Persaingan Hati

1048 Kata
Hari minggu, hari libur sekolah. Bagiku hari ini adalah hari molor sedunia. Meski alarm jam berdering keras dan gebrakan pintu bergetar berkali-kali aku tak peduli. Semakin banyak gangguan dan teriakan dari luar kamar, semakin membuatku tenggelam dan membenamkan diriku dibalik nyamannya selimut tebal. Satu jam berlalu, setelah gedoran keras pada pintu, diiringi teriakan suara cempreng Mbak Esti. Sinar mentari kurasakan telah masuk dalam celah-celah jendela, menghangatkan ujung kakiku yang tersentuh cahaya pagi. Kicauan burung yang bertengger di ranting pohon, hampir menjorok di jendela kamarku yang berada di lantai dua ini, perlahan menghilangkan rasa kantukku. Penuh malas aku berdiri dan beranjak ke pintu balkon kamar, menggeser pintu kaca itu. Kurasakan embusan sejuknya angin pagi ditambah silaunya matahari menenangkanku. Kuhirup pelan udara pagi ini. Menengadah, memejam, begitu terasa damai dan syahdu. Aku keluar dan berdiri di depan pagar besi balkon menikmati pemandangan depan rumah. Aku sedikit membungkukkan badan memegang pagar besi. Kulihat Bi Sumi di bawah sana, sedang sibuk menyapu dedaunan kering di taman. Pak Gito, satpam kami. Membantu Bi Sumi membakar sampah di kotak sampah pojok pagar. Sungguh pemandangan yang asri. Sejuknya angin pagi ditambah asap sampah daun, mengingatkanku pada desa di mana nenek tinggal. Yang tampak beda hanyalah tak ada rentetan pohon bambu yang berderit tertiup angin. Sesaat lamunanku yang indah seketika buyar, tatkala melihat seseorang dari balik pagar, menaiki sepeda motor CB. Ia membuka helmnya dan menengok ke dalam pagar. Buru-buru Pak Gito menuju pagar, kulihat mereka sedikit bercakap lalu dengan segera Pak Gito membuka engsel pagar dan mempersilakannya masuk. Bibirku menyungging malas ketika tahu bahwa lelaki itu adalah Doni. 'Ini kan hari minggu, harusnya dia libur dong? Trus ngapain dia kesini? Dia lagi cari Papa atau ... Mbak Esti?' gumamku dalam hati. Bergegas aku ke kamar mandi dan membasuh muka dan dengan terburu-buru menyikat gigi. Tanpa mengganti baju. Hanya berbalut pakaian tidur semalam. Kaos oblong dan celana boxer. Aku berlari cepat ke bawah. Kuturuni tangga dengan tergesa, tanpa melihat keadaan depan. “Aah!” Hampir saja aku menabrak Mbak Esti. Ia refleks mencubit lenganku. "Aww ...!” rengekku. Ia mendelikkan mata geram. Lantas membuang muka dan berjalan ke depan. Kuikuti langkahnya ke ruangan depan. Di sana, kutemukan Doni beserta Papa Mama yang sudah duduk di sofa berhadapan. Kulihat Mama yang tersipu-sipu menutup mulutnya, dan Papa yang tergelak seakan asyik dalam percakapan. Seketika Doni mengarahkan pandang menuju kami, Mbak Esti tersenyum. Ia membalas dan mengangguk. Lalu segera duduk di samping Doni. Ada apa dengan orang-orang di rumah ini? Kenapa mereka seakan tersihir oleh sosok Doni. Tetiba kepalaku pening, aku menggeleng, mengerjap-kerjapkan mata. Samar kulihat tali merah yang terhubung, dari tubuh Doni dan mengikat ketiga keluargaku. Hah!! Apa ini? Saat kakiku akan melangkah tali itu menghilang. Kutatap wajah Doni, ia menyungging ke arahku, seakan mengejek. Apa maksudnya? Segera aku menghambur duduk di sebelah Mama, untuk mencari tahu apa yang terjadi. Aku benar-benar tak menyangka, secepat ini Doni mampu meluluhkan hati Papa yang selalu keras pada orang asing. Terlebih untuk pria seperti Doni, pemuda yang bahkan tak tahu dari mana asal usulnya. Aku hanya mampu berdiam dan menjadi penonton, untuk suasana pagi yang terasa memuakkan bagiku. Selang beberapa menit deru knalpot motor gede terdengar dari luar. Aku yakin sekali bahwa itu Bagus. Rupanya ia kalah start. Saat tepat di depan pintu ia tersenyum ke arahku yang duduk menghadap pintu yang terbuka. Bersebelahan dengan Mama dan Papa. Namun, seketika garis bibirnya turun saat melirikkan mata pada Doni dan Mbak Esti di sofa balik pintu. Aku tahu ia geram. Aku segera berdiri untuk menyambutnya. "Masuk, Gus,” ajakku. Ia terlihat bingung harus menempatkan posisi di mana. Ada sofa yang kosong tetapi harus melewati Doni. Jadi mungkin ia malas. Papa segera berdiri, lalu mengajak Mama masuk. Bagus tercengang, bingung melihat sikap Papa yang seakan tak menginginkan keberadaannya, tak biasanya. Dan aku hanya bisa prihatin melihatnya. Kulirik Mbak Esti dan Doni yang cekikikan di sana, benar-benar tak sopan. Aku mendekatkan diri pada Bagus yang masih bergeming di ambang pintu. Mencoba menghiburnya. "Masuk yuk, kita battle game lagi," bujukku seraya memegang bahunya. Ia melirik kedua insan itu sebal. "Sorry, Al. Aku lupa ada janji. Maaf lain kali saja ya ...,” katanya seraya beranjak pergi dari rumah. Ia berlari kecil menuju garasi, tempat ia memarkirkan motor gedenya. Aku hanya bisa memandangnya dari ambang pintu ini. Kulihat muka sebalnya saat menytarter motor. Grung ... grung ... gruuungg ....! Ia tampak meluapkan emosi lewat gas motornya. Suaranya menggema meninggalkan kisah yang pahit. Aku membalik badanku di depan pintu. Seketika aku tercekat, melihat penampakan wanita berkebaya merah lagi di belakang Doni. Kini wajahnya pucat dan mulutnya lebar menyeringai. Aku memejamkan mata, berharap ia segera lenyap. Saat kubuka mata kembali, tak kulihat lagi wanita itu. Kulirik Doni yang mengerling padaku. Aku geram, segera masuk dan bergegas mandi. Meninggalkan Mbak Esti dan Doni di tengah mabuk asmara. *** Aku mengguyur tubuhku di bawah shower, seraya memejamkan mata. Kuingat baik-baik tali merah yang sempat kulihat tadi. Sebenarnya apa yang dilakukan Doni? Hingga membuat keluargaku segan dan kagum padanya. Padahal dibandingkan Bagus yang kaya raya, seharusnya dia kalah. Doni hanya bermodal tampan saja. Tentu Bagus juga tak kalah tampan, malah dia lebih berkelas. Kuusap kasar rambut basahku, mencoba berpikir yang lebih rasional. 'PELET' Tetiba kata itu muncul di benakku. Ya, bisa saja Doni menggunakan itu untuk menggaet Mbak Esti. Hingga dengan mudahnya ia terpikat tanpa pikir. Kuusap kasar badan dan rambutku dengan handuk, lalu berganti baju. Aku lupa hari ini mau ke bengkel ayah Lucky, temanku. Ia minta tolong karena sudah tak tahu lagi harus diapakan mobil yang minta di servis. Sudah empat hari ayah Lucky berusaha tapi hasilnya nihil. Kupakai hoodie abu muda dan celana jeans hitam. Tak lupa waist bag abu tua kuselipkan di d**a, di tambah dengan jam tangan sport hitam pada pergelangan. Saat di ruang tamu, tak kutemukan lagi dua manusia bucin itu. Ke mana mereka? Aku keluar mencari motor CB tua itu, tak ada. Mungkin Doni sudah pulang. Ah, biarlah aku sudah malas dengan mereka. Bergegas kunaiki ninja hijau kesayanganku dan menyusuri jalanan Jalanan sedikit lenggang karena ini hari minggu. Aku juga tak mau mengusik kedamaian jalanan dengan bisingnya knalpot. Untuk itu, kustabilkan kecepatan speedometer di angka 40. Saat melintas di sebuah kafe, kulihat motor gede milik Bagus terparkir di sana. Aku berbelok, hanya ingin memastikan keadaan Bagus yang telah patah hati. Semoga ia baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN