“Udah tenang aja. Jangan tegang kayak patuh gitu.”
“Hem...aku takut, Yak. Gimana kalo ternyata penyakit itu makin parah karena aku ceroboh? “
“Gak lah...Insyallah, Lo baik-baik aja. Ditambah lagi kan udah dapat kabar gembira dari suami tercinta,” goda Aliya. “Jangan pesimis deh, itu support sistemnya udah spesial banget, dari kalangan para cogan.”
“Apaa sih, Yak...” Khiya tersipu malu.
“Enak ya yang gak jomblo punya support sistem, apalah daya yang JOMBLO,” kata Aliya sengaja menekan kata jomblo.
“Jomblo?” Khiya terpancing. “Yang di rumah sakit itu siapa? Hem... Dokter Fauzan apa kabar ya? Entar ada gak ya dokter Fauzan....,” goda Khiya.
Aliya membisu.
Khiya tertawa puas melihat wajah Aliya.
“Jahat banget, isss....” desis Aliya, pelan.
“Tahu gak Yak...pas kecelakaan itu dokter Fauzan cemas banget. Dia bahkan nungguin kamu sampai kamu sadar.”
“Iya, kah? Gue gak liat dia.”
“Iya dia gak mau masuk pas kamu sadar, langsung pulang buat ngurusin mobil kamu.”
“Hem...” Aliya bergumam pelan.
“Beliau baik ya, Yak ....”
“Terus kenapa? “ sahut Aliya, sewot. Sudah tahu mau dibawa ke mana percakapan ini.
Khiya terkekeh.
“Udah ah, gak usah bahas dokter Fauzan. Entar dia keselak disebut muluk.”
“Cie perhatian banget....”
“Khiya....” Aliya menatap tajam Khiya. “Gue masih gak terima di jodoh-jodohin gini. Meski dokter Fauzan gan—“
“Ganteng?” sela Khiya, cepat.
Aliya memutar bola matanya. “Iya, itu....meski pun gitu, tetap aja gue gak suka dengan semua ini. Gue juga gak kenal sama dia, gimana gue bisa nikah sama dia?
“Ya, kenalan lah. Taaruf.”
“Enteng bener ya mulutnya, bun,” sindir Aliya. Khiya lagi-lagi terkekeh.
“Gimana mau kenalan? Dia aja gak ada tuh niatan.”
“Oh jadi ceritanya, lagi nungguin...”
“Apaan sih, Khy. Ah Lo mah, bukan gitu.”
“Terus...? “
“Terus apa? “
“Ya...kamu suka gak? “
“Suka apa? “
“Suka dokter Fauzan.”
“Ck! Udah ah gue gak mau bahas lagi.”
Kali ini Aliya terlihat sangat kesal. Khiya menyadari hal itu.
“Oke, iya, gak bahas lagi.” Khiya melakukan gerakan seolah mengunci mulutnya. “Hem...”
Dua puluh menit, mereka sampai di depan rumah sakit. Begitu turun, Aliya terlihat ragu untuk masuk.
“Khy, gue tunggu di depan sini aja deh,” kata Aliya menghentikan langkahnya.
“Mau ngapain di sini, Yak? Mending ikut masuk.”
“Gak ah....” Aliya bersikeras.
“Takut ke temu dokter Fauzan?” tebak Khiya, benar. “Tenang, dokter Fauzan bilang dia lagi ada operasi jadi aku konsultasi sama dokter lain.”
“Oh...”Aliya mengangguk pelan, mempertimbangkan perkataan Khiya.
“Jadi mau ikut, kan?” tanya Khiya lagi.
Aliya mengangguk pelan.
Khiya melakukan pemeriksaan dan mengatakan ruam di wajah Khiya tidak permanen dalam beberapa hari akan sembuh jika Khiya banyak istirahat dan mengkonsumsi obat.
“Tuh dengerin Khiya....jangan banyak mikir. Istirahat dan jangan lupa minum obat,” kata Aliya begitu mereka keluar dari ruangan dokter.
“Iya...iya....” Khiya memutar bola matanya malas. “Kamu lama-lama mirip Farel, alarm obat,” sambung Khiya.
Aliya tertawa mendengar suara ketus Khiya saat mengatakan alarm obat. Khiya benar-benar tidak suka harus terus diingatkan, dia sakit tapi tidak pikun. Itu yang pernah Khiya katakan padanya.
“Khiya, Aliya....”
Panggil seseorang dari belakang, membuat kedua gadis itu berhenti. Khiya menoleh begitu pula Aliya, yang setelah menoleh sedikit mundur ke belakang Khiya, berharap dirinya tertutupi dengan tubuh Khiya.
Dokter Fauzan menghampiri mereka, membawa secarik kertas.
“Khiya, maaf, tapi saya lupa memberi tahu kamu kalo ternyata kertas kamu tertukar dengan hasil salah kemarin.”
“Kertas pemeriksaan, dok? “
“Iya. Saya baru menyadarinya kemarin. Dan saya lupa kalo saya tidak punya nomor ponsel kalian untuk memberi tahu hal ini. Saya juga lupa bertanya pada Aliya alamat rumah kamu.”
“Oh...” Khiya menerima kertas yang Fauzan berikan. “Tidak masalah, Dok. Lagian gak ada hal mendesak dan gak fatal juga.”
“Sekali lagi saya minta maaf secara individu sebagai dokter, saya telah melakukan kesalahan.” Raut wajah Fauzan sendu. Dia benar-benar merasa bersalah atas insiden ini.
“Gak papa, dok.” Khiya tersenyum, agar Fauzan tidak lagi merasa bersalah.
“Terima kasih, Khy.”
“Bulan depan saya konsultasi dan periksa sama dokter lagi ya...”
Fauzan mengangguk.
“Apa saya boleh minta nomor ponsel kalian..?”
“Kalian?” Aliya bergumam pelan. Setahunya itu kalimat jamak yang artinya terdiri dari dua orang paling sedikit.
Khiya menyembutkan beberapa digit nomor ponselnya.
“Aliya, apa saya juga boleh minta nomor ponsel kamu? “tanya Fauzan.
Fauzan beralih pada Aliya yang sejak ke datangan Fauzan Aliya setia untuk tetap menunduk, seolah jika Aliya tidak melihat Fauzan, Fauzan juga tidak akan bisa melihatnya.
Khiya sedikit menggeser tubuhnya. Tidak membiarkan Aliya menjadinya pundaknya sebagai tameng untuk bersembunyi.
“B-buat apa? “tanya Aliya, berusaha untuk menekan suaranya agar terdengar datar.
“Nomor Khiya sudah cukup, kan? “ Aliya mengangkat sedikit kepalanya, tidak melihat ke arah Fauzan. Ia mengangkat kepalanya hanya untuk terlihat menghargai lawan bicaranya.
Fauzan tersenyum, senyum yang sebenarnya membuat Aliya seperti terkena serangan membeku tiba-tiba.
“Agar kalo saya mau ke rumah kamu, saya bisa hubungi kamu dulu. Kata orang yang saya baca di internet, sebagian cewek tidak suka kalo ada tamu yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan.”
Khiya menahan tawanya untuk mengoda Aliya.
Ck! Nih dokter gak liat ada Khiya apa? Habis deh gue digodain Khiya, batin Aliya.
“Boleh? “tanya Fauzan lagi.
Aliya ingin semua ini cepat berakhir. Dia langsung menyebutkan nomor ponselnya, lalu menarik Khiya untuk segera pulang.
“Hem.... Hem.... “ Khiya memulai aksinya.
Aliya pura-pura b***k.
“Hem...hem... hem.... “
Aliya masih bertahan dengan cosplay budeknya.
“Hem...hemmmmmm.... “Khiya menaikan volume suaranya.
Kali ini Aliya langsung mendelik pada Khiya. “Kenapa tenggorokan Lo? Dari tadi hem, hem, muluk,” ketus Aliya.
“Terus kenapa tuh senyam-senyum, habis nonton drama korea?” cibir Aliya tidak terima Khiya tengah menahan tawanya.
“Uluulu....jangan marah dong, cepat tua loh...”
“Auah, gelap.”
“Idih ngambek ya.”
“Gak.”
“Kita makan dulu yuk, sebelum pulang. Mau makan apa? “
“Gak tahu.”
“Gimana kalo somai di dekat cafe favorit kita. Sekalian kita ke sana. Tadikan kamu ngajakin ke sana juga. Gimana? “
“Terserah.”
“Ayo dong, Yak, jangan marah. Aku minta maaf deh.”
“Minta maaf muluk, dikira gue panitia sembako maaf.”
Khiya tertawa, meski sedang mode ngambek, Aliya tidak pernah lupa dengan selera humornya.
“Ya udah jadi mau apa? Mau Fauzan? “
Aliya mendelik, tajam.
“Maksud aku, mau gak bahas dokter Fauzan. Gitu loh maksudnya.”
“Eleh, ngeles terus kayak koruptor.”
“Serem amat bawa-bawa koruptor. Aku kan gak berdasi kayak mereka, apa lagi tidur pas sidang.”
Aliya menatap Khiya lalu rasanya pecah. Entah kenapa bagi Aliya itu lucu.
“Nah gitu dong, Yak. Senyum itu ibadah. Jangan cemberut terus, kasihan dokter Fauzan entah, kalo istrinya cemberut terus.”
“KHIYA!!! “
Khiya tertawa puas.
**
Khiya rindu menjadi Sania. Sania yang bisa leluasa mengatakan apa pun pada Farel. Tanpa ragu atau apa pun.
Khiya meraih ponselnya. Untuk membunuh rasa rindunya berinteraksi dengan Farel sebagai Sania, Khiya mengirim pesan untuk dosennya itu.
‘Assalamualaikum, pak dosen.. ‘
Ketik Khiya.
Dalam hitung seperkian detik. Farel langsung membalas pesan Khiya. Ini tentunya menjadi angin paling menyejukan bagi Khiya, Khiya sampai memeluk-memeluk bantal sangking salah tingkah.
‘Kenapa kamu tidak masuk kuliah hampir satu pekan? Kapan kamu masuk kuliah? ‘
Pesan yang Farel kirim membuat Khiya terdiam sejenak. Khiya melirik cermin yang menampilkan pantulan dirinya yang tengah duduk di ujung ranjang.
“Kapan aku bisa masuk kuliah? “ gumam Khiya, sedih. Ruamnya belum hilang sepenuhnya. Bagaimana bisa ia menemui Farel seperti ini, Farel juga akan menatap Sania sebagai gadis lemah. Khiya tidak bisa datang kuliah seperti ini.
Tidak masalah Khiya, ruam ini sebentar lagi hilang, sugesti Khiya menenangkan dirinya.
‘Kenapa pak dosen kangen Sania ya?’ ketik Khiya. Khiya tahu Farel pasti tidak akan menjawab, itulah tujuan Khiya. Khiya ingin mengalihkan pertanyaan Farel.
Khiya tertawa lalu mengetik kembali.
‘Sania kangen....Kangen kampus, kangen pak dosen juga.
‘Saya mau masuk kuliah lagi asal pak Dosen mau terima permintaan maaf saya.”
‘Baiklah saya terima.’
“Beneran di terima, Pak. Berarti sah,ya.. Alhamdulillah sah. Jadi bapak kapan mau ke rumah saya, orang tua saya pasti senang liat bapak.. “
.
.
‘Assalamualaikum pak dosen.’
Pesan itu datang, tepat saat Farel sedang membaca chatan antara dirinya dan Sania.
‘Kenapa kamu tidak masuk kuliah hampir satu pekan? Kapan kamu masuk kuliah?’
Farel menatapi isi pesan yang dia balas hanya dalam seperkian detik. Hal ini tidak pernah terjadi, ini pertama kalinya Farel secepat itu membalas pesan mahasiswinya.
“Apa yang saya tulis? “Farel bergumam pelan, seolah tidak percaya bahwa jari-jarinya bergerak dan membentuk semua kata itu.
Farel merasa heran dengan dirinya. Farel langsung menyimpan ponselnya di nakas, mencoba menyibukkan diri dengan tugasnya, tapi hal itu tidak terjadi lama, Farel terus bertanya-tanya mengenai jawaban Sania.
Farel kembali meraih ponselnya, tidak ada balasan dari Sania. Entah perasaan dari mana, Farel merasa seperti sedikit nyesek. Dan perasaan selanjutnya dia merasa seperti bodo*h terlalu antusias, padahal Sania biasa saja.
Farel kembali menjauhkan ponsel darinya, kali ini Farel juga mematikan data. Jika dia tidak mau menjawab, kenapa dia butuh jawaban...
Setengah jam berlalu, Farel berhasil fokus. Dia menyelesaikan semua tugasnya. Farel meregangkan pinggangnya, sebelum bangkit dari kursi, lalu melakukan olahraga ringan untuk pinggangnya yang sejak tadi harus terus duduk.
Farel hendak ke dapur, dan melihat kamar Khiya masih terang, pertanda gadis itu belum tidur.
“Dia sakit...tapi selalu kuat begadang,” gumam Farel. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Farel.
Farel tidak jadi ke dapur, dan memilih balik ke kamarnya. Farel mengambil ponselnya, menghidupkan kembali data seluler m, seketika ponselnya dipenuhi suara notif pesan.
‘Saya mau masuk kuliah lagi asal pak Dosen mau terima permintaan maaf saya.”
Kening Farel berlipat. Dia pikir, semua sudah selesai. Ternyata Sania masih membahas hal itu.
‘Baiklah, saya terima.’ Balas Farel, singkat. Memangnya kalimat apa yang harus dia tulis selain kalimat itu?
Dari aplikasi whatapps Farel beralih ke aplikasi ipusna—aplikasi digital perpustakaan nasional, di sana dia bisa meminjam beberapa buku untuk referensinya. Lalu Ferel juga membuka google scholer untuk membaca jurnal terkini guna meningkatkan wawasan dibidang pendidikan. Farel sampai lupa kalo tadi ada pesan masuk.
Farel baru ingat saat dia hendak tidur.
Farel membuka pesan dari Sania.
‘Beneran di terima, Pak. Berarti sah,ya.. Alhamdulillah sah. Jadi bapak kapan mau ke rumah saya, orang tua saya pasti senang liat bapak....’
Dan dia merasa ajib dengan manusia bernama Sania itu.
“Sepertinya dia perlu di ruqiyah,” gumam Farel. Tanpa sadar Farel tertawa.
Sudah lama rasanya dia tidak tertawa selepas ini. Sudah lama sekali....
**
Khiya dan Farel makan pagi bersama seperti biasanya, tidak ada percakapan yang mengudara tanpa topik, yang terdengar hanya suara sendok dan garpu yang saling bercerita. Sedangkan Khiya dan Farel mereka seperti bisu. Entah Farel yang terlalu menikmati makanan, sampai lupa ada manusia lain di hadapannya bernama Khiya. Dan Khiya yang tidak mengerti kenapa begitu sulit baginya untuk membangun percakapan dengan Farel, saat dirinya menjadi Khiya.
“Hubby....” Khiya mencoba untuk menyela suara sendok dan garpu yang bercerita.
“Iya?” Farel mengangkat kepalanya, menatap Khiya dengan seksama.
Dan hal itu justru membuat Khiya malu.
“By, liat ruam di wajah aku sudah hilang.”
Farel menatap fokus wajah Khiya. Dua tersenyum kecil. “Bagus kalo gitu.”
“Aku mau izin kuliah lagi, besok dan beraktifitas seperti biasanya. Bolehkan hubby? “
Farel mengangguk, pelan. “Tapi jangan lupa untuk jaga kesehatan kamu.”
Khiya mengangguk cepat. Dia sangat bahagia. Jika Farel tidak ada di hadapannya ingin rasanya Khiya melompat bahagia.
“Iya, By.”
Farel mengangguk sekilas, sebelum kembali fokus pada makanannya dan keheningan kembali datang di antara keduanya.
Tapi kali ini bagi Khiya berbeda. Meski hening, dia tidak merasakan itu, di benaknya terlalu sibuk dengan beragam komentar. Khiya tidak sabar menjadi Sania lagi.
.
.
“Yak, besok aku udah boleh kuliah. Ruam di wajah aku juga udah hilang sembilan puluh sembilan persen.” Khiya memampangkan wajahnya sepenuh layar ponsel.
“Bagus kalo gitu. Besok gue jemput deh.”
“Eh, gak usah, Yak. Sekarang aku gak lagi trauma sama mobil. Aku mau bawa mobil sendiri.”
“Yakin, Lo? Entar kayak kemarin, lo gemetar.”
“Yakin Yak. Pas kecelakaan ban pecah itu, mata aku kayak terbuka gitu. Perasaan takut gak tahu kenapa hilang aja gitu. Aku gak takut lagi.”
Aliya menggut-manggut di depan layar ponsel. “Terus gimana? Lo mau ke rumah gue dulukan buat pinjam mobil? “
“Gak, Yak. Hari ini aku mau ke rumah lama aku. Mau ambil mobil lama papa, sayang banget gak pernah dipakai selama ini. Terus aku juga mau servis mobil, aman atau gak buat dipake, plus aku mau sewa penitipan mobil di sorom mobil yang kebetulan dekat sini, Yak. Jadi nanti, setiap pagi aku bisa ke kampus pake mobil itu tanpa ketahuan Farel.”
Khiya tersenyum puas membayangkan semua rencana yang sudah diaturnya sedemikian rupa.
“Yak, sibuk gak? Temenin aku ya hari ini... “
“Oke, gue siap-siap deh. See you..assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
**