Batur

1323 Kata
Pria itu duduk di depan Papa. Tepat di sofa seberangnya. Terhalang oleh meja kaca besar. Entah, aku melihat ada hal aneh pada dirinya. Aura mistisnya sungguh terasa. Bahkan, tubuhku memanas ketika terus melihat perawakannya. Seolah ada penolakan dari tubuh ini. Ia lelaki biasa, mungkin usianya sekitar 25 tahunan, tubuhnya tinggi jenjang dengan body yang lumayan bagus, tetapi jelas tak sekekar Bagus. Ia memakai kaus slimfit putih polos membuat badannya terlihat menonjol. Mungkin ia menjalani beberapa treatment kecil untuk membentuk badannya agar terlihat atletis. Wajahnya imut untuk lelaki seusianya, gayanya asyik ala-ala boyband junjungan para gadis masa kini. Papa tampak seperti takjub melihatnya, bagaikan tertarik oleh magnet dengan kutub yang berbeda, daya tariknya sungguh kuat. Namun, tidak bagiku. Kulirik Bagus yang masih berdiri menyejajariku. Ia pun sama halnya denganku. Seperti tak suka, alisnya bertaut dan menatap si pemuda yang berbincang dengan Papa di sana. "Oh, iya. Kamu ini siapa? Ada urusan apa dengan saya?" tanya Papa. "Saya Doni Pak, driver paket baru di perusahaan Bapak, saya disuruh ke sini sama atasan saya, buat minta tanda tangan Bapak," jawabnya tegas seolah sudah terencana sebelumnya, sembari menyerahkan beberapa berkas di tangannya. Papa mengangguk tanpa memalingkan muka. Masih setia menatap wajah Doni yang terus mengembangkan senyum di hadapannya. Tidak seperti biasanya, Papa dengan cepat menandatangani semuanya tanpa membaca atau pun bertanya. Aku kenal Papa, dia bukan orang yang grusa-grusu, selalu teliti dan mempertimbangkan segala sesuatunya, tetapi kali ini tidak. Ia seperti tunduk dan takluk dengan lelaki yang baru beberapa menit kami kenal. Sambil tanda tangan tak henti-hentinya Papa melirik Doni, seakan kagum akan sosoknya. Hingga ia lupa bahwa ada Bagus di sini. Ia seolah lupa tentang segala keistimewaan Bagus. Kulihat muka sebal Bagus melihat Doni, dahinya mengerut menyiratkan kekesalan. Seperti tak rela bila punya saingan kepercayaan Papa. Aku mulai mencoba mendekat, duduk di sebelah Papa dan melihat dengan teliti kertas-kertas yang ditandatanganinya. Sebab tak ingin ia salah. Bagus juga turut serta duduk mendekat padaku. Kugerakkan bola mata pada Papa yang masih terus mengulas senyum. Kulirik lagi Doni, mencoba membaca pikirannya. Saat otak ini mencoba konsentrasi, seketika mataku terasa panas. Aku menggeleng cepat. Oh, tidak! Seketika kepalaku pening dan ngilu. Aku meringis, memejamkan mata. Kudengar suara Bagus yang sedikit khawatir. “Al, kamu nggak papa?” tanyanya tepat pada telinga sebelah kiriku. Aku mengangguk, mencoba menepis segala hal yang tak kusangka. Perlahan kubuka mata. Seketika manik ini membulat, ketika mendapati sebuah pemandangan tak biasa. Bibirku terperangah tak percaya, melihat penampakan seorang wanita dalam balutan kebaya merah dan jarik cokelat, dengan rambut tergerai panjang, separuh menutupi wajah. Ia berada tepat di belakang Doni. Aku tahu ia bukan manusia. Wanita itu menyeringai dengan bibir yang sobek hingga ke telinga. Aku teringat dengan cerita kakek saat aku kecil. Katanya, beberapa manusia ada yang dari lahir sudah ada yang menjaga. Beberapa lainnya memang sengaja mendatangkan perewangan atau biasa disebut batur, untuk melindungi dan menjaganya. Namun, tak semua manusia punya niat baik dengan keberadaan batur masing-masing. Wanita itu terus menajamkan pandang padaku. Rupanya ia tahu aku sedang berusaha mengusik tuannya. Kepalaku semakin pening. Tampaknya batur itu mencegahku untuk tahu lebih dalam tentangnya. Kulihat Papa yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya. Sementara Bagus masih setia bergeming di sampingku. Setelah menandatangani berkas, Papa menyuruh Doni untuk bergabung bersama kami, tetapi ia menolak, dengan alasan memburu waktu. aku masih terus menautkan alis melihat sosok wanita di belakang Doni yang terlihat semakin menyeramkan. Papa pun memaklumi dan membiarkannya pergi, kulihat sorot mata Papa terus bermuara pada sosok Doni hingga ia benar-benar hilang dari balik pintu. Kuembuskan napas lega, akhirnya pemandangan tak mengenakkan itu pergi dari hadapan. Seketika Papa menggeleng, seperti tersadar dari lamunan. Bagus seperti sebal dengan sikap Papa pada Doni. Ia menggeretakkan giginya berkali-kali, seperti menunjukkan kekesalan. Namun, Papa tampak seperti orang linglung. Tak tahu apa-apa. “Gus, kamu kenapa? Ada yang salah?” Papa berusaha mendinginkan emosi Bagus. “Tidak, Om. Aku hanya sedikit lelah. Sepertinya Esti tak mau menemuiku lagi. Mungkin sebaiknya aku pulang saja.” Segera ia berdiri lalu berpamit pada kami, aku tahu dia sudah malas melihat sikap Papa padanya. Papa pun merasa tidak enak lalu meminta maaf. *** Malam hari, aku, Mbak Esti, dan Mama sedang asyik bercengkerama di taman belakang rumah. Taman kami luas dengan berbagai tanaman hortikultura. Mulai dari buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan berbagai bentuk bunga yang indah. Mama memang suka berkebun, apalagi bisa memanfaatkannya untuk dikonsumsi sendiri, katanya akan lebih sehat karena tanpa memakai pestisida. Aku dan Mbak Esti duduk di bangku panjang depan meja bundar, di bawah naungan payung putih lebar, sedangkan Mama duduk di kursi depan kami sibuk dengan pernak pernik buatan tangannya. Ia mempunyai komunitas pecinta dan pengiat aksesoris bersama beberapa ibu tetangga. Kali ini dia meronce sebuah tas kecil dari kain, jari-jarinya lihai mengayunkan jarum dengan sempurna, menampilkan bentuk bunga yang indah. "Mbak lihat tuh Mama, mahir banget bikin kerajinan tangan. Nggak kayak kamu yang cuman pandai menscroll aplikasi." ejekku pada Mbak Esti yang sibuk memandang gawainya. "Eh ... siapa bilang!" Seketika ia mendekatkan ponselnya di wajahku. Tampak pada layar, terdapat aplikasi novel online yang sedang terbuka. "Gini-gini aku udah dapet penghasilan sendiri lewat tulisan aku, jadi sekarang siapa yang nggak bisa berkreasi, hah? Makanya jangan songong lu ...,” katanya sambil menoyor kepalaku pelan. "Lah ... ngejek! Pas mobilmu mogok dan bengkel sudah angkat tangan, siapa coba yang bisa benerin? Cuman aku,” kataku berbangga sambil menepuk dadaku sendiri. "Besok kalo sudah lulus, aku bakalan bikin bengkel sendiri.” Tambahku sombong. Mama yang berada di depan kami, melirik kami yang selalu bertikai dengan hal-hal kecil, tersenyum sembari tetap melakukan aktivitasnya. "Apa pun passion dan cita-cita kalian, Mama pasti doakan yang terbaik." Mbak Esti segera mendekat padanya, lalu memeluk Mama yang masih setia dengan benang dan jarumnya. “Makasih, ya, Ma. Mama memang orang tua paling baik sedunia.” Pelukan Mbak Esti semakin erat dan menempelkan wajahnya pada bahu Mama. “Hu ... dasar penjilat! Sok manja!” ejekku kembali. Mbak Esti memonyongkan bibirnya. Diringi tawa Mama yang mencubit pipinya pelan. “Sudah, sudah. Nggak capek apa tiap ketemu kayak kucing dan tikus.” Mama melepaskan rangkulan Mbak Esti perlahan. Ia mulai membereskan alat-alat dan bahan yang berada di atas meja. “Mau ke mana, sih, Ma?” tanya Mbak Esti penuh manja. “Mama mengantuk, nggak bisa konsentrasi pegang jarum. Ntar malah rusak.” Mama berdiri lalu meninggalkan kami dengan masih sedikit terkekeh melihat bibir manyun Mbak Esti. Kling ... kling .... Bunyi notifikasi pada ponsel Mbak Esti. Kulirik bibirnya yang mulai semringah. Aku penasaran dengan siapa dia chat. Kugeser tubuh lebih dekat dengannya, mencoba melirik ponselnya dengan hati-hati. Kutemukan foto profil seorang lelaki di pojok kiri atas, aku mengernyitkan mata memperjelas pandangan. Sementara Mbak Esti membalas chat itu dengan bibir mengembang. "Hah! Doni?" Mbak Esti menoleh cepat padaku. Lantas, menarik ponselnya dan menutupnya pada d**a. "Kok kamu kenal, sih?" tanyanya, "Dia kan sopir baru di perusahaan Papa." "Iyakah?" tanyanya berbalik. Kini alisnya bertaut seperti tak percaya. "Lah ... memangnya Mbak Esti kenal dari mana?” "Dia senior aku di kampus." Kuhela napas panjang, lalu sedikit menjauh dari Mbak Esti. Sebab, perasaanku mulai tak enak. "Dia keren sih, Mbak. Tapi hati-hati saja, sepertinya dia nggak begitu baik." Saranku padanya. "Sok tahu kamu, wong orangnya baik banget malah. Sering nolongin aku pula," ujarnya membela. Ia membuang muka dariku menghadap depan, lalu membuka ponselnya kembali. Wajah Mbak Esti tampak sedikit kesal, tergambar jelas saat tersorot lampu layar. "Kalo aku sih, lebih pilih Bagus daripada Doni itu." Mbak Esti menoleh geram. Ia menyelipkan rambutnya pada telinga yang tergerai ke samping. "Si tangan popeye itu? Dihh ... membayangkan dikelonin sama dia saja aku udah jijik." Aku tergelak. Ternyata sampai segitunya Mbak Esti sama si Bagus, padahal sebenarnya dia baik dan perhatian, hanya saja sedikit sombong. Mbak Esti berdiri saat kulihat panggilan berdering di ponselnya, ia kembali semringah dan segera berlari kecil meninggalkanku. Aku sedikit termenung mengingat pertemuanku kembali dengan Doni pagi ini. Aku yakin tentang pepatah ada udang dibalik batu. Ya, aku harus waspada dengannya. ... .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN