Hilang Kepercayaan

1156 Kata
Langkahku gontai, begitu malas dengan keadaan. Liburan yang seharusnya menjadi healing dari seabrek tugas sekolah. Malah menjadi bencana nyata dan masalah baru untukku. Tak ada lagi yang ingin menoleh ke belakang. Aku yakin, mereka sudah malas dan hilang kepercayaan. Sudut mataku melirik Doni yang melambatkan langkah. Posisinya yang sedari tadi beriringan dengan Mbak Esti, kini memilih menjauh ke belakang, menyamai langkahku. Sampai berada tepat di sebelah kiriku. Kubuang pandangan ke kanan. Mencoba menjauh. Jemarinya sigap menarik pergelangan tanganku dan meremasnya erat. Kepalaku bergerak cepat memandang wajah orang yang sama tingginya denganku itu. “Apa maumu?” sergahku mengentakkan tangannya. Sepertinya yang lain tak sadar jika kami tertinggal jauh. Terus menjejak tanpa menoleh sedikit pun. Kucengkeram kerah bajunya kasar. “Jika memang kamu menginginkan Mbak Esti, bersainglah secara sehat. Tidak melalui ‘Dia’ yang ada di belakangmu. Licik!” Mataku melotot tajam padanya, dengan jarak wajah kami yang hanya sejengkal. Ia terkekeh, membuatku kian geram. Hampir saja kepalan tangan ini meluncur pada pipinya. Namun, sebuah tangan menghalanginya. Kutemukan wajah Papa menggeleng di sampingku. Kulepas kasar kerah baju Doni dan secepatnya berlalu meninggalkan. “Aldi!” panggilan Papa tak membuatku ingin kembali menoleh. Terlalu kesal hati ini. Harusnya wajah itu sudah menjadi sasaran amukanku. Bagaimana tidak? Karena kelakuannya, banyak orang menjadi korban dan terpisah dari kelompoknya. Sungguh aku tak tahu apa sebenarnya yang diinginkannya. Langkahku kian cepat, menyalip kawan-kawan yang lebih dulu berjalan mendahului. Kulirik wajah mereka yang keheranan saat melihatku berjalan mengentak. Namun, tak ada yang angkat bicara. Mungkin, mereka ingin membiarkanku sejenak. Menumpahkan segala kekesalan. “Aldi!” Hanya suara Geisya yang kudengar sebelum akhirnya menolehkan sedikit kepalaku ke samping. Tetapi tak menyurutkan langkahku menjauh. *** Di dalam kamar hotel, kuempaskan tubuh di atas ranjang. Memejamkan mata dari segala ingatan tentang Doni. Sudah berapa kali ia tega dan tanpa pikir hampir merenggut nyawa orang? Kenapa ia setega itu jika yang diinginkannya hanyalah cinta dari Mbak Esti? Aku mendengus kesal, meremas rambut dan berteriak untuk meluapkan amarah. “Arrgh!!” Aku pun kesal dengan Bagus. Harusnya ia lebih protektif dengan Mbak Esti sebagai calon istrinya. Untuk apa pergelaran tunangan kemarin, jika masih tak bisa mengubah sikapnya pada Kakakku itu. Ia yang dikenal dengan fisik besar dan kuat, nyatanya tak sebanding dengan perasannya. Terlalu lembek! “Al ....” Suara bass Papa tak membuat diri ini beranjak dan menghiraukan kehadirannya. Terlalu malas untuk berinteraksi dengan siapa pun. Tak ada lagi yang percaya denganku. Percuma saja! Aku bahkan dianggap sebagai orang yang tak waras. Kurasakan kasur bergerak turun, seiring gerakan Papa mendekat, duduk di tepi ranjang. “Kamu kenapa, sih, Al? Ada dendam apa kamu sama Doni?” Sigap aku membuka mata, melotot tajam padanya. Kutegakkan tubuh duduk di sampingnya. Mulai menumpahkan kekesalan. “Pa, tidak ingatkah Papa dengan segala kekacauan beberapa waktu lalu? Semua itu karena Doni! Kecelakaan yang kualami, Bagus, acara pertunangan, dan sekarang ... bencana angin tadi, adalah kelakuan Doni juga!” Papa menggeleng. “Bagaimana mungkin bencana angin seperti itu ulah seorang manusia? Ngaco kamu!” Lirikan matanya memandangku sinis. Aku tahu persis, Papa adalah orang yang begitu mementingkan logika. Jelas sekali tak ada kepercayaan di matanya. Meski dalam hatinya, ia tak ingin menganggapku sinting. Lucky mengetuk pintu, saat tahu ada Papa di dalam kamar ini. “Permisi, apa aku mengganggu?” Kening Papa yang sedari tadi mengerut, seketika melemas menatap perawakan jangkung Lucky di balik pintu. “Masuk saja, Ky. Temenin Aldi, nih. Jangan biarkan pikirannya kacau. Ajak dia menikmati liburan. Om mau melihat kondisi para korban di pantai.” Papa menggeser tubuh dan berdiri. Mempersilakan Lucky mengganti posisinya. Sudut mataku melirik gerakan Papa yang mulai meninggalkan kamar, ia hanya membalas dengan mengembuskan napas berat, lalu segera berlalu dan menutup pintu kasar. Kini beralih Lucky yang mendekat dengan wajah canggung. Diam tanpa ekspresi. Kami bagai orang yang tak saling kenal, diam dalam balutan resah masing-masing. Tak ingin k****a isi pikirannya. Pasti semua sama saja, tak ada yang percaya denganku lagi. Terlalu malas untuk memulai percakapan dengannya. “Dengar, Al. Aku bukan teman yang baru kau kenal. Paham betul dengan semua yang ada padamu. Aku percaya kamu tak pernah berbohong. Tapi, berilah aku bukti kuat, jika apa yang kau katakan bukan hanya halusinasimu saja.” Kubuang pandang darinya, melipat kedua tangan di d**a. Berusaha cuek tak menghiraukan. “Ayolah, Al. Kamu kayak nggak kenal aku aja!” “Gimana caranya kamu bisa percaya, kalau dalam pikiranmu apa yang kukatakan itu lucu?” Aku masih bersikeras tak ingin memandangnya. Ia terus mendesak dan menggodaaku dengan sejuta rayuan. Tak menyerah, hingga aku mulai tertawa melihat tingkahnya. Lucky benar-benar teman yang baik. Meski aku sudah tahu, itu hanyalah caranya agar aku tak lagi murung. Dalam hatinya tetap sama; tak percaya denganku. Brakk!! Pintu terbuka kasar, menampakkan wajah Mbak Esti dengan ekspresi cemas. “Fara ....” Hanya kata itu mampu membuat kami berdua berjingkat bangun. Gegas kami mengikuti Mbak Esti ke kamar para gadis. Di atas kasur, Fara telentang dengan napas kembang kempis, bersandarkan paha Geisya. “Apa yang terjadi?” sergahku mendekati keduanya. “Ia bilang melihat sesuatu di pojok tembok.” Geisya menuding tembok sebelah kanan, tepat di samping jendela yang langsung menuju kamar sebelah. Aku mencoba memeriksa, membuka dan melambaikan gorden untuk mencari tahu apa yang sudah mengagetkan Fara. Tak ada apa pun. Namun, saat sudut mata ini melihat ke arah jendela. Kutemukan wajah Batur Doni menyungging di balik tembok. Aku terkesiap. Kini arah mataku tertuju pada Mbak Esti. “Mbak, apa kamar Doni ada di sebelah?” Ia tak menjawab, diam mematung di depan pintu. “Mbak!” Seakan sadar, ia terhenyak. “Mm ... iya, kamarnya tepat di samping ini.” “Pantas saja.” “Memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan Fara?” Geisya mencari penjelasan dariku. Lucky pun sama, sorot matanya tertuju padaku, seakan menunggu jawaban apa yang akan ku lontarkan. “Aku sudah bilang, semua ini karena Doni. Bencana, juga keadaan Fara.” “Aku masih tak mengerti denganmu, Al. Kenapa kau terus menyalahkan dia yang bahkan sudah menyelamatkanku.” Perempuan sipit itu mendengus kesal. “Tolong percaya padaku, demi keselamatanmu juga kita semua. Mungkin, dia akan terus baik ke kamu, sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi, jika sudah melalui semua itu. Kita nggak akan tahu apa yang bakal dilakukannya. Kita lihat saja!” Lucky mendekat ke arahku, duduk di tepi ranjang. “Sebenarnya apa yang kau lihat pada diri Doni?” Fara dan Geisya turut menolehkan kepala, aku bingung harus menjelaskan bagaimana pada mereka. “Far, sekarang aku yang tanya. Apa yang sudah kau lihat hingga membuatmu ketakutan seperti itu?” Ia meneguk ludah, memiringkan kepala sedikit ke kiri dari badanku. Beberapa detik ia terdiam, ia berusaha berkata, tetapi masih dalam wajah penuh ngeri. “Sosok perempuan—“ Mulutnya gemetar, tak bisa meneruskan. “Tak apa, katakan saja.” Kepalanya mendongak pada Geisya yang masih menopang kepalanya. Geisya mengangguk, memberinya kekuatan. Fara kembali melihatku, kemudian berkata, “Wajahnya hancur.” Seketika Lucky dan Kakakku mengusap lengan serta tengkuknya masing-masing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN