Dulu dan sekarang

1062 Kata
“Tidak masalah, insyallah, Allah yang akan melindungi saya. Selain itu saya juga punya penjaga. Dia selalu jadi pelantara menolong saya. Dia sangat baik.” “Siapa pak? “ “Kamu.” Khiya membeku. Jam rasanya seperti berhenti berdetak. Khiya seolah bisa melihat gerak lambat semua orang di sekitarnya dan senyum Farel yang lama menghilang dari pandangannya. “Terima kasih ya,” kata Farel. “Sania.” ‘SANIA! ‘ Khiya tersentak dari lamunannya. Yap. Farel tentunya melihat dia sebagai Sania sekarang, secara penampilannya sedang menjadi Sania. Ada rasa sedih yang masuk sangat pelan ke hati Khiya, tidak nampak tapi rasanya amat nelangsa. Khiya tidak suka Farel mengatakan itu untuk Sania. Dia tidak suka! “Terima kasih doang? “ Khiya mencoba menepis perasaan tidak nyaman dihatinya. “Gak worth it banget.” Ekspresi wajah Farel nampak bingung. “Ya.... Selain kata terima kasih, harus ada yang lain. Misalnya ajak penjaga ini, buat menghilangkan suntuknya gitu. “ “Maksud kamu? “ “Hem, di dekat sini, ada pasar malam, Pak...” “Terus? “ “Penjaga mau ke sana. Mau menyenakan otak yang rasanya ngebul karena tugas kuliah.” “Mau ke sana? Tapi inikan masih sore? “ “Emang jam berapa? “ “Jam 5.” “Dikit lagi dong. Tunggu aja.” “Tunggu? “ Farel seperti mencari makna baru dari kan tunggu. Jelas jam baru menunjukan pukul lima sedangkan pasar malam dimulai pukul 8 malam. Itu sangat lama. “Kita tunggu di masjid aja. Bapak bisa tadarusan di sana. Saya juga capek berdiri di sini.” “Kenapa kamu gak pulang dulu aja? “ “Gak ah males.” Karena kamu ada di sini. Di mana pun suamu berada itulah rumah istri— batin Khiya. “Kalo bapak mau pulang dulu, ya silakan...” “Dan kamu? “ “Saya... Saya bisa tunggu bapak di teras masjid.” “Sendirian? “ “Hem iya. Lagian saya juga lagi gak salat. Makanya saya males pulang.” “Hem, ya sudah kalo gitu.” “Bapak mau pulang? “ Farel menggeleng pelan. “Saya gak tega, ninggalin kamu sendiri.” “Mau nemenin saya? “ “Ya.” “Serius pak? “ “Iya.” “Serius mau jadi nemeni saya, pak? “ “IYA, Sania.” “Kalo jadi teman hidup saya mau pak? “ “Saya pulang....” “Eh, kok ngambek sih....” “Saya sudah sering bilang kalo saya gak suka kamu mengatakan hal-hal seperti itu.” Khiya buru-buru mengejar langkah Farel. “Iya, iya pak. Pak, jangan ngambek doang. Pak, tunggu dulu. Pak jalannya jangan cepat-cepat....” “Pak....” “Eh.....” Khiya hampir terserempet motor. “Astagfirullah!” “Astagfirullah !!” Farel langsung memutar langkahnya, menghampiri Khiya. “Kamu gak kenapa-napa? “ Khiya masih mode kaget. Tangan gadis itu spontan memegangi lengan tangannya yang sempat terkena. “Makanya jalan tuh liat-liat, jangan asal gitu. Apalagi di pinggir jalan gini. Kamu gak kenapa-napakan?” Khiya melihat sedikit lengan bajunya yang terasa aneh. Dan matanya seketika melotot. “Ada apa? “ tanya Farel bingung. “Pak...” lirih Khiya. “Bawa jaket gak pak? “ Farel menggeleng. Wajah tegang Khiya berubah menjadi wajah sedih, nestapa. “Serius pak? “ “Pak....” “Iya, serius. Saya jarang pake jaket.” “Yah.... terus gimana dong....”kata Khiya panik. “Lengan baju saya agak robek, mungkin karena kesenggol tadi, nyangkut gitu.” Farel ikut kaget. “Ya udah kamu pulang ke rumah aja dulu.” “Masa saya sepanjang pulang gini sih, pak? “Khiya merengek pelan. “Terus mau gimana? “ “Hwhwhwhhwwh.....otak saya gak bisa mikir, pak.” “Ya udah, kita ke sana aja. Kalo gak salah ada toko baju.” “Tapi pak, saya gak bawa uang lebih buat beli baju,” kata Khiya, jujur. “Ada saya. Kamu gak perlu khawatir.” Perasaan