Goncangan

1073 Kata
Aku menyungging, mulai mendekati ranjang. Turut duduk di sebelah Lucky. “Asal kalian tahu, perempuan itu pendamping Doni.” Keempat manusia di depanku mengernyit. “Semacam khodam?” Alis Geisya naik. “Aku menyebutnya ‘Batur’ seperti teman. Sosok itu bahkan lebih menguasai Doni ketimbang Doni sendiri. Aku sudah melihatnya dari dua sisi.” Ketika yang lain serius dengan penuturanku, Mbak Esti malah terbahak. Mematahkan segala persepsi. “Seriously? Jaman seperti ini kamu masih juga percaya dengan begituan?” Ia bersandar pada dinding, tepat di sebelah ranjang, dengan bersendekap. Membuat ketiga kawanku kembali hilang rasa percaya. Hanya Lucky yang tampak bimbang, antara percaya padaku atau hasutan Mbak Esti. “Aku yakin, otakmu sudah dicuci sama Doni, Mbak. Makanya kamu lebih memilih orang yang baru kau kenal, daripada aku adikmu sendiri.” Penuh jengkel aku mencoba menyadarkan. Meski aku tahu, ia masih pada pendiriannya. “Aku cuma mengatakan sesuai yang kulihat secara nyata. Aku sudah tak lagi peduli kalian mau percaya padaku atau tidak. Yang pasti, ini serius.” Kuberikan ekspresi tegang, agar mereka sedikit peduli. “Aku percaya.” Fara memberi secuil harapan. Ia mulai meneruskan. “Tadi, aku memang sedikit pusing. Apalagi kakiku habis diperban. Aku paling nggak kuat kalau lihat yang namanya darah. Makanya, antara sadar dan tidak, mataku bisa menangkap sosok tak kasat mata itu secara tiba-tiba.” Ia merentangkan tangan kanan padaku yang berada di tepi ranjang. “Dan aku percaya padamu,” ucapnya seraya melengkungkan senyum. Kuterima uluran tangan itu menggenggamnya lembut. “Uhuk, uhuukk!” Lucky memecah keseriusan kami dengan menggodaku. Kami mulai bisa larut dalam tawa. Tak lagi setegang sebelumnya. Namun, baru saja kami melupakan segala kejadian. Sebuah bencana kembali terjadi. Tiba-tiba gedung hotel terasa bergetar. Kami panik! Ketiga gadis dalam kamar ini histeris, apalagi Fara. Akibat kakinya yang terluka, ia tak bisa bergerak normal. “Gempa!” Geisya berteriak kencang. Ranjang mulai serasa bergoyang. “Ayo kita keluar!” Lucky berteriak. Kutatap lampu kamar yang tak bergerak seperti kami di bawah. Aneh sekali. Bahkan, barang-barang di atas meja pun masih diam tak bergeser. Apa ini? Sudut mataku seketika bergerak ke samping. Tepat di luar jendela, aku menangkap sesosok bayangan di sana. Ya, wanita berkebaya itu lagi. Dalam keadaan kamar yang masih bergoyang, aku mendekat pada jendela. Ingin rasanya meluapkan segala amarah pada sosok tak kasat mata itu. Penuh susah aku meraihnya. Sebab lantai terus bergoyang tanpa jeda. “Al, kamu ngapain?” Aku menoleh ke belakang. Melihat keempat orang yang sudah hampir di ambang pintu. Fara dipapah oleh Lucky dan Geisya. Sedangkan Mbak Esti sudah di luar kamar menanti. “Sebentar!” teriakku. Saat kubalikkan badan dan menoleh kembali. Tak ada lagi sosok wanita itu di sana. “Sial!” umpatku kesal. Segera kuikuti kawan-kawanku secepatnya keluar dari kamar dengan terhuyung dan meraba-raba mencari pegangan. Kami keheranan dengan keadaan luar. Tak ada pergerakan apa-apa di sini. Semua tampak tenang, bahkan terkesan sunyi. Hanya ada beberapa orang lewat, yang berjalan dengan begitu tenang. Lantas, mengapa kamar yang kami tinggali sebentar tadi terasa bergoyang? Aku semakin yakin, semua itu ulah Batur Doni. “Kenapa di luar sini baik-baik saja?” Geisya kebingungan, masih dengan merangkul sebelah lengan Fara di sampingnya. “Kalian mau percaya atau tidak. Aku tadi sempat melihat wanita berkebaya itu lagi di luar jendela. Ia melihat kita dalam kamar dengan pandangan tajam. Tapi aku kehilangannya saat menoleh.” Alis kami bertaut. Mendadak tengkuk terasa meremang. Aku menelusuri pandang ke segala arah. Kenapa aku merasa sedang diawasi? Ada sebersit rasa di d**a jika akan ada sesuatu yang akan mencelakai kami. Tetapi apa? Seseorang berjalan tenang melewati kami yang masih kebingungan. Kuhentikan langkahnya dengan mencegat. “Pak, maaf. Apa Anda merasakan ada gempa beberapa saat lalu di sini?” Semua turut melihat ke arahnya. Ia malah diam mengernyitkan dahi. “Gempa apa? Hanya ada angin besar di pantai tadi ‘kan? Jarak pantai dengan hotel ini juga cukup jauh. Jadi di sini hanya merasakan sedikit imbas angin, tak lebih.” Aku mengangguk, mempersilakannya kembali melangkah. “Lihat! Hanya kita yang merasakan.” Aku mengendikan bahu pada ketiga sosok di hadapanku. Lucky tampak menelan ludah, sedangkan Fara dan Geisya saling berpandang dalam rangkulan. Mbak Esti yang semula tak percaya, kini terlihat menampilkan mimik ngeri. Terdengar suara langkah berat mendekat. Kami menoleh berbarengan. Doni dengan muka polos datang membawa senyuman. Seketika amarahku memuncak. Begitu beraninya dia datang, setelah hampir mencelakai kami lagi. Langsung saja kuhunjam wajahnya dengan bogem mentah. Ia memekik, seiring teriakan para gadis. Lucky menarik kedua tanganku ke belakang, menguncinya rapat-rapat. Aku terus berontak, ingin meluapkan emosi. “Tahan, Al!” Lucky hampir kewalahan mencekal tubuh ini. Mungkin, wajahku kini sudah merah padam, menahan segala ego. Doni memegang rahang dengan melirikku sinis. “Apa maksudmu bocah ingusan?” Ia hampir membalas, tetapi dihentikan oleh hadangan Mbak Esti di depanku. Tangannya berhenti tepat seujung jari dari hidung mancung Mbak Esti, mengepal tertahan kuat-kuat. Rahangnya mengeras, dengan gigi bergemeletak. Lantas, menurunkan kepalan jemarinya dengan mendengus kesal. “Apa-apaan ini?” Rania dan seorang pemuda datang di belakangnya. Ia langsung meraih tangan Doni dan menyeretnya agak menjauh. Ia meraih dagu Doni dan memeriksa dengan memiringkannya sedikit. “Katakan padaku apa yang terjadi?” Rania mencecar Doni yang masih bersungut-sungut padaku. “Aldi yang memulai!” Kulihat rembesan darah keluar dari ujung bibirnya. Benar saja itu sakit, pangkal jemariku pun terasa masih berdenyut nyeri. “Kamu yang hampir mencelakai kami!” teriakku melengking, menonjolkan otot-otot leher menahan emosi. Lucky masih terus memegang tubuhku erat. Berusaha menghalangi gerakanku yang terus saja meronta. “Mencelakai bagaimana? Dari tadi Doni bersama kami!” Rania mulai membela kawannya. “Kami baru saja berpisah beberapa menit lalu,” tambah pemuda di sampingnya. “Bukan dia, tapi Dia yang di belakang Doni.” Semua terdiam, melirik ke bagian belakang tubuh Doni. Sepertinya tak ada yang tahu maksudku. Rania dan kawannya itu mengernyit heran. Menatap Doni dan aku bergantian. Lantas, mengendikan bahu. Mbak Esti membalik badannya ke arahku. “Kamu benar-benar sudah sinting. Aku nggak ngerti dengan pemikiranmu! Sudahlah, aku mau pulang!” Langkahnya menjejak kesal, menyenggol bahuku kuat dengan tubuhnya, memasuki kamar. Geisya dan Fara tampak saling berpandang. “Semuanya kacau, maafkan kami, Al. Aku juga mau pulang.” Fara menganggukkan kepala pada Geisya, memberinya kode agar memapahnya kembali masuk. Seketika Lucky melepas cengkeramannya. “I’m done, Al.” Kedua tangannya diangkat sejajar kepala, seperti menyerah. Sementara Doni dan kedua temannya sudah hilang tanpa permisi. Hanya aku yang berdiri dengan segala egoku. Tanpa kawan, tanpa dukungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN