“Selesai....” Aliya tersenyum puas melihat Khiya yang sekarang tampil beda dari biasanya, berkat tangannya yang lumayan terampil dalam memoles wajah Khiya yang sebenarnya memang sudah cantik. Rasanya tidak sia-sia ternyata Aliya pernah dipaksa masuk les kecantikan satu tahun setelah lulus SMA.
Khiya penasaran melihat bagaimana dirinya di cermin. Setelah berdiri di depan cermin, Khiya terdiam sesaat, wajahnya tidak terlihat pucat seperti gadis penyakit. Aliya benar-benar menuruti permintaannya untuk tidak terlalu berlebihan dalam memoles make up. Make up simpel tanpa alis buatan dan bulu mata palsu, hanya bibir yang di poles liptin warna delima dan wajah yang di beri bedak tabur. Tapi....
“Yak.. kenapa gayanya gini? “ Mata Khiya terbelalak menatap dirinya yang sangat berbeda dari biasanya. Khiya menggunakan oversize sweater dipadu padankan dengan pearl black tule skirt, dan hijab pasmina hitam. Jangan lupakan baret hat cream di atas kepalanya, dan plat shoes berwarna putih sebagai pelengkap.
“Ini namanya gaya edgy. Anti mainstream dan gaya anak milenial. Yang penting syar’i, jilbabnya juga terjulur sampai ke d**a. Roknya juga gak ketat apalagi sweaternya.”
Gaya 'edgy’ biasanya di gunakan para desain busana untuk menunjukkan orisinil yang dipadu padankan dengan keterampilan dalam berkreasi tanpa mengikuti trend atau fashion terkini
“Tapi Yak...”
“Gak ada tapi-tapinya. Sekali-kali lah tampil beda.”
“Yak, aku tuh mau kuliah bukan mau hangout.”
“Iya cocok-cocok aja tuh. Gak lebay ah, pas gitu buat kuliah. Lo kan hari ini mau kasih kejutan ke Farel. Jadi apa salahnya tampil beda ?” sanggah Aliya lagi.
“Tapi Yak...”
“Gak ada tapi-tapinya...tuh liat jam makin gerak. Lo mau telat di hari pertama kuliah ? Gak mau kan? Buruan yuk pergi....” Aliya langsung menarik pelan tangan Khiya agar mengikuti langkahnya menuju mobil.
“Kenapa diam aja? “ Aliya melirik Khiya yang sejak masuk ke mobil hanya diam.
“Aku deg-degan, Yak.” Khiya memejamkan matanya menikmati detak jantungnya yang berdetak dua kali lipat dari biasanya.
Aliya tertawa pelan. “Alay Lo.”
“Ini pertama buat aku, Yak. Dan juga Farel... entah kenapa aku merasa akan ada hal baru setelah ini.”
“Hohoho....Lo harus terima kasih ke gue. Gini-ginikan gue yang punya rencana buat kasih kejutan ke Farel.”
“Iya...makasih Aliya, sahabat aku yang paling baik.”
“Farel pasti pangling liat Lo, Khy.”
“Emang beda banget gitu sampai Farel gak ngenalin aku? “
“Ya gak beda sih...cuman kali aja suami Lo gak kenal, secara.... diakan sibuk banget,” kata Aliya sengaja menekan kata sibuk banget.
Khiya menatap sinis Aliya. “Dia suami aku, Yak.....”
“Iya, ya.... mon maap dah....” Aliya menangkupkan kedua tangannya. “Gue jadi takut, istrinya galak amat.”
“Apaan sih, Yak....” Khiya terkekeh melihat Aliya yang berpura-pura bergidik ngeri. “Wajarlah istri belai suami. Kamu sih belum punya suami, makanya buruan nikah gih....”
“Idih, Lo lama-lama udah kayak mama gue aja. Tiap hari bahasnya nikah muluk.” Aliya memutar bola matanya, jengah.
“Jomblo sensitif banget sih....”
.
.
“Khy, gue gak bisa nemenin Lo di sini,” kata Aliya tiba-tiba.
“Lo tahukan dosen pembimbing gue buat ulah lagi, dia tiba-tiba nyuruh gue buat datang.” Aliya menahan rasa kesalnya. Ia langsung menyimpan ponsel di dalam saku rok.
“Iya udah pulang gih sana. Aku gak papa sendirian. Aku mau nyari Farel. Mau kasih dia kejutan ini.”
“Hm, good luck buat Lo ya.... Gue pergi dulu.”
“Iya, hati-hati di jalan. Nanti kalo udah sampai, kabarin ya....”
“Oke.....oke.” Aliya langsung masuk ke mobilnya.
Khiya mengiringi kepergiannya Aliya, di berbalik setelahnya dan tanpa sengaja menabrak punggung seseorang.
“Ya ampun maaf.” Khiya yang tahu dirinya bersalah tidak sungkan untuk langsung meminta maaf pada gadis yang dia tabrak.
“Kamu... Khiya, kan? “
Khiya mengangkat kepalanya. Matanya langsung berbinar melihat siapa orang yang dia tabrak tadi. “Hey, kita bertemu lagi.”
“Kamu beneran Khiya, kan? Yang waktu ketemu pas tes kemarin? “
“Iya...”
“Aku hampir gak ngenalin kamu tadi,.. eh, iya, btw kamu ambil jurusan apa? “
“Komunikasi Penyiaran.”
“Oh, aku jurusan hukum. Sayang ya kita gak satu jurusan. Tapi kalo gak salah dekat fakultas Hukum sama fakultas komunikasi. Bisalah kita saling ketemu entar.”
“Iya...”
“Eh, kayaknya tadi kamu lagi buru-buru ya, lagi nyari apa? “
“Gak nyari apa-apa sih. Eh, btw kamu mau gak temenin aku ke ruang dosen.”
“Mau ngapain? Ada berkas kamu yang belum kelar ya? “
“Bukan. Ada yang mau aku temui di sana.”
“Dosen? “
Khiya mengangguk.
“Kamu punya pacar dosen di sini? “
“Ha? “
“Atau calon suami kamu dosen? Wah masa kuliah kamu bakal sangat berwarna nih... “
Khiya terkekeh.
“Ya udah, ayo aku temenin ke sana.”
Keduanya pergi ke ruang dosen. Khiya mencari-cari keberadaan Farel di sana tapi tidak ada. Padahal biasanya Farel tidak pernah telat berangkat kerja.
“Gak ada? “
“Gak ada.”
“Eh, bentar lagi jam pertama mulai di kelas aku. Aku harus ke kelas sekarang.”
“Iya sama. Aku juga ada kelas pagi.” Khiya berbalik dari tempat itu dengan perasaan sedikit kecewa plus cemas. Apa yang terjadi pada Farel, kenapa dia belum ada di sini? Batin Khiya.
Lagi-lagi kejutan yang ia rencanakan selalu gagal. Khiya sedikit murung di hari pertamanya. Khiya memilih duduk di kursi paling belakang. Khiya sangat tidak bersemangat. Sesampai di kelas ia langsung menenggelamkan wajah di tumpukan kedua tangannya. Beruntung belum ada yang ia kenal hingga Khiya harus berbasa-basi.
“Selamat pagi, semua. Maafkan saya karena datang sedikit terlambat.” Suara bariton terdengar mengintrupsi semua keberisikan yang ada di kelas. Semua mahasiswa langsung diam setelah suara itu.
Khiya mengangkat kepalanya.
Dan..
Matanya terbelalak.
Farel, batin Khiya, kaget.
“Tadi saat di perjalanan, ban mobil saya pecah dan saya jadi harus mencari bengkel terdekat. Jadi saya harap kalian bisa memaklumi keterlambatan saya, “ kata Farel, penuh wibawa.
Khiya terkesima.
“Perkenalkan, saya Farel Wijaya. Saya akan menjadi dosen kalian dalam mata kuliah bahasa Indonesia untuk dua semester ke depan. Sekilas riwayat pendidikan saya, saya lulusan S1 di UGM, dan sekarang saya tengah menyelesaikan S2 saya di UI.”
“Dosennya ganteng banget....”
“Masih jomblo, kah? “
“Masyallah banget..”
“Kalo gini mah bakal betah banget kuliah.”
Khiya tidak suka bisikan-bisikan itu. Tapi dia diam saja. Farel sepertinya belum melihat keberadaannya di sini, dan Khiya suka itu. Dia jadi bisa memandangi Farel dengan leluasa meski dari jauh.
“Ada yang mau di tanyakan mengenai saya? “
“Pak dosen, umurnya berapa? “
“Saya 26 tahun.”
“Rumahnya di mana? “tanya yang lain.
“Rumah saya dekat dari sini. Di komplek permata 1.”
“Pak dosen status apa? “
Farel mengangkat alisnya. Tidak suka dengan pertanyaan yang terlalu pribadi. “Saya rasa sudah cukup perkenalan saya. Sekarang giliran saya mengenal kalian.”
Farel melihat sekilas daftar absen. Lalu dia beralih pada satu bangku pertama. “Kalian boleh perkenalan di mulai dari sudut sini ya. Silakan sebut nama kalian satu persatu.”
Khiya terus memperhatikan Farel. Dia seperti kecanduan melihat Farel yang nampak sangat berwibawa di depan sana. Sesekali Farel tersenyum menanggapi perkenalan mahasiswanya.
“Kamu, ayo berdiri... Perkenalkan nama kamu.”
Khiya tersentak dan langsung berdiri. Dia tidak sadar gilirannya sudah tiba. Semua orang menatap kearahnya termasuk Farel.
“Silakan perkenalan nama kamu...,” ulang Farel, karena Khiya kini malah hanya bengong.
“Ha? Aku? Perkenalan ?” tanya Khiya kikuk sambil menunjukkan dirinya, maksudnya kenapa Farel melihatnya seperti tidak tahu siapa dia?
“Iya, silakan perkenalkan nama kamu..” Farel mengangkat alisnya, merasa kesal karena harus mengulang kalimat yang sama lagi.
“S-saya....bapak gak kenal saya? Kenapa bapak gak kenal saya? “
“Sayakan istri bapak...”
Suara heboh langsung terdengar di kelas.
Khiya keceplosan.
Farel memutar bola matanya, dia sudah terbiasa dengan mahasiswi seperti ini—sedikit nyeleneh sama seperti penampilannya.
“Baiklah, kita langsung mulai pelajar saja,” Farel berbalik ke papan tulis, memilih melewatkan Khiya.
Khiya langsung duduk. Kenapa dia malah bersikap seperti orang aneh tadi, dan ada apa dengan Farel? Apa dia benar-benar tidak mengenalinya? Khiya terus menatap Farel dan bukannya mencatat atau mendengarkan dengan seksama apa yang Farel jelaskan.
Farel jengah dengan kelakukan mahasiswinya itu, yang terang-terangan menatapnya tanpa ragu meski beberapa kali tertangkap basah oleh Farel.
“Kamu yang duduk di belakang, tolong berdiri.”
“Ha? “ Khiya kaget. Dia malah menoleh kanan-kiri, siapa yang Farel maksud.
“Kamu ya saya maksud.”
“Saya? “
Farel mengangguk.
Khiya langsung berdiri.
“Tolong jelaskan ulang apa yang dari tadi saya jelaskan.”
Khiya masih di rada bingung. Ia tidak terlalu mendengarkan apa yang Farel jelaskan. Beruntung ada beberapa coretan di papan putih yang dapat membantu Khiya.
“Jadi dari yang saya tahu, kalimat utama itu bisa berada di depan yang di sebut paragraf deduktif, sedangkan kalimat utama yang ada di belakang di sebut paragraf induktif. Dalam menulis makalah, ada yang di sebut paragraf narasi, deskripsi, persuasif dan...hem... semua itu memiliki kelebihannya masing-masing,” jawab Khiya seadanya. Sama sekali tidak benar atau pun salah dari apa yang Farel bahas. Semua yang Khiya sebutkan sebenarnya memang sedikit di senggol Farel perihal itu, tapi bukan itu yang Farel jelaskan dari tadi.
“Nama kamu siapa? “tanya Farel lagi.
“Ha? Nama sa-saya? Sa...sa..Kh—
“Sania?” tambah Farel asal.
“Eh, kok...”Khiya jadi teringat nama kecilnya. Neneknya lebih suka memanggilnya Sania ketimbang Khiya. Dan uminya terkadang juga memanggil Khiya, dengan panggilan sayang, Sania.
“Iya, kamu dari tadi bilang, Sa-sa terus.”
“Iya, Pak. Terserah bapak mau panggil saya apa. Bapak bisa panggil saya Sania.”
“Kenapa dari tadi kamu tidak memperhatikan apa yang saya jelaskan? “
“Saya perhatin bapak kok dari tadi,” kata Khiya. “Apa lagi senyum bapak manis banget,” tambah Khiya spontan, mengungkapkan apa yang selama ada di hatinya
Farel memutar bola matanya. Kelas spontan jadi gaduh, karena perkataan Khiya tadi. Farel menyuruh untuk tenang, tapi mereka malah abai.
“Yang masih berisik nilainya saya buat C,” kata Farel pelan, tapi mampu membuat semua mahasiswa seketika hening.
.
.
Hari pertama yang buruk bagi Farel. Mobolmya mengalami pecah ban dan tadi para mahasiswi baru yang membuatnya harus banyak bersabar.
Terlebih lagi mahasiswi bernama...
“Pak...”
Farel menoleh.
Mahasiswi bernama Sania.
“Pak, bapak benar gak kenal saya? “ kata gadis itu dengan nafas memburu. Ia tadi baru saja berlari agar bisa sampai di sebelah Farel.
“Memangnya ada apa? “ tanya Farel dingin. Sekilas Farel menatap Khiya.
Tunggu dulu....
Khiya terbelalak..
Farel benar-benar tidak mengenalnya...
Khiya dapat mengetahui itu melalui tatapan Farel.
Tatapannya berbeda,
Tidak ada tatapan iba di sana.
Meski tatapan Farel dingin, yang terpenting tidak ada tatapan iba di sana.
Khiya tidak percaya ini.
Khiya tidak percaya!
Ini benar-benar terjadi!
Apa ini jawaban dari doanya?
Apa ini titik terang dari kisah mereka?
“Pak, coba bapak liat saya? Masa gak kenal sih?” paksa Khiya lagi.
Farel mengerutkan keningnya. “Memang apa pentingnya saya kenal kamu? “
“Eh...sayakan...”
“Jangan bilang hal yang tadi kamu bilang di kelas.” Farel menghela nafas. “Kamu mau saya kasih kamu nilai C? “
“Eh...jangan dong, Hub—“ Khiya menghentikan perkataannya yang hampir keceplosan mengatakan hubby. “Jangan gitu dong, Pak,” ralat Khiya.
“Saya kan, cuman... “ Tanpa malu, Khiya menatap Farel dengan intensif membuat Farel makin dongkol. “Mau mastiin...kalo bapak benar gak kenal saya.... “ cicit Khiya, pelan.
Farel tidak mau berlama-lama dan kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan gadis berpakaian aneh menurut Farel.
“Eh, kok, aku di tinggal....” Khiya baru sadar. Langkah Farel sudah terlalu jauh untuk dikejar.
“PAK!! “ teriak Khiya.
“Pak, ingatin nama saya....nama saya SANIA... “teriak Khiya tidak peduli pada pandangan orang lain, yang menatapnya aneh, dongkol dan masa bodoh.
Khiya tidak peduli.
Dia bahagia sekarang!
Sangat bahagia!
.
.
“Serius Lo? Jadi kejutan Lo gagal lagi? “ Tangan Aliya sibuk mengaduk-aduk jus alpokat miliknya dengan sedotan.
“Iya gagal. “Khiya tersenyum lebar.
“Tapi kok, Lo... “Aliya meneliti Wajah Khiya yang bukannya sedih malah sangat-sangat bahagia.
Khiya makin tersenyum lebar. “Mau gak temenin aku shooping hari ini?”
Aliya baru mau menjawab, Khiya langsung menjeda.
“Harus mau,” tambah Khiya lagi.
“Eh, emang Lo mau beli apa sih? Kayak buru-buru banget.” Aliya menatap curiga Khiya. Tidak biasanya Khiya suka shooping. Biasanya Khiya membeli baju atau apalah itu, jika menemani Aliya shooping.
“Gak banyak sih mau beli. Budget aku gak terbatas. Selain itu juga gak boleh boros,” jawab Khiya, gak nyambung.
“Apaan sih Khy. Kasih tahu dulu, apa yang tadi terjadi di kampus...”
“Yak, kemarin kata kamu, kamu mau nyumbangi baju-baju kamu yang kayak aku pakai gini?”
Aliya mengangguk pelan. “Iya, baju gue dah banyak banget di lemari, jarang di pakai lagi. Takut hisab di akhirat entar...”
“Ya udah kasihin aku aja.”
“Lo tadi salah minum obat ya, Khy? Atau Lo baru ke sambet petir?” Aliya menatap aneh Khiya. “Sejak kapan Lo suka sama baju-baju model edgy gitu...bukannya Lo anak pencinta baju sederhana forever.”
“Sejak..... hari ini. Aku pikir, baju-baju kayak gini not bad kok. Yang penting tetap syar'i, apa salahnya.”
“Fixs Lo abis kebanyakan makan obat.”
“Jadi semua baju kamu buat aku ya.... Boleh ya?”
“Ceritain dulu apa yang terjadi di kampus. Gue curiga ada yang terjadi sampai-sampai seorang Khiya yang anti menstrim jadi gini. “
Khiya tersenyum....”Jadi ceritanya....”
Khiya menjelaskan semua dari paling awal. Bahkan dari pertama Aliya pergi pulang sampai kejadian akhir yang membuat Khiya memutuskan untuk menjadi Sania.
“Ha? Gila... gila... “ Aliya menggeleng-geleng dramatis. “Kisah Lo Novelebel sekali.....”
Khiya tersenyum lebar. “Doain ya, Bun...”
“Gue sih sebagai sahabat baik hati, tidak sombong dan suka menabung, sangat setuju sama rencana Lo.” Aliya menatap serius Khiya.
“Tapi....Lo harus ingat juga resikonya, maksud gue... ya... bisa dibilang ini mirip kebohongan. Dan kebohongan tetaplah kebohongan sih...pasti ada efek sampingnya gak akan berjalan mulus gitu aja.”
“Lo siap sama resikonya? “
“Resiko? “
“Pasti sekali-kali Lo harus berbohong kan buat nutupi diri Lo... dan menurut gue itu gak worth it sih. Bohong itu dosa, dan satu bibit kebohongan bakal numbuhin satu pohon kebohongan.”
Khiya berdeham pelan. “Aku usahain gak akan bohongin Farel untuk masalah apa pun. Aku cuman pengen Farel kenal aku sebagai Khiya yang asli. Kamu tahukan Yak, selama menjadi Khiya di rumah, aku bukanlah Khiya yang asli. Farel tidak membiarkan aku menjadi Khiya. Dia selalu membuat aku tidak berani menjadi Khiya.”
“Dan hari ini, aku gak liat tatapan iba itu... aku merasa bebas. Gak ada tembok besar, antara aku dan Farel. Aku merasa bisa bernafas, Yak... Aku bisa jadi Khiya.... ya! Khiya yang sebenarnya.” Khiya menghela nafas panjang, sangat lega. Beban tak kasar mata yang selama ini menghalanginya seolah sudah pergi. Khiya sangat, sangat bahagia!
Aliya tersenyum melihat kebahagiaan sahabatnya itu. Semenjak di vonis penyakit lupus dan gagal kuliah, Aliya sangat jarang melihat senyum selepas itu dari Khiya.
Orang yang sakit butuh obat bahagia bukan?
Dengan kebahagiaan, penyakit apapun bisa di lewati...
Yang terpenting Khiya bahagia.
“Gue harap Lo bisa pegang omongan Lo itu. Jangan pernah menanam pohon kebohongan ya... Lo harus selalu dalam batas yang benar.”
Khiya mengangguk patuh.
“Khiya, I hope you always happy like this...” Aliya tersenyum.
“Aamiin.”
**