BAB 15. Menginap Bag. 1

1530 Kata
Aku mengulum senyum geli melihat Wendy terpaksa mempersiapkan makan malam untuk kami berdua dengan wajah cemberut. Aku baru saja membuat lehernya merah-merah karena dia berani mengobrol mesra dengan Json di Pantry selama aku pergi. Bunyi piring di letakkan di meja dengan kesal lagi-lagi membuat aku tersenyum geli sambil memeriksa beberapa pekerjaan di tabletku. Gadis ini mulai menunjukkan perasaan cemburu yang tidak di akuinya itu melalui kalimat-kalimat ketus penuh sindirian yang dia lontarkan padaku karena aku terlalu lama berada di luar kantor. “Aku Cuma punya itu, makan! Terus keluar dari sini! Mau pulang ke rumah pacar kamu juga aku tidak peduli. Jangan harap aku akan memberimu makan lebih dari ini.” Ketusnya sambil memasukkan sebagian besar dari Sandwich yang dia buat ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan jengkel. Aku terkekeh geli. “Pelan-pelan makannya nanti keselek.” Ucapku yang di balas dengan lirikkan ketus olehnya dengan pipi menggembung penuh Sandwich. “Nggak usah ngomong sama aku yah kamu! Aku masih marah.” Balasnya menggemaskan. Gadis ini memang minta di hukum setiap hari kerjaanya. Kelakuannya di depanku kadang bisa sangat ajaib sekali. Membuatku gemas ingin menghukumnya lebih dari kejadian tadi. Menyenangkan sekali melihat lehernya memiliki tanda dariku lebih dari satu. Rencananya aku ingin membuat yang banyak di dadanya tapi tadi pundakku sudah lebih dulu di gigit olehnya. Tapi aku senang, karena bekas gigitannya memerah dan dengan bangga aku akan menunjukkan pada semua orang bahwa gadisku lah yang membuat tanda itu di sana. Sayangnya bukan di tempat yang bisa di lihat ketika aku memakai baju, jika di tempat yang lebih terbuka gigitannya akan semakin bagus karena aku bisa pamer pada para sahabat jombloku itu. “Aku Cuma mengingatkan loh. Mulut kamu kecil begitu tapi daya tampungnya segentong. Hampir setengah lebih loh itu yang masuk ke mulut kamu tadi.” “Aku bilang diem, kamu ngerti diem nggak? Udah bagus aku kasih makan. Masih aja nakal mulutnya. Minta banget di sumpel.” Ketusnya. “Boleh kalau di sumpel pakai bibir kamu.” Balasku membuat potongan Sandwich di tangannya nyaris melayang ke wajahku. Aku nyaris tertawa melihat ekspresi bodohnya ketika tangannya berhenti mengayunkan makanan di tangannya itu. Dahinya berkerut seperti berpikir dan setelah itu dia memasukannya kembali ke mulutnya dengan bahagia. Aku tentu saja tahu gadis nakalku ini sangat suka makan, baginya makanan adalah harta paling berharaga di dunia karena dia tidak akan rela melemparnya ke wajahku sekalipun dia kesal. Ini juga alasan kenapa dia mengambil tata boga di Paris maupun di Indonesia dulu. “Buruan abisin ih, makan segitu aja lama banget. Abis itu pulang! Aku nggak mau ketemu kamu dulu sementara.” Ucapnya sambil membereskan bekas makannya. Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang galak sekali itu. “Kesalahan aku sebenarnya apa sih sayang?” kekehku. “Nah itu! Itu dia kesalahan kamu! Sok-sokan manggil-manggil aku sayang, ganti-ganti nama kontak kamu di hp aku seenaknya, sok-sokan ngaku calon suami. Padahal seharian masih pacaran sama perempuan lain. Apa itu namanya kalau bukan Berandalan? Belum lagi ini!” dia menunjuk ke arah lehernya yang aku tandai. “Kamu pikir ini kalau di lihat Mom, Dad, Ayah kamu dan ibu kamu nggak akan jadi masalah hah? Bisa di percepat pernikahan kita padahal aku masih pengen main-main dulu.” Ujarnya lanjut mengomel. Aku tertawa, tidak bisa di tahan lagi. Gadisku menggemaskan sekali bukan. “Loh, emangnya kamu belum tahu kalau pernikahan kita udah di percepat jadi bulan depan gara-gara kamu kepergok ada di Apartemen aku?” ucapku membuatnya menganga tidak percaya. “Kaya gini kamu masih nanya di mana kesalahan kamu Regarta sialan?” Teriaknya kesal sambil berkacak pinggang. “Kamu bawa aku ke Apartemen kamu itu kesalahan, bikin tanda di leher aku juga salah, pokoknya kamu muncul di hadapan aku aja udah salah deh, nggak usah sebut yang gede-gede. Kesalahan kamu itu segunung. Lama-lama aku darah tinggi ngadepin kamu. Heran banget, kok ada mahkluk nyebelinnya kaya kamu ini. Terbuat dari apa partikel diri kamu itu.” Wendy mengomel dan aku terus mengunyah Sandwich buatannya yang selalu lezat demi menahan mulutku agar tidak tertawa. Bisa makin mengamuk jika aku mentertawakan omelannya yang menggemaskan itu. “Di omelin itu intropeksi, bukan senyum-senyum!” ketusnya lagi. Setelah itu dia mencuci piring dan mengambil piring di hadapanku dengan ketus lalu mulai membuat paduan suara di wastafel yang lagi-lagi membuat aku mati-matian menahan ketawa. Apalagi sepanjang mencuci piring dia terus menggerutu. Aku segera beranjak setelah menghabiskan makananku, menghampiri tasku dan masuk ke kamar mandi. Aku berencana menginap hari ini, boleh ataupun tidak aku akan tetap bertahan di Unit ini dengan sekuat tenaga. Karena itu aku tadi sempat membeli baju ganti di jalan. Dia sudah berkacak pinggang di depan pintu kamar mandi ketika aku keluar dari sana sudah rapih menggunakan baju santaiku. “Ngapain ganti baju di sini? Kan aku bilang pulang!” ketusnya. “Aku mau menginap malam ini, kunci Apartemen aku ketinggalan di rumah dan aku malas pulang ke rumah soalnya jauh.” Jawabku sambil tersenyum manis. “Siapa yang ijinin kamu menginap? Jangan karena pernah menginap lantas kamu boleh menginap seenaknya yah! Waktu itu kamu sakit jadi aku yang masih berperikemanusiaan ini mengijinkan kamu menginap semalam. Tapi sekarang Big No! pulang!” usirnya dengan kesal. Tapi aku tidak peduli, hanya tersenyum ke arahnya kemudian berjalan melewatinya dan merebahkan diri di kasurnya yang lembut. Spreinya sudah di ganti dengan gambar beruang kesukaanya dan wangi sekali. Aku suka sekali karena terasa nyaman. “Pulang! Regarta pulang ihh!” ucapnya sambil menarik-narik tanganku tapi aku tidak peduli. “Jangan berisik sayang, aku capek banget hari ini.” Gumamku sambil memejamkan mata. “Capek abis jalan-jalan sama pacar iya? Itu bukan urusan aku. Pokoknya kamu pu Aaahhhhh Regarta!” aku menghentikan omelannya dengan menariknya ke ranjang dan memeluknya erat. “Regarta lepasin! Lepasin aku bilang!” Wendy sedang memberontak sambil memukul-mukul punggungku hingga aku tidak tahan dan mengaduh baru dia berhenti. “Sakit yah?” tanyanya panik. Sebenarnya tadi aku sempat terlibat perkelahian dengan orang-orang suruhan salah satu Manager di perusahaan Nenek Marina yang tadi pagi aku beri surat peringatan untuk segera memberikan surat Resign dalam waktu dua hari. Punggungku di pukul menggunakan balok saat aku dalam keadaan tidak siap. Aku rasa punggungku memar sekarang karena terkena pukulan Wendy tadi sakit sekali. “Sakit banget mas? Jangan bikin aku takut ih!” ucap Wendy panik. Aku bangun dan membuka kausku di depannya kemudian menunjukkan punggungku padanya. “Salep yang waktu itu buat kaki bengkak kamu masih ada kan? Tolong olesin ke yang merah.” Ucapku pelan tapi Wendy tiba-tiba hening. Dan ketika aku menoleh air matanya mulai berjatuhan. “Gara-gara aku yah jadi kaya gitu?” tanyanya mulai terisak. Aku terkekeh kemudian memeluknya sambil menciumi pipinya gemas. “Kamu udah dengar soal pemecatan beberapa karyawan di kantor kan? Nah tadi pas pulang dari ketemu Sarah, aku di serang oleh beberapa orang. Punggung aku di pukul pakai balok pas aku lagi nggak siap makanya kaya gitu. Aku sempet kejar-kejaran sama mereka dan kehilangan jejak mereka karena buru-buru mau jemput kamu ke kantor. Tapi kamu malah udah pulang.” Ucapku menjelaskan. Wendy masih terisak sambil memeluk leherku erat. “Maaf karena kamu harus mengalami ini buat nolongin usaha nenek.” Isaknya tersengat semakin sesak. Setelah itu dia menangis tersedu-sedu sambil mengusap-usap punggungku. Baru berhenti setelah beberapa menit dan beranjak mengambil salep itu. Kembali terisak saat tangannya mulai terasa mengoleskan obat itu di lukaku yang terasa lumayan sakit itu. “Aku nggak papa sayang, udah ong jangan nangis terus. Jelek!” bisikku kemudian menarik tangannya untuk duduk di hadapanku. Aku menghapus air matanya dan merapihkan rambutnya. Setelah itu aku mengambil tisu dan membersihkan tangannya yang tadi sudah memegang salep. “Udah yah jangan nangis, nanti beberapa hari juga sembuh kok. Kamu nggak usah bicara apapun sama nenek kamu soal ini yah. Aku udah diskusi sama nenek kamu soal mereka dan pemecatan mereka juga atas persetujuan beliau, tapi soal aku terluka kamu jangan bicara apapun. Takutnya nenek Marina malah khawatir.” Wendy mengangguk tapi air matanya kembali jatuh. Mungkin lukanya cukup lebar sehingga gadis nakalku sesedih ini. Aku kembali menghaps air matanya kemudian membawanya untuk merebahkan diri sambil aku peluk erat. “Tadi hebat banget loh cara kamu ngadepin Wartawan. Aku bangga banget.” Bisikku lalu mengecup keningnya dengan mesra. Dia masih menangis karena itu aku mengecupi seluruh bagian wajahnya. “Hebat banget loh Wendynya aku sekarang udah seberani itu, aku nggak perlu khawatir lagi.” Ucapku lagi. “Aku kan udah bilang jangan terluka lagi, ngeyel banget jadi orang.” Ucapnya masih dengan suara habis menangis. Setelah itu Wendy membenamkan wajahnya di dadaku dan memeluk tubuhku dengan erat. “Kenapa emang kamu aku luka? Kamu khawatir hmm?” tanyaku kemudian mengecup lehernya. Jujur saja memeluknya dalam keadaan aku belum memakai baju menciptakan suasana memanas yang berbahaya. “Huum, aku khawatir.” Cicitnya pelan sekali. Dadaku tiba-tiba saja bergejolak mndengar suara lirihnya yang entah kenapa terdengar begitu seksi itu. “Katakan sekali lagi sayang, kamu khawatir sama aku hmm?” tanyaku. Mungkin sekarang suaraku sudah terdengar serak. “Iya.” “Iya apa?” “Aku khawatir sama kamu, jadi jangan terluka lagi.” Dia berbisik dan pertahananku jebol sudah. Aku menariknya dari pelukanku, kemudian mengunci tangannya di atas kepala dan mendaratkan ciuman panasku di bibirnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN