Bius

2286 Kata
“Jadi gimana? “ tanya Khiya tiba-tiba. Khiya sejak tadi sudah melihat gelagat aneh dari Aliya. Dua menit sekali, Aliya nampak mengamati ponselnya, seolah ada yang ditunggunya. “Apa yang gimana? “ tanya Aliya kaget. “Kapan Fauzan mau nikahin kamu? “ “Eh? “mata Aliya seketika meleber. “Aku mau jadi pengiring pengantin ya. Cariin aku baju yang cocok. Nanti aku ke sana bawa Farel gak masalah, kan? Tenang Farel makannya gak banyak kok,” kata Khiya, sengaja ngelantur. Sedangkan Aliya masih dengan pose mata lebarnya. “Entar kadonya mau apa?” tanya Khiya lagi. “Mau baju buat... “Khiya mengantung kalimatnya sembari menaik-turunkan alisnya, membuat Aliya makin melotot. “Jangan aneh-aneh ya, Kha! Gue pecat Lo dari list sahabat,” kata Aliya langsung. “Kosong dong. Kamu kan gak punya sahabat selain aku,” kata Khiya percaya diri. “Kalian maksudnya itu, baju buat kondangan loh, emang aneh? “ “Terus kenapa ruh alis naik-turun? Lo sengajakan buat gue berpikir yang gak-enggak.” Khiya terkekeh. “Makanya cerita dong, biar aku tahu perkembangan terkininya.” “Belum ada apa-apa tahu, Ky. Kita baru saling kasih profosal taaruf aja. Terus juga, gue masih sibuk nyusun skripsi keles....” “Oh..” Khiya bergumam pelan. “Terus kenapa dari tadi liatin ponsel terus? “ “Eh, jangan bilang Lo ngira gue lagi chatingan sama Fauzan...gue dari tadi cek ponsel nunggu notif dosen buat jadwal bimbingan.” “Serius? “ “Iyalah, emang gue abg alay yang mau kirim pesan gitu.. Gak mungkin.” Khiya terkekeh. “Aku pikir ada yang kasmaran.” “Kasmaran dari hong kong, yang ada sengsara-man,” kata Aliya dengan logat bule belepotan-nya. “Khy sumpis gue laper parah....” Aliya mengelus pelan perut datarnya. “Mau makan? “ Aliya mengangguk cepat. “Gue liat di dalam mall tadi ada food court baru, menunya enak-enak, kayaknya. Entar kita mampir ke sana yuk.” “Yuk, sekarang aja. Mobilnya juga masih lama.” “Yuk....” sahut Aliya bahagia. Keduanya lalu berjalan menuju tempat yang Aliya katakan. Food court itu terbilang ramai tapi tidak sampai padat yang menyebabkan orang harus mengantri terlalu lama untuk mendapatkan makanan mereka. Food court ini menyediakan beragam jenis makanan Indonesia dan juga mengusung tema budaya lokal dalam menu dan suasana food court. Khiya dan Aliya hanya menunggu sepuluh menit untuk mendapatkan menu makanan berat. Khiya memesan nasi goreng telur dengan segelas teh hangat dan Aliya memesan mie ayam bakso dan segelas jus jambu. “Enak ya, kuahnya banyak juga...” Aliya tersenyum lebar. Aliya memang manusia pencinta kuah. Jika makan-makanan berkah, yang pertama kali Aliya habisi pasti kuahnya. “Kayaknya setiap ke sini, kita mesti mampir ke sini ya,” sambung Aliya lagi. Harus Khiya akui dia juga sangat suka nasi goreng yang dia pesan, tidak terlalu manis tapi juga tidak terlalu pedas. Semua sesuai dan pas. “Setuju sih, minumannya juga seger banget,” tambah Khiya. “Iya ih. Harga juga pas di kantong. Bye kenapa kita jadi kayak ngiklan ya..” Aliya terkekeh. “Tapi emang worth it sih...” Keduanya lalu tertawa pelan. “Jangan lakukan hal bodoh!” Di tengah keramaian, samar-samar terdengar suara penuh penekanan dari meja di samping Khiya dan Aliya. Pemilik suara itu membelakangi Aliya dan Khiya dengan ponsel tertempel di telinganya. “Saya tidak butuh bantuan kalian! Saya bisa sendiri,” katanya lagi, kali ini dengan nada rendah, namun kaya akan penekanan. Gadis itu menyadari bahwa