BAB 14. Di Hukum Lagi, Oleh Si Iblis

1889 Kata
Setelah adegan memalukan tentang pacar sewaan kemarin selesai, hari ini aku akhirnya berangkat kerja dan sebisa mungkin menghindari Berandalan Iblis itu. Laporan saja aku menitipkannya pada pgawai lain yang hendak masuk ruangan Boss Galakku itu. Pokoknya sebisa mungkin untuk sementara aku tidak ingin bertemu makhluk menyebalkan itu dulu. Mataku melotot melihat ada sebuah chat dari kontak bernama Calon Suamiku Tersayang dengan dua emoticon love. Aku mengumpat kesal di dalam hati, sepertinya si Berandalan itu sudah mengganti sendiri nama kontaknya di ponselku. Heran sekali, padahal aku sudah mengganti pola di ponselku tapi dia selalu bisa masuk memeriksa isi ponselku. Iblis itu benar-benar wajib di beri pelajaran suatu hari nanti. “Aku mau ketemu Sarah sebentar, mau jelasin soal pernikahan kita. Nanti Ayah akan bikin pengumuman sebentar lagi, kamu jangan keluar kantor pokoknya. Takut ada Wartawan di depan. Aku sebentar doang kok, kamu jangan kangen yah sayang.” Ucap Regarta dalam pesannya. Aku mendesah lelah, meladeni orang ini selalu saja membuatku darah tinggi. Setiap kalimat yang keluar dari mulut atau dari ketikannya pasti selalu mengandung sesuatu yang menyebalkan. “Kangen sama kamu? Jagan mimpi!” balasku buru-buru. Setelah itu meletakkan ponselku dan mendesah. Terdengar ada suara balasan lagi tapi sebaiknya tidak aku buka karena balasan chat dari Iblis itu pasti akan membuat aku darah tinggi, kesal dan keriputku nanti cepat muncul. Sebaiknya memang aku menyelesaikan laporan akhir tentang Desain dan menyerahkannya pada Boss galak itu setelah dia pulang menemui wanita itu. “Wen, emang bener lo mau nikah saa pak Rega.” Evelin yang mejanya tepat berada di sampingku tiba-tiba saja sudah berada di sampingku bersama kursinya yang memiliki roda itu. Aku mendesah. Sepertinya pemberitaan soal pernikahanku dengan berandalan itu sudah di umumkan oleh Ayah Adrian. “Ya begitu lah.” Balasku tidak semangat. “Sejak pak Rega balas postingan lo itu anak kantor udah rama loh Wen di grup-grup. Lo sebaiknya hati-hati karena sebagian dari mereka nggak suka sama pernikahan ini.” Ungkap Eve memberi tahu. Sejujurnya aku sendiri tidak terlalu akrab dengan Eve. Kami hanya saling menyapa sewajarnya saja. Selain dengan Jason dan Bernard yang sudah mengkhianati kantor ini karena di berikan beasiswa sekolah Desain ke Paris oleh si Berandalan itu, aku tidak dekat dengan siapapun di kantor ini. “Kalau nggak suka sama pernikahan gue ya silahkan protes sama pak Rega, dia yang maksa bukan gue. Jangan lupa protes sekalian sama keluarganya, karena orang tuanya yang datang meminta gue jadi istri pak Rega sejak gue masih kecil. Ada lagi keberatan kalian? Sini bilang depan muka gue!” Ucapku sengaja keras-keras agar terdengar semua orang. Semua yang tadi terlihat sedang berbicara satu sama lain langsung salah tingkah dan kembali bekerja. Eve meringis sambil menatapku yang saat ini sedang tersenyum lebar ke arahnya. “Mbak Eve juga keberatan? Mau saya kasih tahu di mana bisa menemui orang tua pak Rega?” tanyaku dengan senyuman manis. Eve tertawa di buat-buat kemudian kembali ke mejanya dengan ekspresi ketakutan. Dia pikir aku mudah di tindas? Oh tentu saja tidak. Satu-satunya orang yang bisa menindasku hanya Regarta seorang karena aku belum bisa mengalahkannya. Tapi orang lain? Hendak menindasku? Jangan harap! aku bukan Wendy yang dulu. Tujuh tahun aku di Paris tidak diam saja. Banyak hal yang aku lakukan dan salah satunya adalah menguatkan mentalku, belajar Bela Diri dan memperbaiki kualitas diriku. Sepertinya Berandalan itu tidur di Restoran tempat dia berjanjian dengan perempuan itu. Atau jangan-jangan lanjut pergi kencan mereka karena hingga jam pulang kantor dia belum juga kembali. Padahal tadi mulut manisnya itu berbicara melalui Chat akan pulang bersamaku karena di depan banyak wartawan. Tapi bagus lah, lagi pula aku masih ingin menjaga jarak darinya. Mau dia jalan sama Sarah kek, mau dia kencan kek, aku tidak peduli. Tapi jika dia benar-benar kencan dengan perempuan gatel itu, jangan harap bisa menyentuhku barang sejengkalpun. Aku akan menendang selangkangannya jika dia menggunakan tangannya yang sudah kotor karena menyentuh wanita lain untuk menyentuhku. Aku mengambil tas dan ponselku kemudian berjalan keluar sambil menyibak rambutku yang mulai panjang ke belakang. Sengaja ingin membentuk karakterku yang tidak takut pada siapapun di depan para karyawan lain yang sekarang terlihat sedang berbisik-bisik dengan teman-temannya. Tidak lupa aku memakai kaca mata hitamku dan berjalan keluar dengan Anggun. Selain belajar membuat baju dan mendesain beberapa hal, aku juga di ajari tentang sikap sesuai baju yang aku kenakan. Bagaimana seharusnya berjalan saat menggunakan dress agar terlihat indah, bagaimana cara berjalan saat menggunakan baju casual agar Desain lebih terlihat dan banyak hal lain. Beruntung sekali karena sekarang cukup berguna. Ketika aku keluar, Wartawan langsung mengerumuni aku. Tapi sepertinya Daddy menyiapkan Bodyguard untukku. Karena begitu aku keluar, dua orang Bodyguard langsung melindungiku dan menghalau para Wartawan. “Mbak Wendy, bagaimana tanggapan mbak soal pernikahan ini?” tanya salah satu Wartawan. Ada banyak sekali pertanyaan yang keluar dari mulut mereka. “No coment.” Balasku sambil terus berjalan menuju mobilku. Hari ini aku memang menggunakan mobil sendiri. “Bagaimana perasaan mbak merebut Regarta dari Sarah mbak? Bukankah sesama Wanita seharusnya saling menghargai?” ucap salah satu dari mereka. “Silahkan tanyakan pada Regarta apakah saya merebut atau tidak.” Jawabku dengan sikap yang masih sama. Tidak mau terintimidasi. “Apakah mbak Wendy sudah pernah bertemu mbak Sarah sebelumnya?” “No coment.” “Mbak Wendy, apakah benar mbak Wendy ini selingkuh dengan mas Regarta saat mas Rega masih bersama mbak Sarah?” pertanyaan ini membuat aku menghentikkan langkahku, kemudian membuka kacamataku dan menatap lurus ke arah wartawan yang melontarkan pertanyaan itu. “Apakah menurut anda orang tua Regarta akan lebih memilih Selingkuhan putranya di banding pacarnya?” tanyaku dengan senyuman manis. Mereka tentu saja tahu bahwa keluarga Regarta paling benci perselingkuhan mengingat masa lalu Ayah Adrian dan Bunda Lisa dulu. Keduanya bahkan sangat vokal membantu istri-istri korban selingkuhan yang menderita karena di tinggal oleh suaminya. Mendengar aku bertanya, beberapa dari Wartawan itu terlihat kaget. Mungkin mereka tidak berpikir aku akan seberani ini mengingat selama ini aku tidak pernah muncul di publik. Orang tuaku terkesan sangat menyembunyikan aku. Bahkan ada pemberitaan yang mengatakan aku mengalami sakit mental dan banyak asumsi aneh lainnya. “Tapi mbak Wendy, bagaimana tanggapan mbak Wendy tentang curhatan mbak Sarah di sosial media?” “Curhatan dia bukan urusa saya mas, soalnya kami tidak saling mengenal. Sudah yah, selebihnya silahkan tanyakan pada Regarta. Terimakasih.” Jawabku kemudian memakai kembali kacamataku dan melanjutkan langkahku menuju mobil. Mereka masih melontarkan banyak pertanyaan hingga aku masuk ke dalam mobil, tapi tidak ada satupun yang aku jawab. Beberapa Wartawan juga terlihat ada di depan pintu gerbang Apartemenku tapi di halau oleh satpam dengan menutup gerbang. Mereka hanya membukakan gerbang untuk mobilku setelah itu menutupnya lagi. Tidak salah memang aku memilih Apartemen di tempat ini, mereka sangat mengutamakan keamanan dan kenyamanan penghuninya. “Selamat sore mbak Wendy, kayaknya lagi terkenal nih.” Ledek salah satu satpam di dekat resepsionis. Mbak Resepsionis yang juga sudah mengenalku semuanya ikut senyum-senyum. Aku sendiri tertawa menanggapi. “Yang sabar yah pak, sementara aja kok.” Balasku yang di balas acungan jempol oleh mereka. “Kami sudah di ajak rapat sama mas Brian Prayogo langsung kok mbak Wendy. Jadi tenang saja, kami pasti tutup mulut dan akan memperketat keamanan.” Ucap pak Satpam itu lagi. Aku mengacungkan jempol sebagai apresiasi kemudian mengangguk sopan sebelum masuk ke dalam lift. Ponselku bergetar sejak tadi dan aku tahu siapa yang menelpon. Karena itu aku sengaja mengabaikannya. Jangan harap berandalan itu akan bisa mendengar suaraku setelah dia pergi lama sekali menemui perempuan itu. *** Setelah mandi, keramas, menghapus kutek dan memakai masker, aku baru akan membuka ponsel tapi pintuku sudah di gedor seperti hendak merobohkan gedung. Tentu saja aku tahu siapa pelakunya. Dan herannya tetanggaku yang biasanya sangat tidak suka berisik bisa diam saja. Apa lagi yang berandal itu lakukan untuk membungkam para tetangga Apartemenku? “Wendy, buka pintunya aku kelaparan.” Teriaknya dengan suara memelas. Dia pikir aku akan tertipu untuk yang ke dua kali? Tentu saja tidak. “Bukannya abis jalan-jalan sama Pacar, kok bisa kelaparan?” tanyaku dari dalam. Aku bisa mendengar kekehan menyebalkannya dari tempatku berdiri sekarang. “Pulang bertemu dia aku ada urusan mendadak, aku nggak sempet kabarin kamu.” Ucapnya menjelaskan. “Kamu mau jalan-jalan, mau ke hotel sekalipun aku tidak peduli. Asal bekas kamu menyentuhnya itu jangan sampai menyentuh tubuhku sejengkal pun. Aku alergi.” Balasku kembali membuatnya tertawa. Entah kenapa dia terdengar senang sekali mendengar aku bicara. “Mana mungkin aku ke hotel sama dia. Kalau nggak takut di gorok sama Ayah dan Daddy, kamu yang aku culik bawa ke hotel.” Balasnya sambil tertawa geli. “Sana pulang, aku sedang ingin me time tanpa di ganggu siapapun. Apalagi oleh laki-laki tukang menempeli perempuan lain seperti kamu.” “Aku Cuma menempel sama kamu loh.” Ucapnya sambil tertawa. Sebenarnya apa yang dia tertawakan? Apakah suaraku mengandung feromon kebahagiaan yang membuat dia langsung bahagia ketika mendengarnya? Dasar laki-laki aneh. “Nggak usah modus yah, nggak mempan. Cepet pergi atau aku panggilkan satpam. Aku sedang alergi melihat wajahmu. Jangan menggangguku.” Balasku sambil berbalik hendak menuju sofa tapi reflek aku langsung menoleh kaget melihat pintu kamarku bisa di buka begitu saja. Laki-laki itu tertawa da mendekat ke arahku setelah menutup pintunya lagi. “Mau apa kamu?” tanyaku sambil menutupi dadaku. Aku masih pakai handuk belum pakai baju. “Regarta sialan! Tutup mata kamuu!” teriakku kesal. Laki-laki itu tidak peduli dan terus mendekat dengan ekspreasi menantang. “Berani-beraninya habis mandi nggak pakai baju dulu huh? Mana seksi banget lagi handuknya. Dad kamu kemana-mana itu.” Ucapnya sambil menyeringai. “Berhenti di situ atau aku teriak!” ucapku panik sambil mengulurkan sebelah tanganku berusaha menahannya. Lupa jika ikatan di handukku harus di pertahankan menggunakan tangan yang aku gunakan untuk menahannya itu. Regarta berlari mendekatiku dan menahan ikatan handukku yang nyaris jatuh itu sambil menyeringai karena mau idak mau dadaku tertekan oleh tangannya. Sebelah tangannya yang lain menghalangi kepalaku yang hampir terkena tembok pembatas menuju ruang kerjaku. “Jangan mancing aku Wendy, iman aku nggak sekuat itu.” Bisiknya kemudian mengecup bibirku kilat. Tangannya yang hangat masuk ke lipatan dadaku membenarkan handukku dengan gairah yang terlihat di matanya. Aku kehilangan suaraku dan kakiku tiba-tiba saja lemas. Tangannya baru saja bersentuhan dengan dadaku dengan sedikit nakal. “Dasar nakal!” cicitku pelan sambil menunduk. Kedua tanganku sudah berhasil menjauhkan tangannya dari dadaku tapi posisiku sekarang sedang di kurung menggunakan kdua tangannya ke tembok. “Siapa yang iijinin kamu pulang duluan hmm?” tanyanya sembari menarik daguku ke atas membuat wajahku berhadapan dengannya. “Ya buat apa aku nungguin orang lagi pacaran. Kurang kerjaan banget.” Balasku ketus sambil berusaha mendorongnya menggunakan tanganku yang aman tapi Regarta malah menangkap tanganku dan menahannya. “Aku suka cemburu kamu yang kaya ini, seksi banget.” Bisiknya dekat sekali. Bahkan deru napasnya bisa aku rasakan di wajahku. “Regarta jangan main-main!” aku memperingatkan dengan suara nyaris tertahan ketika bibirnya tiba-tiba saja sudah menempel di leherku dan lidahnya mulai bermain nakal di sana. “Kamu emang harus di tandain di tempat terbuka kaya gini biar nggak nakal. Jangan kamu pikir aku nggak tahu tadi siang kamu ngobrol sambil ketawa-tawa di pantry sama Jason. Dasar gadis nakal!” bisiknya tepat di samping telingaku sebelum bibirnya benar-benar menghisap leherku dan membuatku tidak berdaya. Sudah aku katakan berkali-kali bukan? Berduaan dengan si iblis memang sangat berbahaya. Herannya aku tidak bisa menghindarinya karena dia terlalu nakal dan banyak akal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN