Nahas

1049 Kata
Sebuah sentuhan pada bahu dari belakang mengagetkanku. Aku terenyak menoleh cepat. Napas yang hampir memburu, perlahan normal ketika menemukan wajah Bagus dengan senyuman mengembang. Sebelah alisnya naik, seperti menanyakan sesuatu. Aku hanya bisa menjawabnya dengan gelengan. Tampaknya ia kian penasaran. Terlihat dari ekspresi alisnya yang menyatu. Aku menyungging, “Percuma, kamu nggak akan percaya juga.” Bola matanya berputar. Seolah sudah malas. Lantas, ia menaikkan lengan kirinya ke bahuku. Mengajakku berjalan ke depan. “Tak usah dipikirkan. Nikmati saja hari ini. Sudah terlalu lelah kita menghadapi semua.” Bagus memberiku sedikit semangat. Aku menganggukkan kepala pada pria di samping yang lebih pendek beberapa sentimeter dariku. “Yang lain memutuskan untuk pulang,” kataku mendengus lesu. “Biarkan saja, kita nikmati berdua. Toh, jika bersama bakal ada hal yang mengancam jiwa kita. Aku percaya padamu, apalagi setelah semua yang kita alami.” Ia melirikku dengan menaikkan alis. “punya rencana?” tanyanya kemudian. Sudut mataku melirik lelaki bertubuh atletis itu penuh tanya. “Sudah bisa move on?” tanyaku balik. Memastikannya tak selemah sebelumnya. Ia terkekeh. Menarik bahuku berbelok pada daerah parkiran. Mengajakku masuk ke dalam mobil miliknya. Aku sedikit kebingungan, berhenti menjejakkan langkah. “Mau ke mana kita?” Ia masuk ke kursi kemudi, melambaikan Jemarinya untuk mengajak masuk. “Cari hiburan. Otakku sudah terlalu penuh.” Aku sedikit ragu, teringat beberapa waktu lalu ia mabuk di sebuah cafe. “Aku bukan alkoholik,” tepisku mencoba menolak. Lagi-lagi ia terkekeh. “Tenang, aku paham. Tapi bulan depan kamu sudah jadi mahasiswa, bukan?” Kini aku yang tertawa. “Iya, aku sudah sembilan belas tahun,” kataku tegas memperjelas tiap kalimat. Mulutnya membulat sempurna, menampilkan huruf O di sana. “Sudah tepat jika sedikit mencicip.” Rayunya berusaha membongkar pertahananku. “Ngajak nakal, nih?” Kusandarkan siku pada jendela mobil, menyunggingkan senyum licik. “Tergantung.” Telunjuknya diketuk pada pipi kanan. Sedangkan bola matanya melirik ke atas. Kutinju lengan kekarnya sekali. Ia terbahak. Kulangkahkan kaki memutari bagian depan mobil, lalu masuk ke kursi sebelahnya. “Ayo!” ajakku tanpa basa-basi. Baru saja mobil keluar dari area parkir. Tepat di ujung lorong yang terhubung dengan hotel. Di jalan kecil minim cahaya itu, mataku membelalak. Menatap sosok berkebaya dengan tatapan dingin. Wanita itu berdiri dengan kepala bergoyang-goyang kaku. Seakan tulang-tulangnya patah. Andai bisa kudengar dari sini, pasti kian mengerikan melihat sosok pucat dengan wajah membentuk garis hitam layaknya jalan semut, di setiap kulit ototnya. Mobil mulai melaju perlahan, melewati beberapa kendaraan lain, yang berjubel di lorong parkiran. Wanita itu masih diam di sana. Mataku masih awas menatapnya. Bahkan, ketika kami melewatinya, kepalaku seakan terhipnotis untuk bergerak memandang dirinya dari balik kaca. Tepat ketika wajah kami saling bersirobok, ia mendongak cepat. Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku terkesiap, refleks memutar pandangan ke kanan saat wanita itu akan membuka mulutnya. Mataku memejam menundukkan kepala. Bagus menekan rem mendadak. Membuat badan kami sedikit terpental ke depan. Ia menatapku penuh dengan sejuta pertanyaan. “Ada apa?” Aku meneguk ludah. Berusaha memberi ekspresi sesantai mungkin. Tetapi, wajah ini tak bisa berbohong, mungkin warnanya sudah pucat pasi. Kutampilkan senyum masam padanya. Apa yang harus kujawab? Sementara lidahku terasa kelu. Aku memang mempunyai kemampuan melihat mereka yang tak kasat mata, tetapi bukan berarti aku tidak mempunyai rasa takut. Apalagi, hal terakhir yang kulihat adalah wajah mengerikan itu. Tepat di samping mobil ini. Rasanya aku tak ingin memutar kepala, tak ingin tahu lagi apakah ia masih ada di sana atau tidak. Bagus masih menunggu jawaban dariku. Ia membuka telapak tangannya sembari mengendikan bahu. Seakan berharap aku menjelaskan. Bahkan ia melambai-lambaikan jemarinya di depan wajahku, mencoba membuatku sadar. Ketika aku bersiap mengungkap, kulihat wajah Doni dari balik kaca mobil yang masih terparkir beberapa blok dari kami. Ia ada di balik kursi kemudi. Menatap kami dengan begitu tajam. Meski kacanya hitam, aku bisa menembusnya. Ia tampak geram, meremas setir dengan kedua Jemarinya. Apa yang ingin dilakukannya sekarang? Aku teringat lagi akan sosok yang mungkin kini masih berada di belakangku. Mataku membulat, rasa ingin melihat, tetapi tubuh enggan memutar. “Hei, Al. Tell me? Kenapa kamu tegang begini?” Ia terus menghujaniku dengan pertanyaan yang malah membuat otakku kian pusing. Aku berusaha membaca pikiran Doni di sana. Ingin tahu apa yang direncanakannya kali ini. Pandangan Bagus tampak mengikuti arah mataku yang tajam menghunjam Doni di dalam mobil putih itu. Namun, Bagus sepertinya tak bisa melihat dirinya sebab kaca yang terlalu gelap. Tetiba sekelebat cahaya-cahaya putih muncul menyilaukan mataku. Bagai dikerubungi paparazzi, sorotan cahaya itu membuatku hilang konsentrasi. Aku memejam, sembari mengeram beberapa kali. Bagus mulai mengoyak tubuh ini. Pikiranku kacau. Penuh dengan kilatan sinar serta suara-suara aneh memenuhi isi kepala dan telinga. Aku pun memberontak! Menepis kasar tangan Bagus dan mengacung-acungkan jemari ke sembarang arah, layaknya orang kesetanan. “Al, please ... jangan mulai lagi!” teriak Bagus yang kudengar lirih bercampur nada-nada seram. Bagai menonton drama musikal horor, suara seram menggema mempercepat detak jantungku. Bagus berusaha mencegahku semakin liar. Ia menangkap satu lenganku dan menguncinya. Namun, aku terus memberontak, mendorong tubuhnya kuat-kuat. Entah apa yang merasuki, aku bagai hilang kesadaran terus berteriak tanpa alasan jelas. Hingga tanpa sadar, Bagus menginjak tombol gas. Membuat mobil melesat cepat ke arah depan kiri. Tubuhku terlempar keluar dari pintu mobil, saat tarikan gas terlalu kuat menikung. Aku terseret jauh dari mobil, menggelinding di atas ubin parkir. Dari arah kanan, begitu cepat tanpa bisa mengelak, mobil Doni melaju kencang menabrak Bagus. Braakk!! Kecelakaan pun tak terelakkan. Sebuah suara dentuman hebat menggema memenuhi area parkiran. Seiring teriakan kuat Bagus menjerit kuat. Aku masih bersimpuh di atas ubin parkir, menatap dua mobil itu yang kini mengeluarkan asap hitam. Kulihat Doni yang berdiri dari duduknya. Rupanya ia sama denganku, terlempar beberapa meter dari mobil. Dadaku terasa sempit, mendengar jeritan Bagus di dalam mobil. Sekilas, tampak wajah mengerikan wanita berkebaya itu menyungging di sebelah mobil yang kini semakin mengepulkan asap pekat. “Baguuuss!!” jeritku sembari berusaha bangkit dengan tertatih. Tiga mobil saling bertumpuk di depan mobil Bagus, sebab tertabrak begitu saja di parkiran. Lima mobil ringsek sempurna. Menahan tubuh Bagus yang sendirian di dalam sana. Kerumunan orang-orang mulai datang, mencoba menolong Bagus. Aku yang berusaha mendekat, dicegah beberapa tubuh kekar dengan menyeretku paksa keluar dari lahan parkir. Kepalaku terus saja tertuju pada mobil kuning milik calon kakak iparku itu. Sembari menjerit menyebutkan namanya. “Baguuss!!” Entah, bagaimana kondisinya kini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN