Kejutan kecil

2034 Kata
“Ah nyebelin banget dah tuh dosen! “ Aliya mencak-mencak gak jelas, wajah cantiknya di tekuk, kesal. Gadis itu langsung menghempas ponselnya ke atas kasur. “Udah gak usah marah-marah gitu. Namanya juga manusia, ada titik salahnya.” “Ah tapikan gak gini juga kali, Kya. Ini mah Udah kelewat batas! “ pekik Aliya kesal. “Kita Udah batalin tiket nonton kita, buru-buru pulang ke rumah buat ambil draf skripsi, kejebak macet berjam-jam dan sekarang seenaknya dosen itu bilang, maaf bimbingannya bapak batalkan, bapak ada urusan mendadak.” “Seenak itu tuh dosen bilang gitu! Gue gak bisa terima!” Khiya langsung menenangkan Aliya. Memberinya segala air putih dan memintanya untuk duduk. Khiya memilih diam dan membiarkan Aliya mendinginkan dirinya sendiri. “Lo mau pulang sekarang? “ tanya Aliya setelah emosinya mereda. “Hm, bentar lagi mau magrib. Aku pulang setelah itu aja, lagian Farel hari ini lagi lembur juga.” “Oh ya udah. Sekalian aja Lo balik pas liat pengumuman lulus tes. Gimana?” Khiya berpikir sejenak. “Gue takutnya entar di jalan sinyalnya gak stabil. Bentar doang kan, setelahnya baru Lo pulang. Setuju, kan?” Apa yang Aliya katakan memang benar. Dia tidak akan tahan untuk menunggu sampai pulang, rasanya malah jadi dag-dig-dug. “Oke, aku setuju.” “Ya udah buruan salat. Lo masih ingatkan kiblat di kamar gue, ke arah mana? “ “Emang kamu pikir aku pikun?!” Aliya tersenyum kecil. “Kirain Lo lupa, Lo kan jenis spesias yang jarang banget main ke rumah gue. Gu e terus yang nyamperin Lo, gak di rumah lama, gak di rumah baru Lo sekarang.” “Helloo princess Aliya, kamu lupa ya.... Gimana caranya coba, aku bisa nyamperin kamu? Sedangkan aku aja gak bisa bawa mobil or motor. Mau naik apa aku ke sini, terbang ?” “Eleh, ngeles aja Munaroh. Makanya belajar tuh bawa mobil sendiri. Entar kamu kuliah mau naik apa? Masa mau naik taksi terus. Mahal tahu...” “Eh, iya juga ya....” gumam Khiya, pelan. “Aku pengin bawa mobil sendiri, tapi kamu tahukan aku masih trauma kecelakaan itu.” “Mau sampai kapan kamu trauma Kya. Kamu harus lawan rasa takut kamu itu. Jangan mau terus ditidurkan oleh rasa takut.” “Kamu benar Yak. Kalo aku lulus tes beasiswa, aku janji, insyallah bakal belajar bawa mobil.” “Nah gitu dong, itu baru namanya Khiya, si most wanted SMA Nusa.” ** LULUS Khiya dinyatakan lulus sebagai salah satu penerima beasiswa. Dan sesuai janjinya pada Aliya, Khiya harus mau melawan rasa takutnya dan belajar mengendarai mobil. “Hubby....” Khiya berdiri di ambang pintu kamar Farel yang terbuka, menunggu Farel mengizinkannya masuk. Seperti biasa Farel selalu berkutat dengan laptop dan beberapa kertas di atas meja kerjanya. Farel spontan menoleh dengan pose tangan yang masih bertengger di dahinya. Kepala Farel sepertinya pusing. Begitu melihat Khiya, dua sudut bibir Farel langsung terangkat ke atas. “Ada apa? “ “Hm.....” Khiya jadi ragu setelah melihat tumpukan kertas di meja kerja Farel. “Oh iya, aku lupa.” Farel langsung bangkit dari kursi kerjanya berjalan mendekati Khiya. “Kamu lulus tes, dan aku belum kasih kamu hadiah. Kamu mau hadiah apa?” “Ha? Gak perlu kasih hadiah,” sahut Khiya, sungkan. “Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk sampai lupa hal penting itu, maaf ya.” “Gak papa By, hem, gimana kalo hadiahnya, tolong ajarin aku nyetir mobil gimana? “ Khiya teringat perkataan Aliya. Alasan kenapa gadis itu enggan mengajari Khiya. Karena Aliya bilang ini waktu yang tempat untuk mencari alasan semakin dekat dengan Farel. Dengan mengajari Khiya membawa mobil, itu artinya akan terjadi interaksi baik secara percakapan atau pun kontak fisik. Semua itu dibutuhkan untuk menumbuhkan bibit-bibit cinta. ‘Aamiin' batin Khiya. Farel sedikit terkejut mendengar permintaan Khiya. Farel melihat ke arah meja kerjanya yang masih berantakan, pekerjaannya masih banyak, tapi....ia juga harus membahagiakan Khiya. Khiya, istrinya. “Oke. Kalo gitu aku siap-siap dulu.” Farel hendak menutup pintu kamarnya, maksud bersiap-siap ala Farel yaitu, dia mau ganti bajunya dulu. Tapi yang terjadi Khiya malah ngeluyur masuk ke dalam kamar Farel, karena tangannya sejak tadi sudah sangat gatal untuk membereskan meja kerja Farel. “Selagi kamu siap-siap, aku rapiin meja kerja ya?” kata Khiya tanpa berbalik, matanya fokus ke meja kerja Farel. Farel hanya bisa berdeham pelan, membiarkan Khiya, dan mengenai dia yang ingin mengganti baju, tidak masalah jika ada Khiya di sini. Khiya istrinya, meski mereka belum selayaknya suami istri. Tapi secara agama mereka sah untuk saling melihat aurat, kan? Farel beranjak ke lemari pakaiannya, ia ingin mengganti bajunya dengan kaos kotak-kotak biasa. Farel baru hendak membuka baju, tiba-tiba Khiya teriak. “Astagfirullah!” Khiya langsung berbalik, dari posisinya tadi yang tepat menghadap ke Farel. “Maaf-maaf....aku cuman mau keluar,” kata Khiya lagi, sembari melangkah pergi. Dia pergi bukan jalan biasa selayaknya orang normal. Khiya menghadap tembok dan jalan miring seperti kepiting. Tidak berbalik sedikit pun. “Khiya ...” “Eh iya, kenapa? “ tanya Khiya, masih setia pada view dinding di hadapannya. “Sebelum pergi jangan lupa pakai sunblock dan minum obat ya.” “Iya.” “Dan kalo kamu kelelahan langsung bilang aja. Jangan di paksain. Oke? “ Khiya mengangguk. “Udahkan? Aku mau keluar dulu, biar hubby... hm bebas ganti baju.” Khiya langsung ngicir berjalan cepat dan langsung menutup pintu kamar Farel. Farel terkekeh. Geli sendiri melihat tingkah Khiya. Farel tersenyum sendu, Khiya sangat baik, dialah yang tidak baik untuk Khiya. . . “Gimana udah siap buat nyobain bawa mobil, sekarang ?” tanya Farel. Khiya ragu. Sebenarnya sejak tadi tangannya gemetar, Farel tidak menyadari itu. “Bissmilah, coba aja dulu...di sini sepi dan aman,” kata Farel menyakinkan Khiya. Khiya terbujuk. Aku gak boleh takut, tekad Khiya. Khiya lalu menyalakan mobil, kedua tangannya sudah bertengger di atas setir. “Saat nyetir mobil hal yang utama kamu harus fokus, perhatian jalan dengan teliti,” intruksi Farel. Khiya mulai melakukan mobil dengan kecepatan yang paling rendah. “Nah sekarang, tambah kecepatannya sedikit. Pelan-pelan aja.” Khiya mengangguk pelan. Ia menginjak pedal gas, tapi kakinya yang gemetar mengacaukan segalanya. Mendadak mobil melaju dengan kecepatan yang sangat kencang. “Tenang, Khiya. Jangan panik. Kaki kamu hanya perlu mengurangi tekannya,” Farel sebisa mungkin untuk tidak membuat Khiya makin panik. Khiya mencoba tenang, menarik nafas panjang. Tiba-tiba ada kucing nyebrang. Khiya panik spontan membanting setir. Mobil melaju dengan kencang dengan tidak tentu arah. Ada pohon di hadapan mereka. “Argh! “ secara tidak sengaja Khiya menginjak pedal rem. Mobil itu berhenti, tepat secenti lagi mengenai pohon kokoh di hadapannya. “Astagfirullah.” Khiya menatap jalanan. Ia terdiam, shock. “Tidak masa Khya. Hal ini wajar sering terjadi saat belajar.” Farel tersenyum seolah, dia tidak sport jantung akibat aksi tadi. Khiya menoleh. Dan tiba-tiba Khiya menangis. Membuat Farel bingung. Khiya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dia sesegukan. Khiya teringat kejadian silam waktu itu. Potongan-potongan kejadian naas itu melintas di pikiran Khiya, mengambil alih prinsipnya untuk tidak menangis di hadapan siapa pun. Termasuk di hadapan Farel. “Umi, abi....,” lirihnya. Trauma itu datang lagi. Farel bingung harus apa untuk menenangkan Khiya. Haruskah dia memeluk Khiya untuk menenangkan gadis itu? Tangan Farel terjulur hendak meraih tubuh ringki Khiya. Tapi tangannya tertahan, ada sesuatu yang menahan Farel untuk melakukan itu. Farel kembali menarik tangannya. Membiarkan Khiya menenangkan dirinya sendiri. “Khiya, ingat kamu gak sendiri. Ada aku di samping kamu,” ucap Farel, menyadarkan Khiya bahwa kini dia tidak sebatang kara. Dia memiliki Farel, sebagai teman hidupnya. “Hubby, aku mau pulang,” kata Khiya, menguatkan dirinya. Farel menyetujuinya. Mereka langsung bertukar tempat duduk. Khiya memilih duduk di kursi belakang, gadis itu masih nampak shock. Begitu sampai di rumah, Khiya langsung turun dari mobil dan meminta izin untuk langsung ke kamarnya. Farel mengizinkan tanpa banyak bertanya dan hanya menawarkan Khiya teh hangat. Khiya menolaknya dengan alasan hanya ingin istirahat saja. Di dalam kamar, Khiya tidak menangis. Dia malah mematung, melihat pantulan dirinya di cermin. Matanya sedikit sembab. “Kok nangis sih, Kya? “ tanya Khiya pada dirinya sendiri. Khiya merasa sangat malu. Dia langsung menjatuhkan dirinya di kasur dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. Apa yang harus dia jelaskan pada Farel soal tangisnya tadi? Haruskan Khiya ceritakan segalanya pada Farel? Tentang traumanya.. Lalu apa? Tatapan iba, akan semakin sering menyapanya... Farel akan semakin iba padanya. Gadis penyakitan yang memiliki trauma kecelakaan. Sangat rapuh... Itulah yang akan Farel pikirkan. Khiya mendesah, tidak berdaya. Image menyedihkan akan semakin terpantri pada dirinya. Khiya melirik jam, sudah waktunya makan siang. Khiya enggan untuk keluar dari kamar.... tapi dia seorang istri, dia harus mengesampingkan rasa malasnya, dia harus menjadi istri yang baik. Setelah mengganti baju dan cuci muka, Khiya langsung ke dapur. Dia sudah masak tadi pagi, dan hanya perlu menghangatkan sedikit lalu menghidangkannya di meja makan. Tepat setelah semua itu selesai, Farel keluar dari kamarnya. Senyum manis hadiah yang Khiya dapat begitu melihat Farel. “Setelah makan jangan lupa minum obat,” kata Farel. Dan begitulah interaksi keduanya. Tidak ada percakapan lagi diantara keduanya, sekadar basa-basi atau membicarakan hal sepele. Bukan lantaran masalah tadi, tapi memang tidak ada yang bisa mereka bahas. Farel tidak cuek atau dingin tapi seperti ada tembok yang Farel bangun di sisinya dan Khiya hanya bisa melihat Farel dari luar tembok tanpa bisa mendekat. “Astagfirullah...” Farel tiba-tiba bangkit dari kursi. “Aku lupa kirim email,” tambahnya, cemas. Khiya ikut bangkit. “Email apa? “ cicit Khiya. “Hm, ini soal pekerjaan. Maaf karena aku belum sempat cerita. Jadi, akhir-akhir ini aku sibuk karena aku dipindahkan dari kampus utama ke kampus cabang.” Tunggu Di pindahkan? Farel? Kampus cabang? “Kampus cabang Sastranegara yang ada di dekat sini? Cuman butuh waktu dua puluh menit buat sampai ke sana?” sambung Khiya, tahu betul. Farel mengangguk. “Kamu tahu kampus itu? “ Khiya membisu. Dia tahu.... Jelas.... Sangat tahu... Karena dia akan jadi mahasiswi di sana. . . “Jadi, Lo benar belum kasih tahu Farel soal Lo lulus beasiswa di kampus mana? “ “Iya. Dia cuman tahu aku lulus beasiswa. Pas lulus waktu itu, aku kasih dia surat kelulusan. Terus dia liat nama kampusnya. Aku lupa kalo Farel diseleksia. Dia gak bisa baca nama sesuatu dengan benar. Dan mungkin dia gak kepikiran kalo aku daftar di kampus Sastranegara.” “Dan Lo baru ingat sekarang? “ Khiya mengangguk lemah, di sebelah ponsel yang bertengger di telinganya. “Akhir-akhir ini Farel kan sibuk banget. Pulang ngajar, selalu kelihatan lelah. Aku gak tega buat motong waktu istirahat dia. Cuman buat b****k. Setelah makan malam bisanya, Farel langsung ke kamar, istirahat atau sambung kerja.” “Cuman....ngobrol kata Lo? “ Aliya memutar bola matanya. Tidak habis pikir, bagaimana bisa Khiya berpikir mengobrol hal sepele yang dimaknai kata ‘cuman? ‘ “Dan ternyata dia repot itu karena ngurusin pindah ini...,” sambung Khiya pelan. “Lagian kalian tuh ya udah nikah, masa berasa kek orang asing aja sih. Gak ada percakapan selain nanyai sudah minum obat atau belum. Selebihnya kalian malah diam-diam aja. Gimana mau kenal satu sama lain. Gak ngerti lagi gue sama rumah tangga Lo, Khy. Gemes banget gue,” cerca Aliya di sebrang sana. Wajah keki sudah pasti terlihat di wajah Aliya, andai saja Khiya bisa melihatnya. Beruntung mereka tidak melakukan video call. “Yak....sekarang tuh bukan waktunya buat kritik deh. Sekarang aku harus apa? Kasih tahu Farel gitu?” “Hm...besok Lo mulai kuliah hari pertamakan ?” “Iya....Yak, apa aku kasih tahu hari ini aja.” “Tunggu dulu.” Intrupsi Aliya, menahan tangan Khiya yang sudah terjulur memegang gagang pintu. “Gimana kalo Lo kasih kejutan part dua? Besok hari pertama Lo kuliah dan hari pertama Farel ngajar di kampus itu. Gimana kalo ini jadi kejutan buat Farel? Dia pasti bangga sama Lo, Khy.” “Gimana saran gue? “ Khiya bingung. “Nah supaya makin surprise, entar gue make over deh Lo. Supaya looknya beda dari yang sering Farel liat di rumah.” “Malam ini Lo nginep di rumah gue aja.” “Entar gue jemput deh...” “Tapi Lo minta izin sendiri sama suami Lo ya....” “Gue otw nih...” “Buruan siap-siap! “ **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN