Tapi sebelum itu, ia ingin minum segelas air terlebih dahulu untuk membasahi kerongkongannya yang terasa sangat kering. Ia pun harus berjalan ke arah galon air sembari menopang tubuhnya yang terasa sangat berat, begitu juga dengan kepalanya.
Rakha mengambil gelas yang ia taruh di dekat galon dan kemudian mengisinya dengan air galon yang saat ini hanya tersisa setengah.
Sembari menunggu air di gelasnya penuh, Rakha terus menahan rasa sakit yang kini sedang ia rasakan. Dan ketika air di gelasnya sudah hampir penuh, tiba-tiba saja matanya kembali melihat hal yang aneh. Ia tidak melihat ada galon, dispenser dan dinding di depannya, melainkan pemandangan kebun yang letaknya tidak jauh dari tempat kosannya berada.
"Ada apa dengan mataku? Kenapa begini?" batin Rakha.
Ia seketika kehilangan keseimbangan. Kepalanya terasa semakin berat dan pusing. Sendi-sendi di tubuhnya pun terasa semakin linu. Ia benar-benar merasa sangat bingung dengan apa yang terjadi padanya saat ini.
PRANG!
Rakha pun akhirnya ambruk. Gelas yang dipegangnya pun pecah dan air yang ada di dalamnya tumpah membasahi lantai, bersama dengan beling kaca yang berhamburan. Sebelum ia pingsan, ia sempat memanggil nama seseorang.
"A ... di ...."
***
Kartini melangkah dengan cepat ke arah dapur, dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati ayah dan bundanya sedang mengacak-acak seisi kulkas dan memakan semua yang bisa mereka makan. Mereka terlihat sangat kelaparan.
"Ayah, Bunda!"
Kartini berjalan mendekati keduanya. Ia lantas meminta keduanya untuk berhenti melakukan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Namun, baik si Ayah maupun Bunda sama-sama menepis Kartini dan lalu melanjutkan makan mereka yang terlihat seperti babi yang sedang memakan pakan mereka. Kartini pun merasa sangat terkejut dan tidak percaya.
Tidak ingin kedua orang tuanya bertingkah seperti itu, Kartini lantas berusaha keras secara berulang kali untuk menenangkan keduanya. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Ia malah didorong sampai ia jatuh tersungkur ke lantai. Kedua orang tuanya tampak liar dan selalu mengabaikannya. Mereka hanya fokus dengan makanan yang ada di hadapan mereka.
Saat Kartini sudah kehabisan cara untuk menghentikan kedua orang tuanya, Ayah dan Bunda tiba-tiba saja mengerang kesakitan. Mereka lalu jatuh ke lantai sembari mengejang dengan cukup hebat. Mata mereka membelalak, mengisyaratkan kalau rasa sakit yang mereka rasakan saat ini benar-benar terasa sangat sakit.
"Ayah! Bunda!" teriak Kartini histeris.
Dia benar-benar ketakutan sekarang. Ia tidak tahu harus berbuat apa karena Ayah dan Bunda tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Kartini tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun yang ada di rumah ini karena saat ini, dialah satu-satunya orang yang dalam keadaan sehat. Para pelayan dan pekerja yang bekerja di sini, semuanya sakit dan mereka memutuskan untuk mengisolasi diri mereka di kamar dan tidak ada yang mau keluar.
Di tengah-tengah kepanikan dan kebingungannya, Bi Narsoh yang terlihat sangat pucat dan kurus, berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Kartini. Ia datang bersama dengan Pak Benu, tukang kebun di rumah Keluarga Rahadian.
"Non," panggil Bi Narsoh.
"Bi," balas Kartini.
"Apa Bibi dan Pak Benu bisa membantuku untuk membawa Ayah dan Bunda ke kamar?" tanya Kartini.
Ia tidak langsung meminta Bi Narsoh dan Pak Benu untuk membantunya mengangkat kedua orang tuanya. Itu dikarenakan tampilan keduanya yang tampak begitu lemas dan tidak bertenaga.
"Kami akan berusaha sebisa kami, Non," kata Bi Narsoh.
Kartini mengangguk dan lalu ketiganya mulai bergerak untuk mengangkat Ayah dan Bunda secara bergantian. Dimulai dari Bunda dan lalu setelahnya Ayah.
***
Di rumah Keluarga Pradipta, Nando yang baru saja terbangun dari tidurnya merasa menggigil dan sangat kedinginan. Padahal, ia sudah mengenakan baju tebal berlengan panjang, sweater dan jaket tebal. Tapi, apa yang dikenakannya itu tidak dapat membantunya dari rasa dingin yang kini sedang ia rasakan.
Sembari menggigil, Nando berusaha berteriak untuk memanggil kedua orang tuanya. Ia menginginkan segelas air hangat. Air galon di kamarnya sudah habis dan hanya di dapurlah ia bisa mendapatkan segelas air hangat.
Nando mencoba berteriak, tetapi suaranya tidak mau keluar. Ia pun kembali mencoba berteriak dan hasilnya pun masih sama. Suaranya tidak mau keluar. Hanya suara serak saja yang bisa ia hasilkan.
Karena Nando sangat ingin minum air hangat, ia lantas bangkit dari kasurnya dan berjalan menghampiri pintu. Ia berniat untuk mengambilnya sendiri.
Remaja jangkung dengan kulit yang sangat pucat itu berjalan sempoyongan melalui lorong rumahnya yang besar. Ia berjalan sembari berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh. Ia memaksakan dirinya berjalan sampai ke dapur yang ada di lantai bawah. Itu semua demi segelas air hangat.
Untuk sampai ke dapur, Nando harus melewati ruang keluarga. Dan ketika ia berjalan perlahan melewati ruang keluarga, ia bisa melihat kedua orang tuanya sedang menonton televisi. Namun, mereka terlihat sangat tegang dan juga takut menyaksikan acara yang sedang ditayangkan saat ini.
Siaran Televisi
Korban meninggal dunia mulai berjatuhan pagi ini. Tercatat sudah ada sekitar seribu kematian yang diakibatkan oleh virus misterius yang kini sedang menjangkit hampir seluruh makhluk hidup yang ada di seluruh belahan dunia.
Badan Kesehatan Internasional mengatakan, para korban meninggal karena tidak kuat menahan rasa sakit yang mereka rasakan. Walaupun meninggal karena sakit, hampir setiap korban meninggal dengan kondisi yang berbeda-beda.
Mama Nando yang sedang menonton televisi, merasakan kehadiran seseorang yang ada di belakangnya. Ia lantas membalikkan tubuhnya dan di sanalah ia melihat Nando sedang berdiri dengan wajah yang sangat ketakutan.
"Nando," panggil Mama Nando.
Papa Nando pun ikut berbalik menghadap ke arah Nando. Keduanya dapat melihat dengan jelas betapa takutnya Nando saat ini.
"Apa ... aku akan mati?" tanya Nando. Air mata pun mulai menetes di sudut matanya.
Papa dan Mama Nando langsung menghampiri Nando. Mereka langsung memeluk tubuh anak satu-satunya yang paling mereka sayangi itu.
"Tidak, Nak. Kamu akan tetap hidup," ucap Papa Nando.
"Benar. Percayalah pada Papa dan juga Mama, kamu akan tetap hidup dan kembali sehat seperti sedia kala," timpal Mama Nando.
Di dalam pelukan kedua orang tuanya, Nando menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat takut kalau ia akan mati karena penyakit yang sedang dideritanya saat ini. Tapi sebenarnya, hal yang paling ia takutkan adalah ... jika ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya.
"Kamu tidak perlu takut. Papa dan Mama akan selalu bersamamu," ucap Papa Nando dan lalu diangguki pelan oleh Nando.
Kini, keadaan di luar sana sudah benar-benar parah. Para penderita penyakit misterius ini mulai meninggal satu per satu dan terjadi serempak di seluruh dunia. Karena hal ini, para ilmuwan, profesor dan dokter pun berusaha mempercepat kerja mereka untuk segera mengetahui virus apa yang tengah menjangkit para makhluk hidup yang ada di seluruh belahan dunia. Jika mereka sudah mengetahui jenis virusnya, maka mereka bisa segera membuat penawarnya. Namun, ini akan memakan waktu yang cukup lama, dan mungkin, manusia serta makhluk hidup lainnya tidak akan bisa bertahan.