Tikungan

1060 Kata
Suasana kafe tampak sedikit lenggang. Padahal ini hari minggu, tak seperti biasanya. Kubuka helm sport cokelat dari kepala, lalu mulai mengedarkan pandang. Hanya ada beberapa motor dan tiga mobil yang terparkir di depan kafe. Ketika turun dari kendaraan, mataku mencari sosok kekar Bagus. kutemukan ia di ujung barat, sedang duduk di depan meja panjang dan seorang bartender. Ia memegang gelas kecil dan menyuruh bartender itu menuangkan minumannya, dalam sekali teguk isi dalam gelas itu tak bersisa. Kulangkahkan kaki mendekat padanya. Tanpa ia tahu, aku memosisikan diri duduk di kursi putar sebelahnya. Seketika matanya melirik padaku, tanpa menolehkan kepala. Padahal, hanya beberapa menit yang lalu ia beranjak dari rumahku. Namun, Kulihat wajah dan matanya memerah. Entah ini keadaan mabuk atau menahan tangis aku tak tahu. "Jadi, kamu sengaja mengikutiku?" tanyanya dengan masih setia menghadap ke depan. Tanpa ingin menolehkan kepala. Kulihat tenggorokannya bergetar dan meneguk minumannya lagi dengan pelan. Aku mendengus pelan, tersenyum. Kedua sikutku menopang di atas meja panjang, dengan badan tegap membusung dan kepala sedikit menoleh ke arah kiri. "Payah amat kamu. Belum apa-apa sudah broken heart gini." Aku terkekeh sembari menyeringai. Ia tampak tersinggung. Seketika menengokkan wajah kasar ke samping. "Eh, siapa yang patah hati? Aku Cuma ingin minum saja.” Ia mengangkat gelasnya dan menyodorkannya padaku. “Nih. Mau? Ups, sorry kamu masih di bawah umur ya ... hehe ...," ejeknya membalas. “Masih sempat saja sombong. Kamu boleh sombong, tapi nanti, kalo sudah bisa ngedapetin Mbak Esti!" celaku. Garis bibirnya yang baru tertarik ke atas, tetiba turun kembali. Seringai sombongnya lenyap. Ia membuang muka dariku lagi. Kini tatapannya seolah kosong. Mengetuk-ngetukkan gelas kecilnya pada meja. Ia mengembuskan napas berat, sebelum akhirnya mulai menunjukkan keresahannya. "Sepertinya agak susah,” katanya seraya meneguk minumannya kembali. "Jadi, nyerah? Segitu doang? Malu tuh sama badan, gede gitu tapi cemen," kataku mencoba membakar semangatnya. Ia lantas tertawa. Alisku bertaut, aneh sekali. Apa ia menertawakan leluconku, atau bahkan menertawakan dirinya? Kucoba membaca pikirannya. Perlahan, sekelumit suara berkecamuk di otakku. Aku menggeleng pelan. Ah, rupanya ia benar-benar kecewa dan hampir menyerah. Sepertinya, ia tak pernah sesakit ini sebelumnya. "Apa kamu belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya, Gus?” Ia menoleh cepat, terdiam. Kulihat tenggorokannya bergerak pelan meneguk minuman yang telah dihisapnya. Ia mendesah lagi. Menatapku tajam. "Asal kamu tahu? Mbak Esti-mu itu, cinta pertamaku." Ia terdiam kembali, menekuk muka, lalu menambahkan. "Tapi sepertinya ia lebih memilih si Doni itu.” Ia tertawa kembali, kali ini aku yakin jika ia sedang menertawakan nasibnya. “Sudahlah! Jangan bahas itu lagi. Mungkin sebaiknya aku nyerah saja, percuma!" Jemarinya membelah rambut yang tergerai menutupi keningnya. Sekali lagi diteguknya kasar minuman dalam genggaman. "Sebenarnya aku juga nggak suka sama Doni. Sepertinya dia seorang penjilat. Dan aku paling benci dengan orang seperti itu.” Kuambil botol di sebelah tangan Bagus, lantas meneguknya sekali. Aku mengernyit, rasanya aneh sekali. Tetapi, ada perasaan ingin meneguknya lagi. Kutarik kembali botol itu. Ketika bibirku hampir menyentuh mulut botol, tetiba tangan kekar Bagus menghalangi. Ia merebut kasar wadah minuman itu dariku. “Jangan macam-macam, bocah!” Aku tercengang sebentar, menarik sudut bibir dan mendengus lucu. Kupukul lengan kekar itu pelan. Kami terkikik bersama. “Baiklah, nanti akan kucoba untuk mendapatkan hati Mbak Esti, tapi nggak janji ya ...." Ia menatapku nanar, terharu. Lalu tangannya melingkar di bahuku. "Makasih, ya, Al. aku tunggu niat baikmu." Kubalas rangkulannya dengan mengangguk dan menepuk bahunya sekali. Aku berpamit pergi, ketika ponselku berdering. Menunjukkan wajah Lucky yang menelpon. Aku sampai lupa jika niatku dari awal untuk menemuinya. Bergegas kunaiki kembali ninja hijauku, bersiap menuju bengkel keluarga Lucky. Menelusuri jalanan yang semakin terasa sepi dan lenggang. Sepanjang jalan, hanya ada beberapa kendaraan lewat. Bahkan aku bisa menghitung jumlahnya. Tetiba saat berada di persimpangan jalan kecil, kulihat punggung Mbak Esti di depanku berboncengan di atas motor CB. Ia tampak memeluk mesra lelaki dibalik kemudi. Seketika rasa penasaranku membuncah. Mau ke mana mereka? Aku mulai menjaga jarak, berharap tak diketahui oleh mereka. Saat mereka berbelok arah ke suatu tikungan, aku hampir kehilangan. Kupercepat laju motor. Tak ingin kehilangan jejak. Ah, sial aku benar-benar kehilangan mereka! Mataku melirik ke sana kemari, mencari dua sosok makhluk yang di mabuk asmara itu. Aku berhenti sejenak, celingukan mencari jalan mana yang akan kupilih. Sesaat terdengar deru motor CB, itu pasti dia! Kutajamkan telingaku, ya ... ke arah kanan. Segera kulajukan motor menuju gang di balik tembok. Saat berbelok, tanpa kuketahui aku dihadang oleh batur Doni, wanita berkebaya merah, yang tengah berdiri menyeringai di hadapanku. Seketika ia berteriak melengking, dengan suara keras yang memekakkan telinga. Aku tersentak kaget. Kuinjak kedua rem seketika, motorku oleng! Aku terseret di atas panasnya aspal hingga beberapa meter. Beruntung jalanan sepi, aku selamat. Meski dengan beberapa luka lecet di siku dan telapak tangan. Sepatu putihku bahkan tergores sempurna. Celana juga hampir sobek tergerus aspal. Aku meringis selonjoran menahan sakit. Sial! Kuedarkan pandang, tak kutemukan lagi penampakan itu. Tertatih kucoba berdiri dengan berpijak pada tangan. “Ahh!” Rupanya telapak tangan kananku meneteskan darah segar, terasa begitu perih. Lalu, bagaimana aku bisa menyetir? Aku merintih sendiri dalam kesakitanku. Perlahan tapi pasti aku menepi ke sisi jalan menyelonjorkan kaki yang mulai terasa perih. Samar kudengar gaungan suara knalpot, semakin lama semakin dekat. Motor itu terhenti tepat di depanku, segera sang pemilik motor turun dan membantu menepikan motorku lalu mendekat padaku. "Kamu nggak papa, Al? Kok bisa, sih? Aku yang mabuk aja masih bisa nyetir lurus. Kamu yang bugar gini malah selonjoran di jalan." Aku masih meringis, tak membalas sedikit pun ucapannya. Ia bahkan terus mengomel seperti Mama saat menceramahiku. "Mau bantuin, nggak?" tanyaku menutup omelannya. Ia berhenti mengoceh, menatapku penuh dengan kekhawatiran. "Sebentar, aku akan panggil seseorang buat bawa motor kamu." Ia terlihat bercakap dengan seorang bawahannya dalam sambungan telepon. Terlihat dari suara di seberang sana yang terdengar 'manut' saja. "Lima menit ya, kalo kita tinggal motornya ‘kan sayang nanti dibawa kabur orang lagi," katanya sembari ikut duduk di sampingku. "Makanya perjuangin tuh Mbak Esti, ‘kan sayang kalo dibawa kabur orang!” kataku menggoda, ia terbahak. "Kita lihat saja ya, Dek." Aku mengernyit, kenapa ia memanggilku dengan sebutan itu? "Calon Adek,” ujarnya kemudian. Kami tergelak, Ia begitu pandai mencairkan suasana. Beberapa menit setelahnya, anak buah Bagus sudah datang dan membawa motorku ke atas mobil pick up untuk dibawa ke bengkel. "Ayo pulang!” ajaknya seraya mengalungkan tanganku di bahunya. Perlahan, ia menarikku berdiri. Sedikit sulit karena sakit. Namun aku tetap mengikutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN