Keras Kepala

1228 Kata
“Hem...” Farel berdeham pelan. “Biar saya saja yang berdiri. Kamu duduk saja di kursi ini.” “Eh, gak usah pak. Saya berdiri aja gak masalah, kok.” Sania memberi gerakan agar Farel tidak bergerak. “Iya udah...” Farel bersikeras. “Bapak mau telepon siapa? “ “Ha? “ kepala Farel menoleh sedikit, merespon pertanyaan Sania. Tapi pandangan mata Sania tetap fokus pada ponsel yang ada di tangan Farel. “Bapak lupa kasih kabar ke orang rumah ya?” Farel berdeham pelan sebelum menjawab secara singkat. “Iya.” “Saya ganggu bapak gak sih? “tanya Sania tiba-tiba. Air muka Sania terlihat kurang nyaman membuat Farel kembali berdeham, kali ini berdeham agar kecanggungan yang tiba-tiba datang bisa sedikit sirna. “Maksud kamu? “ “Hem.... bapak gak masalah pergi sama saya? “ Farel memutar kepalanya melihat sekilas ke arah Sania. “Masalah apa? “ Sania malah tersenyum kecil. “Pak... Kita masih lamakah, sampai pasar malam?” “Hem, lima halte lagi.” Sania menghela nafas panjang, “Masih lama ya ternyata pak.” “Kenapa? Gak sanggup berdiri lagi? “ Sania nyengir. “Iya nih pak. Ternyata saya gak se-strong harapan saya.” Farel bangkit. “Udah duduk di sana.” “Makasih ya pak.” “Iya.” “Pak...” “Hem? “ “Pak, kayaknya saya tadi kebanyakan makan deh, jadinya ngantuk banget.” “Ya udah tidur. Entar saya bangunin kalo sampai.” “Gak ngerepotin pak? Soalnya saya kalo tidur susah bangun.” “Kalo gitu jangan tidur.” “Tapi ngantuk pak.” Farel menghela nafas, lelah. “Bapak harus ngajak saya ngobrol biar saya gak ngantuk.” “Ngobrol apa? “ “Apa aja. Tentang kucing kek, makanan favorit, tempat favorit atau apa gitu pak,” kata Sania. “Biar saya yang mulai duluan...” “Bapak tahu gak, saya suka banget brownis.” Farel menoleh kecil. “Saya juga suka dulu.” “Dulu? Emang sekarang kenapa gak suka? “ *** “Ngobrol apa? “ “Apa aja. Tentang kucing kek, makanan favorit, tempat favorit atau apa gitu pak,” kata Sania. “Biar saya yang mulai duluan...” “Bapak tahu gak, saya suka banget brownis.” Farel menoleh kecil. “Saya juga suka dulu.” “Dulu? Emang sekarang kenapa gak suka? “ “Ceritanya panjang.” “Ya udah kalo gitu cerita pak.” Farel membuang nafas pelan. Pikiran Farel melayang, mengenai masa lalunya. “Ayo dong pak... Nanti kalo gak ngobrol saya ngantuk,” desak Sania. “Pak...” “Kamu tidur aja.” Suara Farel terdengar sangat dingin. “Pak, tapi...” “Tidur aja.” Sania terdiam. “Pak...,” panggil Sania, pelan. Farel melirik kecil. “Pak emang ceritanya menyakitkan ya? Kenapa mata bapak berkaca-kaca? “ “Ha? “Farel refleks menyentuh matanya. “Mungkin kelilipan.” “Tapi kelili—“ “Lebih baik kamu tidur! “ sentak Farel pelan, namun penuh penekanan. “Hem...” Sania berdeham pelan. Sedikit kaget. Farel membuang wajah. “Pak... Maaf.” . . “Sania, bangun...” “Sania...” “Kita sudah sampai.” “Sania...” “Ya ampun, dia beneran susah dibangunin.” Farel menghela nafas panjang. Sebentar lagi busway akan jalan lagi. “Kenapa mas? Pacarnya susah bangun ya?” Seorang wanita paru baya merasa iba melihat wajah bingung Farel. “Iya Bu, bisa tolong banguni dia gak? “ jawab Farel. “Biar, saya bangunin.” Ibu itu beranjak mendekati Sania. “Nak... bangun...” Wanita itu menepuk pelan pipi Sania. Tapi tidak ada respon dari Sania. “Wajahnya dingin banget. Dia sakit kah? “tanya wanita paru baya itu. Farel bingung. “Dia juga gak respon...tapi nafasnya teratur.” Wanita itu menghela nafas lega, setelah mengecek nafas dari hidung Sania. “Dia punya riwayat sakit apa, mas? “ Farel menggeleng tidak tahu. “Saudara saya juga ada yang gini, dan besoknya di koma.” “Astagfirullah.” “Wajah dingin gini...” Wanita Paru baya itu menggeleng dramatis. “Dia tadi bilang, kalo dia memang susah bangun kalo ketiduran,” kata Farel, mulai cemas. “Oh.....” Wanita paru baya itu mengangguk pelan, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Semoga cara ini berhasil ya, mas...” wanita paru baya itu mengeluarkan air mineral yang masih tersegel, lalu membukanya dan mencipratkan sedikit airnya ke wajah Sania. “Ya Allah, hujan! “ sentak Sania, tiba-tiba. Semua orang yang sejak tadi memperhatikan semua ini, sontak kompak menghela nafas lega. Wajah Farel yang semula tegang sedikit mengendur lega. “Pak, hujan! “ kata Sania masih panik sendiri. “Syukurlah, pacarannya gak kenapa-napa mas. Alhamdulillah.” Wanita para baya itu tersenyum pada Sania. Sania masih tidak mengerti situasi yang dihadapi. “Iya, terimakasih bu atas bantuannya.” “Iya, mas. Sama-sama.” “Pak kita udah sampai ya? “tanya Sania, celingak-celinguk ke arah luar jendela bus way. “Iya kita udah sampai. Ayo turun.” “Eh, iya, pak.” Sania langsung mengekor di belakang Farel. “Nanti pas pulang, kalo kamu ngantuk jangan tidur lagi ya,” ultimatum Farel. “Hem... “ Sania spontan menggigit kecil bibir bawahnya menyadari hal apa yang terjadi di bus way. “Saya gak mau cemas kayak tadi. Saya pikir kamu kenapa... saya benar-benar panik tadi.” “Hem, maaf ya pak.” “Kamu gak konsumsi obat kan? “ “Eh? Emang anak polos kayak saya ini konsumsi obat gitu, pak?” Sania nampak tersinggung. “Bukan, maksud saya obat tidur.” “Hem, gak sih pak. Tapi saya emang suka kebiasaan susah bangun pas tidur, apa lagi.. kalo gak enak badan.” Farel tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Kenapa, Pak? Pasar malamnya masih jalan dikit lagi ke sana.” “Kenapa kamu mau ke pasar malam kalo kamu gak enak badan ?” tanya Farel, tajam. “Eh...hem..” “Lebih baik kita pulang sekarang. Kamu seharusnya ke dokter kalo sakit, bukan ke pasar malam.” Farel hendak memutar langkahnya. Sania langsung menghadang langkah Farel dengan jarak aman. “Pak, bapak udah janji mau ajak saya ke pasar malam. Masak pulang sih.” “Kamu bilang lagi sakit. Adalah orang sakit ke pasar malam? “ “Ada. Saya contohnya.” “Udah mending kita pulang. Saya gak mau terjadi apa-apa sama kamu di sana.” “Gak mau! “ “Kamu harus dengerin saya. Jangan lupa saya dosen kamu.” Sania melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sebenarnya hanya sekedar formalitas untuk mendukung argumennya. “Dari jam delapan sampai siang, bapak dosen saya. Tapi kalo malam, bapak bukan dosen saya. Pokoknya saya mau ke pasar malam, titik gak pake koma.” “Keras kepala.” “Biarin. Bapak harus tepatin janji.” “Kalo terjadi apa-apa gimana? Kejadian tadi aja masih buat saya panik. Kamu mau buat saya kena serangan jantung karena panik?! “ Sania refleks terkekeh. “Lebat nih bapak.” “Kalo kamu di posisi saya, kamu juga pasti panik. Mungkin udah nangis juga. “ “Ah masa.... bapak aja yang panikan. Takut kehilangan saya kan... Eakkkk.... “ “Udah sekarang kita pulang.” “Pak, mau ke pasar malam.” Sania mengukuhkan tubuhnya. “Saya akan tetap ke sana, meski....tanpa bapak.” Sania melanjutkan langkahnya. “Kalo sakit itu istirahat biar cepat sembuh.” “Saya udah temenan sama sakit pak, dia udah ngerti saya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN