“Sania mana sih... Lama banget.” Farel melirik jam di ponselnya. Ia memilih untuk menunggu lagi.
“Ngatri panjang banget. Malas deh, gak jadi deh...” Farel menoleh, ada seorang gadis menggunakan setelan switer rajut berwarna merah yang dipadu padankan dengan gamis yang tidak lagi nampak seperti gamis berkat bantuan switer itu.
Farel tersenyum kecil.
“Balonnya...?” Gadis itu tiba-tiba mengambil tali balon dari tangan Farel. “Satu buat saya, satu buat bapak.”
“Di sana ada kedai es cream, ke sana yuk....”
“Kok malah bengong pak? “
“Ayo ke sana....”
“Pak....”
“Ayo ke sana...”
“Maaf, saya sedang menunggu seseorang.”
“Ha? Bapak nunggin siapa? “
“Saya datang ke sini bersama salah satu mahasiswa saya.”
“Maksud bapak, Sania? “
“Kamu kenal sama Sania? Kalian satu angkatan ya?”
“Ha? Jelas iya pak... Maksudnya tuh—“
“Senang bertemu kamu di sini.” Farel tersenyum kecil, senyum yang sebenarnya sedikit canggung. “Oh iya, balon itu milik Sania. Kamu bisa beli balon lain di sana...” Farel menunjuk ke arah penjual balon.
Farel mengambil kembali balon itu.
“Pak....”
“Iya? “
“Saya Sania.”
Farel terdiam. Tanyanya refleks melepaskan tali balon, membuat balon itu terbang bebas di langit.
“Sa-Sania. Kamu ? Sweter ?” Farel menarik pelan senyum terbit di wajah tegangnya. “Ayo kita ke kedai es cream.”
“Pak tunggu dulu.” Sania menahan langkah Farel. “Soal tadi.... bapak bercandakan, gak kenal saya? “
Farel tertegun.
“Pak...”
“Tapi tadi gak kelihatan kalo bapak lagi bercanda.” Sania masih menunggu Farel yang membisu. “Tadi bapak beneran gak kenal saya....”
“Pak, sebenarnya apa yang terjadi... kejadian kayak gini bukan cuman sekali, bapak juga pernah kayak gini pas di rumah sakit.”
“Ada yang bapak sembunyikan.” Sania memperhatikan sekilas wajah Farel yang sekarang entah kenapa tertunduk. “Pak...”
“Pak, mungkin saya gak bisa bantu apa-apa. Tapi setidaknya saya bisa jadi pendengar yang baik. Bapak bisa sedikit cerita, barangkali bapak akan merasa lebih baik.”
“Saya mengidap penyakit prosopagnosia, penyakit di mana saya tidak bisa mengidentifikasi wajah. Saya tidak ingat dan tidak tahu wajah orang lain. Saya biasanya mengenali seseorang melalui suara dan gaya berpakaiannya. “
Mata Sania membuat sempurna. “Jadi selama ini bapak gak pernah liat wajah saya? “
Farel mengangguk pelan. “Dan yang lain,” tambahnya.
“Ya Allah...” Sania terduduk di kursi panjang. “Ternyata ini jawabannya,” gumam Sania pelan.
“Makanya tadi, saat penampilan kamu berubah, saya pikir itu bukan kamu.”
“Sejak kapan bapak mengalami ini? “
Farel menghela nafas panjang, “Semua itu terjadi karena kecelakaan yang pernah terjadi di masa lalu saya. Cidera di otak saya, membuat penyakit itu hadir.”
“Dan waktu itu bapak ke dokter karena penyakit ini?”
“Iya.”
“Apa penyakit ini gak bisa sembuh, Pak? “
Farel membuang nafas kasar. “Entahlah.”
Sania tersadar bahwa rasa ingin tahunya malah membuat Farel nampak sedih, segera Sania mengubah tone suaranya dan topik pembicaraan.
“Pak, saya beneran pengen es cream, ke sana yuk...”
Farel mengangguk setuju.
“Kalo es cream, bapak suka kan? “
“Iya.”
“Good....Saya gak merasa alone lagi kalo gitu, kayak tadi. Gak enak makan sendirian.”
“Bapak suka es cream apa? “
“Hem, cokelat.”
“Sama.” Sania tersenyum bahagia. “Pak, es cream cokelatnya dua ya.”
“Pak kenapa suka es cream cokelat ? Jangan bilang bapak penggemar cokelat maniak ya? “
“Gak. Hanya suka aja. Lagian semua yang berlebihan itu gak baik. Termasuk suka cokelat,” kata Farel, pelan.
Sania tersenyum gentir, maksud hatinya ingin mengalihkan perhatian Farel pada kesedihan tadi, tapi ternyata dosennya itu tetap saja masih nampak sedih.
“Neng, ini es creamnya.”
“Makasih pak.”
Sania beralih pada Farel yang sudah duduk di kursi panjang.
“Pak, ini es creamnya.”
“Terima kasih.”
Sania duduk di ujung kursi.
“Pak, jangan murung doang. Masa makan es cream ekspresi flat gitu. Harus ceria dong pak, itu tata tertib makan es cream.”
“Tata tertib? Sejak kapan makan es cream ada tata tertibnya?”
“Sejak bapak sedih. Saya selaku duta es cream membuat tata tertib itu.”
“Duta es cream... “ Farel spontan terkekeh.
“Iya pak, saya mengangkat diri saya sendiri.” Sania tersenyum lebar. Ia senang melihat Farel tidak murung lagi.
“Pak, berani gak masuk rumah kaca? Di sini ada rumah kaca loh pak... “
“Emang, kenapa harus takut?”
“Yah mungkin aja....” Khiya tersenyum. “Bapak sering main di rumah kaca? “
“Iya sering.”
“Dulu? Iyakan? “
Farel mengangguk.
“Berapa rekor bapak? “
“Rekor keluar rumah kaca? “
“Iya.”
“Hem, terakhir saya main, waktunya lima menit.”
“Serius pak? “ mata Sania membulat sempurna. “Kalo gitu, kita harus masuk ke sana. Kita harus buat lomba. Siapa yang keluar itu pemenangnya.”
“Baik. Biar saya beli tiketnya, kau tunggu di sini aja.”
“Asiiiappppp...buruan ya pak, bapak harus liat pemenang baru.”
.
.
“Siap, Pak? “
Farel mengangguk kecil.
“Saya masuk dari pintu kanan, bapak pintu kiri.” Khiya menoleh pada Farel.
Farel nampak tersenyum kecil, seperti membayangkan sesuatu yang mungkin terlintas di benaknya. Khiya jadi ikut tersenyum. Senyum Farel memang selalu menular padanya.
“Ayo...” Farel tiba-tiba menoleh pada Khiya. Khiya gelagapan, takut tertangkap basah tengah mencuri pandang.
“A-ayo, Pak...” Khiya melangkahkan kakinya duluan ke pintu kanan dan Farel juga berjalan ke pintu kiri.
Sebelum masuk, Khiya kembali menoleh pada Farel. Terlihat punggung Farel yang mulai tenggelam masuk ke dalam pintu.
“Hubby... ternyata itu yang terjadi,” lirih Khiya pelan. Khiya berjalan masuk ke dalam rumah kaca. Pikiran Khiya masih terus melayang mengenai penyakit Farel yang baru dia ketahui dan itu pun bukan Khiya ketahui sebagai istrinya, melainkan hanya sebagai Sania, pihak luar.
“Prosopagnosia....,” gumam Khiya pelan. Ternyata itu alasan dibalik Farel yang tidak mengenali Khiya dan Sania sebagai dua orang yang sama. Farel tidak pernah mengenali wajah Khiya atau pun Sania.
“Hem....apa aku begitu asing, hingga Farel tidak pernah ingin mengatakan ini? “ gumam Khiya pilu.
“Kami sudah hampir setahun menikah dan Farel tidak pernah mengatakan hal sepenting ini....masalah ini penting. Sangat penting. Tapi akulah yang tidak penting. Farel tidak pernah menganggap aku sebagai teman hidupnya....bahkan aku ada atau pun tidak ada, dia tidak akan peduli.” Khiya meringgis sedih. Pilu, nyeri meraba hatinya.
‘Dia tidak penting!!’
Kenyataan itu menyakitkan. Sangat!
Khiya lelah.
Dia lelah dan rasanya ingin menangis sekarang.
“Kenapa Hubby? Kenapa...” Khiya menyekat air matanya.
Pantulan dirinya di cermin, membuat Khiya tersenyum miris. “Aku istri mu. Tapi aku lebih asing dari orang luar.... Apa sebegitu tidak pentingnya aku? Kenapa kamu melakukan ini hubby? Apa salah aku?”
Ah..... rasanya sesak di da*danya sangat sulit ia bendung. Air matanya meleleh lagi dan lagi.
“Sania, aku membenci kamu! Aku membenci karena kamu meraih posisi lebih baik dari aku, yang istrinya! Aku membencimu, Sania! Sangat! Kenapa kamu hadir? Dan merenggut posisi ku? Kenapa? “ lirih Khiya, pelan.
“Jangan tertawa Sania! “ Khiya ingin memukul Sania. Ingin, tapi tidak bisa. Khiya berpaling. Kembali berjalan lagi. Khiya tidak peduli jika dia bukan pemenang! Sama sekali tidak peduli.
“Kenapa di sini terasa panas? “Khiya merasa perasaan aneh.
“Kenapa di luar ke dengaran berisik? Ada apa? “Khiya terus berjalan menyusuri cermin. Khiya sebenarnya bingung di mana jalan keluar, sejak dulu dia tidak suka rumah kaca. Tidak suka.
Khiya mengajak Farel masuk ke rumah kaca, karena Khiya pernah tidak sengaja melihat foto masa kecil Farel sewaktu ia membereskan rumah. Di foto itu, Farel berfoto di depan rumah kaca dan dia terlihat sangat bahagia. Khiya hanya ingin melihat kebahagiaan itu lagi.
“Kenapa makin panas? “Khiya celingak-celinguk, hawa semakin terasa aneh. Khiya langsung membalik tubuhnya. Seperti dia harus keluar sekarang !
Khiya memburu langkahnya, buru-buru keluar karena terasa sangat aneh di sana. Di luar juga terdengar sangat berisik.
“Apa yang terjadi? “
Khiya tidak memperhatikan langkahnya, tanyanya tanpa sengaja tergores ujung cermin dan Khiya tidak sadar itu. Rasa panik tiba-tiba menyelimuti hatinya begitu saja.
“Kebakaran!!! “
Nafas Khiya tertahan. Dia mendengar teriakan itu dari luar. Dan dia lupa di mana pintu masuknya tadi.
“Ya Allah....tolong hamba.”
**
Farel tersenyum lebar. Dia berhasil ke luar rumah kaca hanya dalam 5 menit. Sejak dulu, Farel memang suka permainan labirin, entah itu labirin kaca atau labirin rumput. Farel selalu berhasil menemukan jalan keluar.
Lima menit menunggu Sania, Farel belum juga mendapati Sania, mahasiswinya itu keluar.
“Dia kalah...” gumam Farel terkekeh.
Sepuluh menit berlalu.
Sania masih belum keluar.
Farel mulai cemas.
“Dia lama banget.”
“Kenapa dia belum keluar? “
“Hem...”
Lima belas menit berlalu...
Farel mulai resah.
“Apa sebaiknya aku susul ke dalam? “ gumam Farel.
Farel baru hendak melangkah masuk.
“KEBAKARAN!!”
Langkah Farel langsung di cegat. “Jangan masuk! “
“T-tapi...dia masih di dalam! “
“Jangan masuk, ini bahaya !” Farel di paksa mundur menjauh. Si jago merah sudah terlihat, asap hitam mulai menggembul di langit. Mata Farel terbelalak.
“Sania...!”