apa ini? Rasanya aneh. Terasa macam api, membara dihati, tidak nyaman, tapi terasa sangat hangat. Khiya tersenyum lebar. “Pak, pengen punya anak gak? “ Alis Farel naik. “Adopsi saya jadi anak bapak...gak papa gak bisa jadi istri, jadi anak angkat juga gak masalah,” ucap Khiya, ngawur. Efek butterfly dihatinya. Khiya butuh obat pereda cinta. ** Tepat pukul tujuh, keduanya keluar dari masjid. Farel menitipkan mobilnya pada marbot masjid. Mereka ingin ke pasar malam menggunakan busway. Farel selalu suka suasana malam di jalan raya. Kerap-kerlip lampu jalan dan lampu yang menerangi langit malam terasa bak lukisan indah yang memanjakan mata. Selain itu, Farel sangat suka suasana malam karena malam seolah mengisi kehangatan dihatinya dengan suasana dingin malam yang khas. “Suka suasana malam juga ya, Pak? “ Farel melirik Sania. Gadis itu juga nampak menikmati suasana malam dan angin yang menerpa lembut gamis kebesaran yang mereka beli tadi sore. “Iya saya suka.” “Kenapa, Pak? “ Farel mengangkat bahunya. “Entahlah, sulit dijabarkan.” “Kita sama pak.” Sania menatap lurus jalan. “Saya suka suasana malam, tapi saya gak suka bulan.” “Kenapa? Bulan ciptaan Allah. Kenapa kamu gak suka? Bulan juga indah, banyak penyair yang menjelaskan keindahan bulan.” “Saya lebih suka matahari pak. Meski saya gak bisa liat dia lama-lama, tapi matahari bersinar dengan cahayanya sendiri. Itu yang gak bulan punya.” Farel tersenyum, jelas dia tahu bahwa bulan memang benda langit yang tidak memiliki cahaya. Tapi dia tidak berpikir bahwa gadis di belakangnya itu berpikir sampai ke sana. “Aneh ya pak? Saya suka banget mikir hal-hal yang gak penting.” “Gak aneh kok.” “Serius pak? “ “Iya.” “Huft lega...setidaknya saya gak aneh di mata bapak.” “Kamu pergi ke pasar malam udah izin sama orang tua kan? “ tanya Farel. “Andai saya bisa izin pak..” “Maksud kamu? “ “Hem, itu, pak... Iya, nanti saya izin sama orang rumah. Kira-kira kita pulang jam berapa ya pak? “ “Hem, jam sembilan kita harus sudah pulang.” “Ha? Jam sembilan.... Tapi pasar malamnya aja mulai jam delapan pak.” “Titik gak pak koma. Kalo kamu gak mau mending sekalian kita gak usah ke sana. Kamu pergi ke pasar malam sama saya, saya yang bertanggung jawab atas kamu sekarang. Terlalu pulang larut malam itu gak baik, kamu ngertikan maksud saya? “ Sania cemberut tapi dia tetap mengangguk pelan. “Ya udah deh, gak pa-pa pak... Sejam juga buat makan kapas gula dan es cream.” Keduanya sampai di halte. Dua menit menunggu, busway datang. “Wah lumayan ramai ya, Pak. Untung kita dapat tempat duduk,” kata Sania menoleh ke belakang. Farel duduk di kursi belakang. Farel kembali menikmati pemandangan malam dari kaca bus way, ia terlalu sibuk hingga rasanya sudah lama tidak menikmati semua ini, lebih tepatnya setelah ia menikah, seketika nama Khiya terlintas di benaknya. “Astagfirullah, aku lupa kabarin dia.” Ada perasaan bersalah masuk ke dalam hati Farel. Bagaimana bisa ia melupakan Khiya, entah apa yang sekarang istrinya itu lakukan. Apakah dia sekarang tengah menunggu Farel di meja makan? Farel merasa bersalah karena kecerobohannya ini. Farel merogoh sakunya. Bertepatan dengan itu, Farel melihat Sania bangkit dari kursinya. Gadis itu menggeser tubuhnya dan membiarkan seorang wanita tua untuk duduk di kursinya. Senyum mengembang lembut di wajah gadis itu, sangat ramah. “Pak...” panggil Sania, membuyarkan pemikiran Farel. “Kenapa bengong pak? Bapak keliatan cemas. Ada masalahkah?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN