“Pak, mau ke pasar malam.” Sania mengukuhkan tubuhnya. “Saya akan tetap ke sana, meski....tanpa bapak.” Sania melanjutkan langkahnya.
“Kalo sakit itu istirahat biar cepat sembuh.”
“Saya udah temenan sama sakit pak, dia udah ngerti saya.”
“Jangan bercanda Sania. Saya serius.”
“Saya serius, Pak.” Sania menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya kembali menghadap Farel yang masih di belakangnya.
“Sakit udah lama temanan sama saya. Malah dia teman setia yang selalu ada. Saya kadang nyuruh dia pergi tapi dia gak mau. Dia gak mau tinggalin saya sendiri.” Sania tersenyum gentir.
Farel tidak tahu apa maksud Sania, ini leluconnya atau apa? Tapi nada suara gadis itu terdengar sangat pilu, tidak seperti Sania biasanya yang selalu ceria dan penuh semangat.
“Pak, jadi sekarang saya mau ke pasar malam. Bapak mau kan temenin saya? “ suara Sania penuh harapan.
Hati Farel terasa aneh, ada denyut nyeri yang membuat Farel seolah mampu merasakan apa yang Sania rasakan. Apakah mereka memiliki nasib yang sama?
“Saya bisa mengatasi sakit saya, Pak. Insyallah saya janji gak akan buat bapak panik lagi,” kata Sania bersungguh-sungguh. “Saya gak akan ketiduran lagi dan bakal istirahat kalo capek.”
“Kamu keras kepala banget.”
“Pak....”
“Baiklah. Oke. Dengan syarat yang kamu bilang ya.”
“Ye!!!” Sania spontan bersorak. “Syarat dan ketentuan bakal saya turutin, Pak.”
“Saya jalan duluan. “
“Monggo, silahkan, Pak...” Sania memberi akses Farel untuk jalan di depannya. Senyum mengembang lebar di wajahnya.
“Pak... Bapak sering gak ke pasar malam, kek gini?”
“Iya sering dulu.”
“Dulu terus pak... Emang sekarang-sekarang kenapa? Bapak gak bahagia ya sekarang? “
Farel spontan menoleh. “Kenapa kamu asal tarik kesimpulan gitu? Saya jarang pergi bukan berarti gak bahagia.”
“Hehehe...habisnya setiap ngomongi hal bahagia, bapak selalu bilang ‘dulu'. Seolah dulu hidup bapak penuh warna gak kayak sekarang yang cuman hitam putih.”
Farel memilih tidak menanggapi perkataan Sania.
Sania juga teralihkan perhatiannya pada pasar malam, keduanya sudah sampai di lapangan luas yang biasanya setiap sebulan sekali di adakan pasar malam. Layaknya pasar malam, setiap sudut di penuhi lampu warna warni yang menarik perhatian mata, semua orang yang datang ke sana nampak bahagia. Suasana juga ramai teratur.
Sania tidak mampu menahan langkahnya untuk berlari-lari kecil ke arah penjual kembang gula.
“Pak....kembang gula,” katanya persis anak kecil yang sedang membujuk untuk dibelikan.
“Pak, kembang gulanya satu.”
“Eh bapak gak beli juga? Atau uang bapak habis ya?” tanya Sania.
“Saya tidak terlalu suka kembang gula.”
“Lohhh...kenapa? Kok ada manusia yang gak suka makanan semanis itu....” ujar Sania heboh sendiri, seolah fakta tidak suka kembang gula tidak pernah terjadi pada spesies lain selain Farel.
“Ya ada lah....gak semua orang satu selera kan.”
“Hem... iya sih pak... emang bapak gak suka kembang gula kenapa? “
“Gak kenapa-napa. Saya hanya gak suka aja.”
“Jadi belum pernah coba? “
“Belum.”
“Ckckkcck...parah banget. Masa gak suka padahal belum pernah coba. Pokoknya malam ini bapak harus coba.” Sania bertekad.
Setelah menunggu lima menit, akhirnya Sania mendapatkan makanan kesukaannya itu. Farel menyuruh Sania untuk duduk di kursi, tidak baik makan berdiri.
“Hem, masyallah, enak banget, Pak. Yakin gak mau coba? “
Farel menggeleng pelan.
“Ayo dong coba pak...” Sania mencubit kembang gula sedikit dan menyodorkannya tepat di depan mulut Farel. Sania melakukan itu dengan sedikit menjijit, karena tingginya yang jelas tidak sebanding dengan tinggi Farel.
Farel spontan memalingkan wajahnya.
“Pak, coba dulu, setelah coba bapak bisa putusin buat suka atau gak. Itu baru adil.”
“Saya gak mau.”
“Ahk.... coba dikit, Pak.” Tangan Sania masih setia bertengger di hadapan Farel.
“Kamu makan aja sendiri.”
“Pak....” Kaki Sania mulai lelah menjijit.
“Saya gak mau Sania.”
“Dikit doang, apa masalahnya pak? “ Sania terus memaksa.
Farel menjauhkan dirinya dari Sania. Sania dengan lincah langsung mengikuti Farel yang kini membelakanginya.
“Pak, ayo dong... ini rasanya manis, gak perlu takut.”
“Saya gak takut, saya cuman gak ma—“
“Yap...” Sania dengan cepat memasukam kembang gula ke dalam mulut Farel. “Jangan di lepeh pak, gak boleh loh... itukan makanan. Kunyah pelan dan telen.”
Farel tidak punya pilihan selain melakukan apa yamg Sania katakan. Rasa manis yang menyeruak membuat Farel sedikit bergidik.
“Gimana pak? Enakan Pak? “
“Enak. Gak terlalu buruk.”
“Tuhkan.... ayo makan lagi pak.”
“Gak. Saya bilang enak, tapi bukan berarti saya suka.”
“Emang beda pak? “
“Beda.”
“Ya udah, fine....” Sania mulai sibuk dengan kembang gulanya, sesekali senyum mengembang di wajah Sania, berkat rasa manis yang menggelitik indra pengecapnya.
“Pak liat ada yang jual balon.”
Dahi Farel berkerut. “Terus kenapa? “
“Lucu ya pak.”
“Kamu mau beli balon? “
Pertanyaan yang sebenarnya Farel ajukan bukan dengan niat di jawab, nyatanya pertanyaan itu diajukan sebagai bentuk sindiran, gak mungkin wanita dewasa mau beli balon kan? Buat apa
“Iya, Pak. Cute gitu kalo kita keliling pasar malam bawa balon.”
“Cute? “ Farel bingung, di mana letak cutenya ? Bukannya malah terlihat aneh ya ?
“Iya pak, kayak di drama Korea gitu. Vibesnya tuh, kayak bahagia banget. Bapak tunggu sini ya, biar saya yang beli balonnya.” Sania berlari-lari kecil, Farel memperhatikan dari jauh.
Sania mengingatkan Farel pada bocah laki-laki yang dulu juga seperti itu. Bocah laki-laki itu sekarang tidak seceria itu lagi, bukan karena faktor usia, tapi karena beban masa lalu yang terus mengisi setiap langkahnya.
Tanpa sadar Farel tertawa pelan, merasa konyol dengan keinginan Sania yang mengaitkan kebahagiaan dengan balon. Gadis itu sudah memegang dua balon warna pink di tangannya.
Bruk!
Sania ceroboh. Dia tidak memperhatikan langkahnya sampai-sampai menabrak pasangan mudi yang sedang memegang es cream. Es cream itu kini bertengger di gamis Sania.
“Yah...baju saya kotor pak kena es cream.” Lapor Sania begitu sampai, padahal tanpa diberi tahu pun, Farel sudah tahu.
“Saya mau ke toilet bentar deh pak, bersihin ini,” kata Sania lagi. “Bapak tunggu sini aja, pegangi balonnya ya. Biar saya ke sana sendiri.”
Farel menunggu Sania dengan satu tangan memegangi tali balon. Farel memperhatikan sekitar yang ramai tapi kondusif, rata-rata yang datang muda-mudi pasangan atau sendirian bersama teman, lalu tidak jarang keluarga kecil yang ingin menyenangkan buah hati mereka.
Farel teringat istrinya itu. Farel langsung meraih ponselnya, mengirim pesan pada Khiya. Isi pesan yang intinya tidak perlu menunggunya. Hanya itu saja. Farel tidak tahu, bagaimana bisa ia selalu merasa asing dengan teman hidupnya sendiri? Tembok itu terlalu menjulang di antara mereka.
.
.