suaranya sedikit memancing orang menoleh kearahnya. “Kaget deh...” Aliya mendengus pelan. Khiya masih memperhatikan gadis itu, entah kenapa Khiya seperti pernah melihatnya. Tiba-tiba, gadis itu menoleh ke arah Khiya, tatapan matanya tajam di bawah topi yang menutupi setengah wajahnya. Khiya tersadar dan berpura-pura tidak melihat ke arah gadis itu. “Dia kenapa liat ke sini? “tanya Aliya mencuri pandang, tangannya masih sibuk menyambung mie masuk ke dalam mulutnya. “Aku kayak pernah liat gadis itu, tapi lupa di mana.” “Mending gak usah Lo liatin deh, ngeri ruh mata kayak ada panah, tajam banget.” Khiya malah terkekeh, sangat hiperbol. “Oh aku ingat sih...” kepala Khiya seperti menemukan berkas yang hilang. “Aku pernah liat dia kampus.” “Eh dia mahasiswa tah? Kok gak kayak mahasiswa sih, kek tante-tante,” spontan Aliya, mulut nyinyirnya mode on. “Astagfirullah ukhti, gak boleh ngomong gitu.” Khiya mengingatkan. Aliya terkekeh pelan. “Maaf, gue keceplosan, coba deh Lo liat rambutnya kayak di cat warni gitu. Setahu gue di kampus utama ada peraturan yang melarang mahasiswa atau mahasiswi nya buat cat rambut gitu.....tapi gak tahu deh kalo di kampus cabang. Beda mungkin ya? “ Khiya mengingat-ingat. “Aku belum baca full sih buku tata tertib kampus. Tapi kayaknya gak ada deh, orang di kampus yang rambutnya warna-warni.” “Terus Lo waktu itu liat di mana, Munaroh? Katany di kampus. Piye sih?” “Iya di kampus. Dia beli obat gitu sama temen aku yang jadi reseller obat.” “Obat apa? “ “Obat bius.” “Buat apa? “ Khiya menggeleng pelan. “Mungkin dia anak kedokteran.” “Hem...gak kayak anak kedok—“ “Yak.. “ Khiya mengingatkan sebelum sahabatnya itu mentransfer pahala karena keceplosan ngatain orang. “Udahlah, buka urusan kita juga. Jangan sampai percakapan kita ini malah berujung gibah.” Aliya setuju. Gadis itu lalu fokus pada minumannya. “Liat aja dia. Kemarin dia nolak gue. Dan sekarang gue bakal buat dia bersujud di kaki gue.” Meski tidak bermaksud untuk mencuri dengar, tapi suara itu sampai begitu saja ke telinga Khiya. Membuat Khiya bergidik ngeri. Dendam memang semenakutkan itu. “Dia belum tahu siapa gue!” gadis itu mendengus, diiringi senyum miring. “Gue gak akan pernah menerima kekalahan. Dia harus ada dalam genggaman gue! “ Aliya menoleh kaget. Kalimat itu sering dia dengar. Khiya menatap bingung Aliya. Aliya membisu. “Permainan ini akan sangat seru! “ gadis itu bangkit dan melangkah pergi. “Khy...” panggil Aliya langsung. “Gue mungkin gak liat muka dia tapi... gue tahu siapa dia.” “Siapa? “ “Ini gawat, Khy! Farel dalam bahaya! “ Deg! Hati Khiya seketika seperti berhenti berdetak. “Khiya, dia gadis yang pernah gue ceritain. Alasan Farel di pindahkan ke kampus cabang.” Khiya membisu, kaget. Kepalanya seolah memutar semuanya dari awal. “Obat bius...” suara Aliya tertahan. “Gue takut dia beli itu buat jebak Farel. Kegilaan gadis itu udah terkenal di seantero kampus. Dia gak pernah mau terima kata tidak. Apapun bakal dia lakukan buat hal-hal yang dia inginkan. Dia itu cewek gila, Khy! “ “Lo harus jaga Farel dari dia! “ “Dia bisa nekat ngelakui apa aja! “ ** Khiya berlari-lari di kampus, mencari keberadaan Farel. Khiya takut gadis itu akan melaksanakan misi buruknya kapan saja. “Ke mana sih hubby.” Khiya celingak-celinguk di perpustakaan, lalu ruang dosen. Farel tidak ada di sana. Khiya makin panik. Gadis itu lari lagi, hampir setengah kampus yang tergolong luas ini sudah Khiya singgahi dan dia belum menemukan Farel di mana- mana. Khiya kembali lari, dari lantai dua kampus, Khiya pergi ke arena parkir mobil. Khiya mencari mobil Farel, jika mobil itu masih ada di sana, besar kemungkinan Farel masih di kampus. “Mobilnya ada di sini.” Khiya menghela nafas lega. Gadis itu kembali lari, tidak peduli seberapa menyengat matahari dan seberapa berantakannya nafasnya sekarang. Khiya juga tidak peduli jika harus bermandikan keringat. Dia hanya ingin Farel selamat. “B-bapak ternyata di taman...” kata Khiya dengan nafas naik-turun. Khiya menghela nafas panjang, lega. Ia bahagia melihat Farel baik-baik saja. Farel menoleh. “Kamu kenapa? “ tanya Farel heran. Da*da Khiya terasa sesak, namun ia cepat-cepat menenangkan dirinya. “Saya kangen...” Farel mendengus, jelas dia tidak suka kalimat itu. “Maksud saya, saya kangen rumput, udara di sini...,” kata Khiya. “Dan juga pak dosen,” tambahnya pelan, samar-samar terdengar oleh Farel. “Pak hari ini saya gak ada kelas loh...” “Saya tidak peduli.” “Pak boleh gak saya jadi asisten bapak, sehari ini aja.” “Kalo gak jadi asisten dosen, jadi saya apa aja deh pak hari ini. Bawa buku bapak, bawa tas bapak, gak masalah kok. Asal saya bisa ikutin bapak terus.” Farel menutup bukunya. “Kamu ini kenapa sebenarnya? Kalo kamu tidak mata kuliah, kenapa kamu datang ke kampus? Dan kenapa kamu selalu mengganggu saya? “ “Pak saya gak maksud ganggu. Saya cuman.. mau jagain bapak aja.” Farel bangkit, pergi dari sana. Khiya cepat-cepat langsung mengekor. “Pak saya ada di belakang bapak.” “Pak kita mau ke mana sekarang? “ Khiya mengikuti Farel. Farel berjalan ke kelas. “Pak, bapak hari ini ngajar, kan? “ “Pak sini, biar saya bukunya saya yang bawa.” Farel mendelik, menjauhkan bukunya dari jangkau Khiya. Farel memang tidak mengatakan apapun, tapi raut wajah kesalnya terlihat nyata. Farel masuk ke kelas, meninggalkan Khiya di depan kelas. “Pak, saya tunggu di sini ya,” kata Khiya sebelum Farel jauh dari jangkaunya. Khiya juga melambai-lambai kecil ke arah Farel. Khiya memilih duduk emperan di luar kelas, sembari membaca buku n****+ digital di ponselnya. Khiya tidak peduli jika orang menganggap dirinya aneh. Beruntung tadi Khiya memakai rok lebar yang mempermudah akses duduk, ngepornya. Dua jam Khiya duduk di sana. Satu n****+ sudah ia habiskan dan bertempatan dengan itu Farel keluar kelas. Farel nampak terkejut mendapati Khiya yang ternyata masih di sana. Khiya langsung berdiri begitu melihat Farel. “Pak, sekarang mau ke mana lagi? “tanya Khiya. Lagi-lagi tidak di jawab Farel. Farel berjalan cepat ke arah perpustakaan. Khiya nampak kesulitan mengejar langkah lebar Farel, gadis itu beberapa kali hampir menabrak punggung orang karena tidak memperhatikan langkahnya dengan baik, beberapa kali juga hampir kesandung. Tapi Khiya maju tak gentar, dia tetap setia mengekor Farel. Mulai dari Farel di perpustakaan, ruang dosen dan kantin. Khiya tidak melepas sejenak pun langkah Farel dari dirinya. Ini memang berlebihan tapi hanya itu yang bisa Khiya lakukan. “Pak, sekarang mau ke mana lagi? “ Pertanyaan yang sejak tadi Khiya tanyakan. “Toilet.” “Oh...” Khiya malah manggut-manggut, masih belum konek. “Dan kamu masih mau ngikutin saya? “tanya Farel akhirnya. Nampak jelas wajah tidak habis pikir Farel pada kelakuan Khiya. “Eh....” Khiya masih loading. “Saya mau ke toilet khusus pria,” kata Farel sengaja menekan kata pria. Otak Khiya langsung paham. “Astagfirullah, pak. Kalo gitu saya tunggu di luar aja,” sahut Khiya enteng. Farel menghela nafas panjang. “Kali ini kamu sudah kelewatan batas! Saya tidak akan mentolerin hal ini!” kata Farel tajam. “Jangan berpikir saya diam berarti saya setuju. Saya hanya mencoba untuk tidak menyakiti kamu dengan kata-kata saya. Tapi nampaknya kamu tidak mengerti! Jadi mulai sekarang tolong pergi dari hadapan saya! “ “Pak saya minta maaf. Saya ngelakuin ini semua, karena ada orang yang mau berbuat jahat sama bapak. Ada gadis yang mau jebak bapak.” “Dan gadis itu kamu!” potong Farel, tajam. Khiya membisu. “Saya dosen di sini, dan kamu mahasiswi, jangan lupa hal itu! Jadi tolong jangan ganggu saya! Pergi!” “Pak tapi pak...” “Pergi! “ Khiya tidak pernah melihat Farel sekesal itu. Dengan patuh, Khiya pergi dari sana. Tapi sebenarnya Khiya tidak sepenuhnya pergi, dia terus mengawasi Farel dari jauh. Langkah Farel yang lebar membuat Khiya terus tertinggal. Khiya bahkan harus berjalan cepat tanpa memperhatikan langkahnya di koridor menuju lapangan kampus yang notabennya termasuk tempat yang ramai. Bruk! Khiya tanpa sengaja menabrak keras punggung seseorang. “Aw...” Khiya terduduk, kakinya sedikit keseleo. “Ya ampun, maaf, saya gak sengaja.” “Tidak masalah. Itu bukan salah kamu,” kata Khiya pelan. Khiya berusaha untuk berdiri, dia tidak bisa melepaskan Farel sejenak pun. “Duh....” Khiya meringgis. “Sebaiknya kaki kamu saya kompres dulu, biar gak nyeri.” “Ehm, gak perlu.” “Saya mohon. Atau nanti kaki kamu bisa bengkak.” Khiya menimbang-nimbang, dia tidak ingin kakinya bengkak. Dia sudah lama tidak kuliah dan kalo kakinya bengkak itu akan membuat dirinya harus libur kuliah lagi. Khiya dalam dilema, namun akhirnya dia mengangguk setuju. Pria itu langsung pergi ke kantin untuk mencari es batu sedangkan Khiya, dia memilih menunggu di bangku yang berada di sebelaj pohon yang cukup rindang hingga menamengkan dirinya dari sinar matahari. “Iya, target sudah masuk perangkap.” Khiya mengintip dari balik pohon. Ada seorang pria yang tengah berbicara di ponselnya. Orang itu berdiri membelakangi Khiya. “Kemungkinan dia akan sampai di Jalan bunga sepuluh menit lagi.” “Jalan bunga? “Khiya bergumam pelan, hatinya kenapa tiba-tiba terasa tidak nyaman. “Oke...senang berkerja sama dengan kamu. Selamat bersenang-senang dengan pak dosen.” Deg! Khiya tertegun. Orang itu pergi dari sana. “Eh, ini es batu...” Khiya langsung berdiri, menahan rasa sakit di kakinya. “Eh, kamu mau ke mana? “tanya pria itu bingung. Khiya tidak memiliki waktu untuk bercerita, dengan berjalan terseok Khiya memaksa kakinya. Ia harus sampai ke jalan bunga sebelum Farel tiba di sana. “Tapi bagaimana caranya! “ Khiya mendesah bingung. Jika harus mengambil mobil di parkiran, itu akan memakan waktu lagi. Dan Khiya juga tidak bisa mengendari mobil dengan kecepatan cepat. “Ya Allah, tolong hamba....,”lirih Khiya. Khiya mendengus pelan, merasa tidak berdaya. “Eh, Khy...” Khiya menoleh, seorang gadis mengendarai vespa berhenti di sebelah Khiya. Gadis itu, gadis yang Khiya temui di kantin. “Lo kenapa berdiri di pinggir jalan gini? “tanyanya, bingung. “Lo butuh tumpangan?” tanyanya lagi. Ya Allah....terima kasih atas pertolongan Engkau. “Iya, tolong antar aku ke jalan Bunga. Aku mohon sekarang...,” pinta Khiya. “Ayo naik, gue antar ke sana.” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN