"A-aku tidak bisa jika harus mengorbankan mimpiku. Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan kamu!"
Intan berkata sambil menundukkan wajahnya. Air mata berurai membasahi pipinya yang mulus. Zavier seolah tak ingin lagi mendengar kata-kata dari bibir sang istri. Dia berdiri dari duduknya meninggalkan Intan yang semakin menangis tersedu.
Di dapur, Bu Nani juga mendengar percekcokan bosnya. "Jika bukan Tuan Zavier mungkin sejak dulu Nona Intan sudah ditinggalkan!"
Setelah rapi dengan semua pekerjaannya, wanita paruh baya itu kembali ke kamarnya untuk istirahat. Sedangkan Intan tak beranjak dari duduknya. Sesekali hembusan nafas panjang keluar dari bibir wanita cantik itu.
"Aku harus bagaimana? Karena pekerjaan dan kamu adalah hidupku!"
Tangan halusnya menyapu permukaan wajah yang basah. Setelah hampir satu jam di ruang tengah, wanita bertubuh seksi dan tinggi itu berjalan gontai ke arah kamarnya. Menyusul langkah suaminya yang mungkin saja sudah tertidur lebih dulu.
Intan membuka pelan pintu kamar, langkahnya menuju meja riasnya. Dia melepas hells dan juga aksesoris yang menempel di tubuhnya. Matanya terlihat sembab karena menangis. Dia hapus make up yang menempel di wajahnya. Setelah selesai dia mulai berjalan ke kamar mandi.
Intan berhenti dan bersandar pada pintu kamar mandi. Air matanya kembali menetes. Kali ini semakin deras hingga dia membekap mulutnya menggunakan kedua tangannya. Setelah beberapa detik berlalu, wanita itu berjalan ke arah shower kemudian menyalakan air.
Gemercik air yang jatuh membasahi tubuhnya yang masih menggunakan pakaian lengkap. Satu hal yang baru Intan sadari, jika sesuatu hal itu dapat tercapai karena ada pengorbanan. Entah itu waktu, finansial atau bahkan keintiman keluarga.
Lalu jika dia dihadapkan pada situasi untuk memilih, Intan belum tahu jawabannya.
"Maaf ...!" Satu kata yang akhirnya meluncur bebas di sela-sela tangisnya.
Sudah cukup waktu untuk dia menyiksa dirinya sendiri. Ingan tak mau sakit dan harus melewatkan pemotretan. Dia akhirnya membersihkan tubuhnya. Setelah selesai dia menggulung rambutnya yang basah dengan handuk dan mulai memakai bathrobe.
Zavier belum tidur, dia hanya tak mau melihat istrinya kemudian memicu pertengkaran. Maka, lelaki tampan itu membelakangi Intan dengan mata terpejam.
*
Di tempat lain, Bella menatap langit malam di balkon kamarnya dengan perasaan yang tak menentu. Sejujurnya dia merasa senang bertemu lelaki yang dulu pernah hadir dalam perasaannya. Apalagi perlakuan Zavier hari ini sangat berbeda dengan yang dulu.
Dulu Zavier terkenal dengan lelaki yang dingin dan tak pernah mau dekat dengan perempuan kecuali kekasihnya dan gank-nya. Maka pertemuan hari ini, Bella sedikit dibuat tersanjung dengan sikap dan perlakuan manis seorang Zavier.
"Aku harus apa sekarang? Melanjutkan rasa yang sudah lama aku simpan atau merelakan dia menjadi suami dari orang?"
Pertanyaan yang bersarang dalam kepalanya tak ada jawabannya.
"Sejauh ini kita hanya sekedar hadir bukan mejadi takdir, Vier! Biarkan rasa ini terus ada sampai aku bisa melupakanmu!"
"Tidak! Karena melupakan tak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya aku bisa mengikhlaskan kalau kau sudah menjadi milik orang lain, Vier!"
Udara semakin dingin seolah memeluk tubuh Bella. Menjadikan wanita itu mengusap lengannya yang tak menggunakan sweater. Pada akhirnya dia memilih meninggalkan balkon.
Bella menuju sebuah meja kecil yang selalu menjadi tempat dia mencurahkan rasa rindu, lelah juga tempat dia bekerja kalau ada lemburan dari bosnya. Dia tarik laci di samping kanan tempat duduknya.
Ada sebuah buku warna pink dengan sampul gambar kelinci. Mungkin terlihat kekanakan untuk seukuran wanita dewasa seperti Bella. Tetapi wanita itu sangat menyukai gambar kelinci.
Bella membuka buku hariannya dan mulai menuliskan kata demi kata yang bisa membuat hatinya merasa lega. Karena selain dalam bentuk tulisan, dia tak berani menceritakan kisahnya.
Bertemu tanpa sengaja setelah sekian lama, membuat aku sangat dilema. Melupakanmu secara terpaksa rasanya menjadi sia-sia. Cerita singkat yang dulu pernah aku rasa terhadapmu, kini harus terbuka kembali dengan keadaan yang semakin melukai hati ini.
Dirimu tak bisa lagi aku miliki meski hati sangat mencintai. Yang ada kini hanya sebuah penyesalan karena mencintai dirimu diwaktu tak tepat. Jika aku memaksa untuk mencintai lagi, yang ada hanya sekadar momen bukan komitmen.
Sebenarnya, bukan kamu yang menyakitiku, tetapi, harapanku terlalu memaksa untuk bisa bersamamu. Aku sudah mencoba untuk lupa dan menjauh dari segala kenangan tentang kamu. Nyatanya, semesta selalu saja punya cara untuk membuatku mengingat bahkan bertemu lagi denganmu secara tiba-tiba.
Buku bersampul pink itu Bella tutup, dia kemudian naik ke atas ranjang bersiap untuk tidur. Karena besok tubuh dan pikirannya akan dibuat lelah dengan segunung pekerjaan.
*
Pagi ini terasa berbeda dari hari biasanya, dalam meja makan itu tak ada Intan duduk di sana menikmati sarapan. Hanya Zavier seorang yang sedang menikmati roti panggang dengan secangkir kopi, yang anehnya terasa hambar.
Entah jam berapa Intan pergi, lelaki ini tak tahu karena masih tertidur. Mungkin istrinya, sudah pamit kepada asisten rumah, hanya saja wanita paruh baya itu lupa untuk menyampaikan.
Zavier tak ingin tahu atau bahkan mencari tahu. Biarkan saja, karena jalan ini yang dipilih istrinya. