Khiya pulang sebelum Farel tiba di rumah. Ia menyiapkan makanan di meja makan, dan menunggu jarum pendek menujuk ke angka lima. Dan tepat saat jarum pendek berada di angka lima, pintu diketuk.
Khiya langsung menyambut Farel, meraih tas kerjanya dan berjalan mengekor di belakang Farel mengantar Farel sampai ke depan kamarnya. Seperti biasa Farel akan bersih-bersih terlebih dahulu sebelum makan malam bersama.
Dan sepertinya biasanya lagi, di meja makan tidak ada percakapan yang mengudara selain pertanyaan, ‘sudah minum obat? dan ‘bagaimana hari ini? ‘
Hanya itu...
Farel menanyakan perihal kuliah Khiya hanya sebatas. ‘Kamu gak kelelahan, kan ?‘
Selebihnya Farel menikmati hidangan dengan khidmat tanpa tahu bahwa di balik bunga kecil yang ada di tengah meja, Khiya sejak tadi terus menatapnya dari sebrang meja—mereka makan tidak duduk bersebelahan melainkan berhadapan, Khiya di ujung meja dan Farel di ujung yang lain. Sangat jauh…
Saat bersama Khiya, bahkan insting yang biasanya semua orang miliki, tidak Farel aktifkan. Seharusnya Farel sadar Khiya menatapnya sejak tadi.
“Khiya, jika ada tugas, usahakan untuk dikerjakan siang hari. Jangan sering begadang, itu tidak baik untuk kesehatan kamu.” Kalimat penutup untuk interaksi malam ini. Farel bangkit dari kursinya dan melangkah ke kamarnya.
Khiya ikut bangkit.
“Selamat malam, Pak…” cicit Khiya, pelan. Senyum tertahan di bibirnya. Khiya lalu melangkah juga ke kamarnya.
Khiya melihat lemarinya. Ada banyak baju-baju yang akan membuatnya menjadi Sania.
Dia sangat menunggu hari esok...
Sangat!
.
.
“Buruan, Khy...Lo bisa telat! “ teriak Aliya saat mobilnya baru bisa masuk ke dalam halaman rumah Khiya. Aliya baru bisa masuk saat Farel berangkat kerja.
Sebagai dosen Farel memang selalu datang lebih awal dari mahasiswa. Dan tanpa Farel tahu, hal itu malah memudahkan Khiya untuk menjadi Sania.
“Iya, bentar Yak... aku harus ganti jilbab dulu...”
Aliya dan Khiya langsung berlari ke kamar. Khiya mengganti gamis panjangnya dengan blouse polka dot warna cokelat, A-line skirt, serta hijab pasmina yang terjulur sampai ke d**a yang berwarna senada blouse yang ia kenakan dan jangan lupakan topi baret hat cream yang bertengger di kepalanya.
Sedikit nyentrik memang. Tapi terlihat unik dan elegan. Khiya yang biasanya terkesan sebagai gadis sederhana yang lugu, sedikit berbeda dengan balutan ini.
“Udah, kan? Buru yuk pergi. Takut kejebak macet.”
Khiya setuju. Keduanya langsung melesat menaiki mobil dan sampai tepat sepuluh menit sebelum jam pertama Khiya di mulai.
“Jangan mudah percaya sama orang, Khy. Dunia kampus gak seasik SMA,” kata Aliya sebelum pamit pulang.
“Oke. See you ya...”
“See.....belajar yang benar ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan.” Khiya terkekeh.
Aliya sudah persis seperti ibu yang mengantar anaknya menuntut ilmu. Sebelum pergi dia menitipkan banyak petuah. Khiya berbalik dan langsung tersenyum karena di hadapannya, tidak jauh ada Farel yang berjalan ke arah koridor. Khiya langsung berjalan cepat menyusul Farel.
“Pak dosen...,” sapa Khiya setelah berada di samping Farel.
Farel tidak menoleh, dia hanya melirik sekilas dan terus melanjutkan langkahnya.
“Apa kabar, Pak? “
“Pak, hari ini bapak ngajar di jam pertama, kan?”
“Bapak mau langsung ke kelas atau ke ruang dosen dulu? “
“Pak..., bapak kenalan saya gak? “
Farel menghela nafas panjang, keberadaan Khiya sangat mengganggu Farel. Terlebih lagi tatapan para mahasiswa/i yang seperti menjadikan keduanya pemandangan aneh. Khiya tidak peduli. Tapi Farel sangat tidak suka itu. Farel menghentikan langkahnya tiba-tiba. menatap kesal Khiya yang berdiri di sampingnya.
“Saya kenal kamu...”
Khiya kaget, seketika ia gugup dan malu.
“Kenal saya? Jadi Hu—“
“Kamu Sania, mahasiswi baru jurusan Komunikasi penyiaran. Benarkan? “
“Ha...“ Khiya menghela nafas lega, sekaligus ada rasa sedih yang terselip di hatinya. Sebegitu parah kan Farel—orang yang sudah menikahinya hampir lima bulan, tidak mengenali istrinya sendiri?
“Jadi, apa sekarang kamu bisa berhenti mengikuti saya?” kata Farel, dingin.
“Ha? Kenapa? “
Farel menghela nafas panjang, geram. “Karena saya tidak suka.”
“Tapi kenapa? Apa salah, kalo berjalan di samping dosen? Toh inikan arena umum yang bisa dipakai dosen dan mahasiswa.”
Farel memutar bola matanya. Tidak ada waktu untuk melayani mahasiswi yang sejenis Sania. Farel memilih kembali melanjutkan langkahnya.
Kali ini Khiya langsung cepat tanggap, dia berjalan mengekor di belakang Farel.
Farel menggeleng, tidak habis pikir pada mahasiswi baru bernama Sania yang secara terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Farel—Farel memang sering menghadapi semua ini tapi mereka semua hanya melakukan secara diam-diam.
Farel memang tahu salah satu resiko menjadi dosen muda yang bisa terbilang tidak jauh berbeda dengan para mahasiswi yang berusia sekitar 20-an, akan terjadi hal seperti ini. Bahkan banyak mahasiswi di kampus utama yang menaruh hati pada Farel. Farel memang tidak pernah mem-publis kehidupan pribadi dan statusnya sekarang yang sudah menikah. Bukan karena Farel tidak mau mengenalkan Khiya pada yang lain, tapi dia hanya tidak suka kehidupan pribadinya di publis hanya itu. Meskipun tidak mem-publis, Farel selalu menghormati statusnya dan menghormati Khiya sebagai istrinya.
“Kenapa kamu ngikutin saya? “ Farel berbalik, menatap tidak suka.
Khiya mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk lalu tersenyum lebar. “Saya lagi ngikuti bayangan dosen ganteng, siapa tahu beruntung,” jawab Khiya apa adanya.
“Jangan ikuti saya! “ Farel melangkah lebar.
Khiya kembali mengejar langkah Farel yang menjauh.
“Pak...” panggil Khiya lagi.
Farel tidak menyahut.
“Pak...”
“Bapak...”
“Apa?” kesal Farel.
“Boleh minta nomor ponsel bapak ?” jawab Khiya asal. Sebagai Sania, dia memang tidak punya nomor ponsel Farel. Jadi Sania butuh nomor ponsel Farel.
“Saya pasti butuh buat cinta eh maksudnya tugas,” tambah Khiya, tersenyum jahil.
Dia bisa menggoda suami ya, kan?
.
.
Sesampainya di kampus, Farel memilih untuk duduk di perpustakaan untuk mencari buku yang ingin dia baca. Farel memilih duduk di dekat jendela yang pemandangannya langsung ke arah gerbang kampus.
Beberapa buku sudah tertumpuk di hadapannya dan siap Farel baca. Farel sangat fokus dengan bukunya hingga tidak sadar bahwa sepuluh menit lagi kelas pertama yang dia ajar akan dimulai. Farel meng-check jam tangan di ponselnya. Dan segera bangkit setelah merapihkan kemeja putih dan celana dasarnya.
“Saat membuka jendela dunia, waktu jadi tidak terasa,” gumam Farel. Entah kenapa tiba-tiba kepalanya menoleh ke jendela.
Farel melihat seorang gadis berpakaian polka dot di luar, tengah melambai-lambaikan tangannya ke arah mobil yang tengah melaju menjauh dari gerbang kampus.
Gadis itu...
Farel tahu, gadis itu menjadi buah bibir baik di kalangan dosen maupun beberapa mahasiswa pria di hari pertamanya. Menjadi buah bibir di kalangan dosen, karena harus Farel akui gadis itu gadis pintar —yang bahkan meski dia tidak memperhatikan Farel saat menjelaskan, dia bisa mencari jurus yang membuat Farel tidak bisa marah padanya. Gadis itu juga penerima beasiswa di kampus ini. Tidak heran dia menjadi buah bibir para dosen yang merasa terpukau dengan kecerdasan gadis itu.
Dan di kalangan para mahasiswa pria, gadis itu menjadi buah bibir karena style dan juga cantik. Dia gadis yang cantik. Tapi meski begitu.....Farel tidak suka gayanya yang terlalu mengundang pasang mata melihat ke arahnya. Farel tidak suka itu. Farel beruntung Khiya tidak seperti itu.
Farel berjalan keluar dan tiba-tiba...
“Pak dosen...,” Gadis itu sudah berada di sampingnya.
Farel sangat terkejut. Beruntung dia mampu mengendalikan dirinya.
**
“Serius, Yak? “
Disebrang sana, Aliya mengangguk semangat meski sebenarnya itu tidak perlu, karena mereka melakukan panggilan telepon bukan video call.
“Gue juga baru tahu, Khy. Gila sih gue, ternyata segitu kurang update nya gue soal ini. Padahal semua ini ternyata hits banget di kampus.” Aliya menghela nafas panjang. Skripsi memang menyita banyak perhatian hingga ia tidak terlalu peduli dunia perkampusan satu tahun terakhir.
“Hampir rata-rata, di kampus mahasiswinya suka sama Farel. Gila gak tuh? Bahkan ada dosen dan staf bagian TU yang juga diam-diam suka sama Farel.”
“Kamu tahu dari mana? “tanya Khiya berusaha tenang.
“Semua kabar itu ibarat rahasia umum, rahasia tapi hampir semua orang tahu.”
Khiya tidak menyahut, harus Khiya akui peson Farel memang sulit di pungkiri.
“Dan Lo tahu gak, Khy..... Farel di pindahin di kampus cabang itu karena, hem....” Aliya malah menghentikan perkataannya.
“Karena apa? “ tanya Khiya penasaran.
“Karena anak pemilik yayasan suka sama Farel dan secara terang-terangan mengakui perasaannya di depan kelas. Kabar itu heboh, di angkat anak mahasiswa semester 4,6, sampai jadi buah bibir di mana-mana... terus...”
Khiya menyimak, tanpa berniat menjeda, meski dia merasa sangat kecewa pada Farel yang tidak pernah menceritakan semua kejadian yang dialami.
“Terus kabar yang beredar, Farel nolak dia dan bilang kalo dia udah nikah. Gadis itu gak percaya dan malah bilang kalo dia siap jadi istri kedua Farel.”
Deg!
Khiya merasa seperti ada pisau menusuk hatinya.
Sakit!
“Dan karena kegaduhan itu, akhirnya raktor memutuskan buat memindahkan Farel di kampus cabang. Selain menjaga nama baik yayasan juga demi kenyamanan Farel, yang di nilai sangat sayang kalo Farel mengundurkan diri dari kampus.”
“Khy.... Lo masih dengerin gue, kan? “
“Khya....,” panggil Aliya, pelan.
“Kyaaaa .....” Suara Aliya naik satu oktaf .
“KYA....”
“Iya, Yak,” sahut Khiya pelan. “Aku ada di sini. Aku dengar setiap cerita yang.... sangat menyakitkan itu.”
Aliya berdeham pelan. “Lo gak perlu khawatir Yak.... menurut gue Farel akan selalu memilih Lo.”
“Kamu yakin, Yak?” Khiya tersenyum sendu. “Tapi kenapa aku gak yakin Yak?”
“Lo harus yakin, Khy. Farel itu pria baik-baik. Dia pasti selalu ingat Lo.”
“Semoga.”
Aliya menghela nafas panjang. “Khy, Lo lagi mode cemburu ya? “
“Cemburu? Menurut kamu emang aku pantas cemburu?”
“Iyalah, kan kamu istrinya.”
“Jadi aku boleh cemburu...,” gumam Khiya, pelan.
Aliya pikir itu Khiya mengatakan hal itu sebagai kalimat kiasan ternyata gadis itu benar-benar bertanya. Pertanyaan macam apa itu.
“So sekarang aku harus bertindak...,” kata Khiya.
Aliya di sebrang sana sedikit kaget, karena Khiya tiba-tiba bersuara lebih kuat dari terakhir suaranya tadi. Naik satu oktaf. Dan biar Aliya tebak, sekarang Khiya tengah berdiri sembari menggempal tangan kanannya, ala-ala prajurit yang hendak maju ke perang. Aliya hafal betul kebiasaan sahabatnya itu.
“Lo mau bertindak apa?”
“Mulai sekarang aku bakal jagain Farel, dari gadis-gadis genit.”
“Eh, maksud Lo...Lo mau ngintilin dia terus gitu?”
Khiya spontan mengangguk, meski tahu Aliya tidak bisa melihatnya.
“Eh, manusia, yang ada Lo malah yang di cap gadis genit, secara Farel kan gak tahu Lo itu Khiya. Dan yang lain..bisa-bisa mahasiswi pada benci sama Lo.”
“Ini penting Yak... biar Farel bisa ngajar dengan aman sentosa.”
“Eh, tapi—“
“Udah dulu ya, Yak. Aku mau melaksanakan misi dulu... See you...Assalamualaikum.”
Panggil telepon di matikan sepihak.
Khiya bertekad untuk menjaga suaminya itu. Memastikan kalo Farel akan selalu aman dari godaan.
Khiya janji itu.
“Eh, ke perpustakaan yuk...”
“Tumben Lo mau ke perpustakaan. Pasti ada udang di balik batu nih. Udah hafal gue mah sama tabiat Lo.”
“Iya nih... Mau cuci mata. Pak dosen ganteng lagi ada di perpustakaan.”
Khiya memutar bola matanya, jengah, mendengar obrolan unfaedah mahasiswi di depannya ini.
“Cuci mata katanya. ...sekalian aja sana cuci pakai sabun plus masukin mesin cuci biar bersih, kinclong...,” cicit Khiya, kesal sendiri. Gadis itu lalu berjalan keluar kelas.
Khiya merasa dongkol, secepat kilat ia mencari Farel di perpustakaan.
Dan ia menemukan Farel.
“Ck!“ Khiya berdecak pelan. Di perpustakaan ada seorang gadis yang mencoba menggoda suaminya, gadis itu menggoda Farel dengan pura-pura menawarkan makanan meski Farel tidak menghiraukannya dan tetap fokus dengan buku bacaannya.
“Pak, bapak emang udah sarapan? “
“Bapak mau saya suapi gak? “
Khiya naik darah. Kedongkolannya sudah mencapai batas. Buru-buru Khiya menghampiri keduanya dan tanpa ba-bi-bu, bodoh amat tidak memperdulikan tatapan tajam gadis itu, Khiya duduk di tengah-tengah mereka. Mengeser gadis genit tadi yang terus mencoba mengikis jarak antara dirinya dan Farel.
Khiya langsung menyerobot makanan yang gadis itu sodorkan pada Farel.
Gadis itu spontan langsung menatap tajam Khiya, tidak suka. Khiya membalasnya dengan tatapan sengit.
“Pak, Gak masalahkan aku makan ini? Aku lapar banget soalnya....,” kata Khiya pada Farel dengan tampang seolah-olah ia datang pure karena lapar.
“Tapi makanan ini bukan buat kamu! “ sahut gadis itu, tidak suka.
“Eh, tapi ini makanannya udah di kasih ke pak Farel kan.... itu tandanya bukan hak milik kamu lagi,” sahut Khiya.
“Tetap aja. Ini makanan aku yang kasih.”
“Ya ampun, kamu kok udah ngasih tapi masih di jadiin hak miliki sih....kalo ngasih orang harus ikhlas dong jangan karena ada embel-embelnya,” kata Khiya sengaja menekan kata embel-embel.
Gadis itu kalah telak. Dia malu plus dongkol. Dan langsung pergi meninggalkan Khiya dan Farel.
“Jadi, bapak keberatan gak kalo saya makan makanan ini? Memberi makan orang kelaparan itu besar pahalanya pak.... “
“Pak....baca buku apa sih? “ tanya Khiya sembari menguyuh sandwitch yang tadi ia dapatkan.
Setiap kampus memiliki kebijakannya masing-masing. Ada sebagian kampus yang tidak memperbolehkan makan di perpustakaan tapi ada yang boleh juga seperti kampus Khiya, asal jangan sampai mengotori fasilitas dan tidak berisik.
“Pak, kenapa bapak suka baca buku? “
“Pak, nanti kalo—“
“Kamu bisa diam gak sih?” kata Farel tiba-tiba.
Khiya yang posisinya tengah mengunyah, kaget dan langsung terbatuk-batuk. Farel langsung menolong Khiya dengan memberikannya air mineral miliknya.
“Ya ampun, makasih ya pak...” kata Khiya setelah tenggorokannya terasa lega. “Untung ada bapak yang—“
Farel mendesah, kesal. “Lagian ngapain kamu ke sini? Ini perpustakaan bukan tempat orator.”
“Lebih baik kamu kembali ke kelas saja dan tolong jangan ganggu saya! “
Khiya cemberut. Dia hanya ingin menjaga suaminya. Itu saja.
“Saya janji gak akan ngomong terus, pak.. Saya bisa jadi patung yang gak banyak bicara asal boleh di sana,” sahut Khiya, sungguh-sungguh.
“Baiklah, kalo kamu tidak mau pergi, saya yang akan pergi.”
***