Jarak dekat

3310 Kata
Jika orang tidak tahu, mereka mungkin saja akan berpikir bahwa Farel, mahasiswa bukanlah dosen. Wajah yang masih muda dan gaya dengan kemeja, salah satu alasannya. Selain itu juga, kesukaan Farel yang lebih suka menyendiri di perpustakaan atau di taman dan kali ini Farel memilih untuk duduk di taman, menikmati sinar matahari sebelum masuk ke kelas, sepuluh menit lagi. Saat Farel tengah membaca, terdengar suara langkah cepat kearahnya. “B-bapak ternyata di taman...” Farel menoleh, seorang gadis dengan gaya pakaian... edgy. Berdiri sejauh lima kaki dari tempat Farel duduk. Itu Sania. Farel tersenyum kecil. Akhirnya dia kuliah lagi. Farel masih berhutang maaf pada Sania. Sejujurnya Farel merasa bersalah atas insiden pingsannya Sania dan bahkan tidak menolong gadis itu. Tapi saat Farel hendak mengatakan kalimat maaf, tapi Farel menyadari kalo gadis itu nampak kesulitan bernafas. “Kamu kenapa? “ tanya Farel akhirnya. Dan selanjutnya Farel menyesali pertanyaannya tadi. Karena seperti biasa gadis itu akan menjawabnya dengan ngelantur entah kemana. Bahkan Khiya sampai mengikutinya. Farel Pikir saat dia mengajar selama dua jam, Khiya akan berhenti mengikutinya, tapi hal itu tidak terjadi, gadis itu malah duduk ngepor di lantai membuat mahasiswa berbisik-bisik. “Cantik ya...” “Anak jurusan mana? “ “Masih lama gak sih kuliahnya ? Keburu pergi entar dia.” “Eh itu punya gue. Jangan ganggu.” Itulah desak-desuk yang terjadi. “Kalian bisa keluar kalo rapatnya belum selesai,” kata Farel tajam. Spontan menghentikan obrolan ilegal mereka. Mereka ciut dan kembali fokus mendengar penjelasan Farel. Farel memfokuskan diri, agar tidak lagi terdistrak mengenai Sania lagi. Tidak terasa dua jam berlalu. Dan saat Farel keluar. Sania masih di sana dan langsung melontarkan kalimat tanya, “Pak, sekarang mau ke mana lagi? “ Farel mengabaikan semua itu dan terus berjalan. “Tuh cewek genit banget sih... “ “Ngapain buntutin pak Farel.” “Anak jurusan mana sih?” “Siapa namanya? “ “Oh... Masih semester satu kan? “ “Ih gak tahu malu banget.” “Ganjen.” “s**l, dia nyurih stars! “ “Pengen gue jambak jilbabnya. Sok cantik banget.” Farel mendengus. Ia menghentikan langkahnya tiba-tiba. Apa gadis di belakangnya ini tidak mendengar semua perkataan desak-desus itu? Dia pura-pura tidak mendengar atau memang tidak dengar? batin Farel. “Pak, sekarang mau ke mana lagi? “ Pertanyaan yang sejak tadi membuat telinga Farel panas. “Toilet.” “Oh...” ‘Hanya oh', Farel tidak habis pikir. Seharusnya gadis itu merasa malu dan pergi, bukannya manggut-manggut sembari membulatkan mulutnya membentuk kalimat oh. Farel tidak mau mengatakan hal-hal yang menyakiti gadis itu, maka sejak tadi Farel hanya diam. Tapi liat yang terjadi, dia semakin melupakan batasnya. Sania bahkan lupa, kalo dia wanita dan wanita macam apa yang dengan santainya ingin ikut ke toilet pria? “Saya dosen di sini, dan kamu mahasiswi, jangan lupa hal itu! Jadi tolong jangan ganggu saya! Pergi!” Untuk pertama kalinya Farel membentak seseorang dalam hidupnya. Sania juga nampak kaget, dan spontan langsung pergi. Setelah Sania pergi, entah kenapa lagi-lagi Farel merasa bersalah. Apa dia berbuat salah lagi? Farel tertegun sesaat sebelum memutar langkahnya dari ke toilet menuju ke parkiran mobil. “Pak, tolong, pak...” seorang mahasiswa tiba-tiba mengadang pintu mobil Farel. “Ada apa? “ “Pak, teman saya kecelakaan di jalan dekat lampu merah. Gak ada yang nolongin dia. Tolong dia pak.” “Ya udah kalo gitu.” Farel menghidupkan mobilnya. Ikut panik mendengar kabar itu. “Pak teman saya ada di jalan sana.” Mahasiswa itu menunjukkan Farel ke jalan yang bisa terbilang sepi dan tidak ada tanda-tanda kecelakaan di sana. “Di mana? Tidak ada yang kecelakaan di sini.” Farel menoleh. Wajah cemas pria itu sudah tidak terlihat lagi. Dia malah sibuk tersenyum menatap layar ponselnya. “Tunggu aja, pak. Teman saya akan datang sebentar lagi.” “Sebentar lagi? “ dahi Farel berkerut. “Ya, Pak. Tuh teman saya datang...” Farel melihat ke kaca spion mobil. Ada seorang gadis berpakaian minim berjalan ke arah mobilnya. “Oke, tugas gue udah selesai. Selamat menikmati hari mu, Gladis.” Pria itu keluar dari mobil dan wanita yang tadi sudah duduk manis mengantikannya. “Hay, pak...sudah lama kita tidak bertemu, kan? Bapak kangen gak sama saya?” “Apa-apaan ini! “Farel meraih gagang pintu mobil. Dia harus keluar dari sana, sebelum terjadi fitnah. “Pak, mau kemana?! “ Gladis langsung menahan lengan Farel. “Gladis, lepas! Jaga kehormatan kamu sebagai wanita.” Farel menepis kasar tangan Gladis. “Kalo begitu bapak bisa menjaga kehormatan saya dengan tidak menolak saya lagi.” “Lagian pak di sini gak ada orang juga. Kenapa mesti malu, Farel.” Gladis sengaja menekan kata Farel agar menegaskan pada Farel, bahwa di luar mereka bukan berstatus sebagai dosen dan mahasiswa. “Pak, saya sangat cinta sama bapak. Saya benar-benar cinta, sampai saya rela buat ngelakuin apa aja buat bapak.” “Keluar dari mobil saya! “ “Saya gak mau!” teriak Gadis. “Kenapa kamu selalu menolak saya! Apa yang kurang dari saya? Semua orang mengantri untuk mendapatkan saya! Tapi kamu, kamu terus menolak saya seolah saya ini sampah!” Gladis mengeluarkan suntikkan dan tiba-tiba menyuntikannya pada Farel. “Kalo dalam keadaan tidak sadar kamu menolak saya, maka saya akan membuat kamu tidak sadar. Dan kamu akan jatuh dalam pelukan saya! “ Ya Allah tolong hamba... Di tengah kepalanya yang pusing, Farel berusaha untuk tidak jatuh pingsan. Dia meraih gagang pintu mobil, menepis tangan Gladis yang terus-terusan menahannya. “Kamu tidak boleh pergi Farel! “ teriak Gladis, murka. Farel menepis tangan Gladis dengan sisa kekuatan. Gladis mencoba menahan Farel, hingga baju belakang Farel tersobek. “Jika kamu tidak mau melakukan apa yang saya mau, maka saya akan mengatakan bahwa kamu mencoba memperkosa saya. Gladis mulai mengacak-ngacak rambutnya dan berteriak-teriak minta tolong. Kepala Farel terasa semakin sakit, efek bius mulai mengausai diri Farel. “Tolong saya, tolong....” Gladis terus berteriak. “Pak, tolong saya.... dia mencoba untuk memperkosa saya.” Beberapa warga menghampiri keduanya. Gladis berpura-pura menangis seolah dia tidak berdaya. Farel memegangi kepalanya. Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan tegap, kepalanya sangat nyeri. “Dia mencoba menjebak saya...” bohong Gladis, sembari menangis. Farel menggeleng pelan. Warga naik pita dan hendak memukuli Farel. “Stop! “ teriak Sania dengan nafas tersengal. “Dia tidak bersalah, gadis ini telah mencoba menjebak hubby! “ “Eh, wanita macam apa kamu ini. Kenapa kamu malah membela pria yang tidak punya moral ini! “hardik salah satu warga. “Tapi apa yang saya katakan memang benar. Saya sangat mengenal Farel, karena dia su—“ “Dia apa? “ “Dia, dosen saya. Dia baik dan tidak mungkin melakukan ini,” kata Khiya. “Jika kalian tidak percaya, kalian bisa membuktikannya sendiri. Liat robekan yang ada pada baju Farel. Kalo robekkan itu berada di belakang, berarti gadis itu lah yang bersalah dan mencoba memaksa Farel. Tapi jika robekkan itu berada di depan, Farel yang mencoba memaksa gadis itu.” Semua orang langsung mengecek kemeja Farel. Dan baju Farel robek di belakang. “Dia bersalah!” teriak Gladis. “Kamu yang salah! “Sania berteriak kencang. “Kamu mencoba untuk mengoda Farel, karena dia menolak kamu! “ Para warga menatap hina Gladis. Gladis terpojokkan. Gladis menatap tajam Farel.... Bruk “Hubby!! “ ** Farel jatuh pingsan. Para warga membantu Khiya untuk membawa Farel ke klinik kesehatan terdekat. Keadaan Farel baik-baik saja. Dia hanya pingsan sebagai reaksi dari obat bius yang Gladis suntikkan. “Arghhh....” Farel memegangi kepalanya yang masih terasa berat meski tidak lagi sakit. “Pak Farel....” Farel menoleh. Ada Sania duduk di sebelah ranjangnya. “Masih sakit ya pak kepalanya?” tanya Sania cemas. Farel ingin merubah posisi tidurnya menjadi setengah tidur, bersender pada dinding di ranjang tapi yang terjadi Farel malah merasa mual. Perutnya terasa seperti ada ombak yang menggulung di sana. “Eh, pak kenapa? Mau muntah ya?“ Sania langsung berlari kecil mengambil ember stalis, yang memang sudah disiapkan. “Ini pak, ayo muntah di sini.” Farel tidak mau. Dia mau ke kamar mandi, dia tidak mau merepotkan Sania. Tapi dia sulit untuk bergerak. “Ayo pak, gak usah malu. Saya gak masalah, kok...,” desak Sania. Tidak ada pilihan bagi Farel. Farel muntah di sana. “Ayo pak, keluarin aja, jangan di tahan. Kata bidan ini juga salah satu efek dari obat bius,” ujar Sania. “Sudah lega, Pak?” Sania spontan menepuk pelan punggung Farel. “Pak mau minum gak? “ Farel menggeleng pelan. “Masih pusing ya pak? “ Farel kembali menggeleng. Sania menatap cemas Farel. “Bener pak, gak kenapa-napa?” tangan Sania dengan santai bertengger di dahi Farel. “Dahi bapak agak panas. Apa perlu saya kompres? “ Farel mendelik, Sania segera menarik tangannya. “Maaf pak, gak sengaja.” Gadis itu tersenyum malu. “Saya baik-baik saja. Di mana yang lain? Badannya?” “Bidannya lagi ke rumah warga, ada yang lahiran mendadak.” “Semua? “ “Iya, di klinik ini cuman ada di bidan.” Farel berdeham pelan. Itu artinya di klinik ini hanya ada mereka berdua. “Terima kasih karena kamu sudah menolong saya. Tapi sebaiknya sekarang kamu pulang. Di sini tidak ada siapa-siapa, hanya kita berdua,” kata Farel pelan. “Hem...” Sania malah bergumam pelan. Memainkan ujung jilbabnya nampak ragu. “Saya baik-baik saja,” kata Farel lagi. “Pak, apa boleh saya.....menunggu bapak..,” cicit Sania, ragu. “Ya... di luar.... di luar juga tidak masalah,” ralat Sania, kali ini lebih yakin. Farel mengangguk pelan, membiarkan. “Kalo bapak butuh bantuan saya, jangan ragu panggil saya....” “Bisa kamu tanyakan, apa tidak masalah jika saya pulang dari sini? “ Sania mengangguk. “Nanti saat bidannya kembali akan saya tanyakan pak.” “Terima kasih.” Sania hendak melangkah pergi. Farel juga hendak memejamkan matanya, tapi lagi-lagi terjadi sesuatu pada Farel. Farel merasa gatal pada tubuhnya. “Gatal ya, pak?” Sania kembali memutar langkahnya, masuk. Dengan sigap, gadis itu mengambil air hangat dan handuk kecil. “Ini pak, coba dikompres,” Sania memberikan handuk hangat yang sudah ia rendam air hangat. “Emang gak menghilangkan gatal sih, pak... tapi bisa sedikit mereda rasa gatal. Tadi bidan bilang kalo gatal juga bisa terjadi karena efek obat bius.” Farel nampak canggung karena Sania masih di hadapannya. Beruntung Sania menyadari itu. “Pak, kalo gitu saya tunggu di luar ya...” Sania melangkah pergi. “Sania.” Farel menghentikan langkah Sania. “Terima kasih....” . . “Khiya gimana keadaan Farel? “tanya Aliya dari seberang telepon. “Alhamdulillah dia baik, Yak. Dia sekarang cuman butuh istirahat sebentar setelah itu boleh pulang.” “Dan Lo? “ “Aku? “ Khiya malah balik bertanya. “Kenapa? “ “Gue mau liat keadaan Lo, Khy. Panggilannya gue ubah jadi video call. Buruan angkat.” Khiya memeriksa wajahnya dulu, sebelum mengangkat video call dari Aliya. Khiya menyesal kenapa dia tidak menerima lipstik dari Aliya, sekarang bibirnya terlihat sangat pucat. Aliya bisa mengomel kalo seperti ini. “Aku baik-baik aja, Yak,” kata Khiya langsung sebelum Aliya membuka mulutnya. “Cuman bibir aku lagi pucat aja.” “Coba ceritain semuanya. Tadi Lo belum cerita versi lengkapnya.” “Cerita apa? Semua udah lengkap. Aku naik motor dianter teman, terus ditengah jalan ada macet, untung jalannya udah gak jauh, terus aku lari nyusul Farel. Udah gitu doang.” “Lari?” Aliya kaget. Khiya mengangguk pelan. “Lo dah minum obat belum? “ “Aku lupa bawa obat.” “Khiya! “ “Mau gimana lagi, Yak... aku tadi pagi cemas banget, sampai buru-buru,” sahut Khiya, pelan. “Ck! Gara-gara gadis itu...gila ya gadis itu....”Aliya berdecak pelan. “Udahlah, Yak....alhamdulillah semua sudah baik-baik aja.” Khiya menghela nafas panjang dan menyenderkan punggungnya di dinding. “Lo beneran gak kenapa-napa kan, Kha? “ tanya Aliya lagi. Khiya mengangguk. “Muka Lo makin pucat.” “Udah biasa, Yak. Kadang terlihat sakit, kadang sakit beneran. Selalu berputar pada kata sakit.” Khiya tersenyum sendu, perkataannya barusan benar-benar menampilkan apa yang ada di hatinya. “Jangan bilang gitu, Khy. Sejak kapan seorang Khiya selembek ini ? “ Khiya terkekeh. “Kamu pikir aku kerupuk, bisa lembek.” “Makanya, Lo gak boleh lembek gitu dong. Itu kalimat yang gak boleh Lo ucapin lagi. Gue gak mau dengar kalimat itu lagi,” ultimatum Aliya. Khiya mengangguk. “Siap nyonya Fauzan.” “Hey anda!” mata Aliya langsung melotot. “Seharusnya kamu jawab aamiin, bukannya melotot gitu,” sahut Khiya santai. “Yak, ponsel aku habis baterai. Obrolannya kita sambung nanti ya...” ucap Khiya pelan, sebelum mematikan panggilan video call. “Ya Allah, kenapa da*da aku rasanya sesak banget ya....” lirih Khiya. “Kayaknya aku kelelehan deh...,” Khiya baru hendak memejamkan matanya, tapi tidak jadi karena melihat Farel keluar dari klinik. Khiya langsung bangkit dari bangku. “Pak, Pak Farel mau pulang? “ “Iya, bidan juga bilang tidak masalah kalo saya pulang sekarang.” “Kalo gitu hati-hati ya pak dosen...,”kata Khiya pelan. Farel mengangguk pelan. “Dan kamu, pulangnya?” “Saya bisa naik ojek kok pak. Saya tahu, bapak kan gak mau semobil berdua doang. Bukan mahrom,” Khiya terkekeh. “Hem...” Khiya tersenyum, ia hendak melangkah mengiringi mobil Farel, tapi entah kenapa rasa sakit menujam kepala Khiya, tatapan Khiya juga mendadak kabur, tangan Khiya terulur ke udara. “Pak... “ Farel menoleh dan langsung menangkap tubuh ringki Khiya yang hampir terjatuh. Farel membantu Khiya duduk di kursi. “Kamu sakit? “ Khiya tersenyum kecil. Jika Farel tahu, kalo dia adalah Khiya si penyakit apa Farel juga akan menatap Sania sama seperti Farel menatap Khiya? Penuh iba? Khiya tidak mau! “Muka kamu sejak tadi memang pucat. “ Farel hendak masuk ke klinik memanggil bidan. Khiya langsung memegangi ujung baju kemeja Farel, menghentikan langkah Farel. “Tidak perlu, pak dosen. Saya baik-baik aja kok,” kata Khiya pelan. “Saya hanya kelelahan saja, pak.” “Tapi apa salahnya kalo diperiksa? “ “Gak perlu pak,” tegas Khiya. “Saya hanya kelelahan lari dari perempat jalan sampai ke sini. Udah gitu aja. Saya gak sakit! “ Farel membalik langkahnya menghadap pada Khiya. “Kamu lari demi nolongi saya? “tanya Farel. Khiya mendongak, menatap dalam mata Farel. Dia istri Farel, dan tidak masalah jika dia menatap mata suaminya, bukan? “Iya, pak.” “Kenapa? “ “Karena....”Khiya membisu, ingin rasanya dia bilang, karena dia mencintai Farel. “Karena saya tidak ingin terjadi hal buruk sama pak dosen.” Farel menghela nafas panjang. “Terima kasih.....” Farel tersenyum. “Dan maaf....” Khiya bahagia untuk pertama kalinya Farel tersenyum pada Sania. “Seharusnya sejak dulu saya lari biar bisa lihat pak Farel senyum,” kata Khiya spontan, masih terkesima. Senyum Farel langsung lenyap berganti wajah kesal karena lagi-lagi Khiya keceplosan menggodanya sebagai Sania. “Kalo gak salah, saya punya vitamin di mobil. Bisa buat tubuh kamu vit lagi. Akan saya ambilkan sebentar.” Khiya menatapi punggung Farel, senang rasanya bisa bicara dengan Farel seleluasa ini. “Ini, bisa langsung dikunyah.” “Terima kasih pak.” Khiya langsung memasukan vitamin itu ke dalam mulutnya tanpa tahu ternyata rasa vitamin itu asam. “Asam pak....” keluh Khiya. Wajah Khiya menampilkan ekspresi khas orang keaseman dan Farel mendengar kata asam ikut menampilkan ekspresi keasaman. Dan itu menjadi hiburan tersendiri bagi Khiya. Masyallah, suami siapa sih gemes banget pengen dikantongin, batin Khiya. Kriuk... Khiya memegangi perutnya yang dengan lancang bersuara gemuru karena belum diisi. “Suara apa itu? “Farel benaran bingung. Khiya tersenyum malu-malu. “Pak, mau bantu saya gak? “ “Ha? Apa? “ “Perut saya Udah demo karena dari tadi belum di kasih makan. Jadi.... Bapak mau gak temenin saya cari makan di dekat sini? “ Hening. “Kita carinya jalan kaki aja, gak usah bawa mobil. Bapak jalan di depan dan saya jalan di belakang bapak sejauh lima kaki. Gimana pak? Mau kan? “ “Bapak juga belum makan kan ? Terus tadi muntah, perutnya pasti kosong. Mending makan dulu. “ Farel menimbang-nimbang sejenak, lalu mengangguk setuju. Khiya rasanya ingin melompat-lompat mendapat anggukan Farel. Bagi Khiya ini seperti kencan pertama mereka. Miris, meski hampir setengah tahun, Farel bahkan tidak pernah mengajak Khiya jalan-jalam selayaknya pasangan suami istri. Farel terlalu sibuk dan Khiya yang terus sakit, itu alasan yang selalu ada di antara Farel dan Khiya. Tapi tidak dengan Farel dan Sania. “Saya tadi liat ada warung makan dekat sini. Bapak gak masalahkan makan di warteg? “ “Kenapa tidak? “ “Ya mungkin aja...secara bapaknya dosen, mungkin gak suka makan di warung kecil.” “Saya hanya dosen bukan miliarder yang banyak uang sampai harus merasa tidak pantas di warteg. Kalian semasa kuliah, saya juga termasuk anak kos yang langganan makan di warteg.” Ini pertama kalinya Farel, mencerita dirinya pada Sania. Farel tidak pernah melakukan ini pada Khiya. Khiya merasa Farel mulai membuka diri pada Sania. “Oh, pas bapak S1 di Universitas Indonesia ya, pak?” Farel mengangguk. “Wah, pasti di warteg bapak sering dapat bonus lauk nih dari bu warteg,” tebak Khiya. Farel menoleh, ke belakang. “Kamu kok tahu...” Khiya tersenyum misterius. “Tahu dong, pak. Kalo saya jadi ibu warteg juga, liat mahasiswa setampan dan sebaik pak Farel, pasti saya gak tahan buat kasih bonus kau ke pak Farel.” Farel memutar bola matanya. “Kamu mulai dengan kebiasaan buruk lagi!” “Tidak baik memuji-muji atau bahkan mengoda pria yang bukan makhrom kamu,” kata Farel. Tapi kamu suami saya Farel... batin Khiya. “Cukup orang yang akan menjadi suami kamu saja yang mendengar semua itu.” Di belakang, Khiya mengangguk-ngangguk . Setelah berjalan lima menit, akhirnya mereka sampai di warung makan yang Khiya maksud. Khiya memesan teh hangat, sayur capcai dan tempe bacem. Sedangkan Farel memesan tempe mendoan, dan sayur tumis kangkung. “Pak Farel suka kangkung? “ “Suka.” “Oh ternyata suka sayur itu toh...” Khiya bergumam, mencatat list sayur kangkung sebagai sayur favorit Farel setelah capcai. Di warteg itu di sediakan kursi panjang untuk konsumen yang hendak makan di sana. Khiya duduk di ujung kanan kursi dan Farel di ujung kiri kursi. Mereka duduk berjauhan. Keduanya lalu sibuk menyantap hidangan masing-masing. “Bu, saya pesan nasi kayak biasa. Makan di sini ya.” Seorang pria berbadan tambun 7berusia sekitar tiga puluh tahu, duduk di tengah, mengisi kekosongan di antara Khiya dan Farel. “Eh, tumben di sini ada cewek cantik.” Pria itu menoleh pada Khiya. “Makanan sendirian Neng? Mau abang temenin gak? “ Khiya tersenyum, tidak nyaman. “Namanya siapa neng? Cantik banget sih...” Pria itu menatap Khiya mulai dari kaki sampai ke kepala Khiya. Membuat Khiya merasa sangat risih. “Neng udah punya pacar belum... Kalo belum...” goda Pria itu, membuat Khiya makin tidak nyaman. “Eh, jangan takut sama saya neng, gak perlu duduk jauh-jauh dari saya….saya mah orang baik.” Pria itu hendak meraih lengan Khiya, tapi pergerakan tangannya langsung di tahan Farel yang sudah berdiri di sana. Dengan wajah tenang, Farel melepaskan tangan pria itu menjauh dari Khiya. “Pak, bisa geser sedikit….saya harus duduk di sini.” Aura Farel membuat pria itu dengan patuh mengikuti perintah Farel. Duduk menjauh dari Khiya. “Pacarnya ya mas?” tanya pria itu takut-takut. “Oh saya pikir tadi sendirian. Maaf ya, mas…” Farel duduk tepat di sebelah Khiya. Khiya tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi padanya. Khiya bahkan tidak bisa fokus pada makanannya karena dia terus memandangi Farel. “Kalo ada orang kayak gitu, kamu jangan takut. Kamu bisa pergi atau teriak biar dia gak ganggu lagi,” kata Farel pelan. “Pak Farel…” Farel spontan menoleh. “Terima kasih.” Tatapan mereka bertemu dengan jarak dekat. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN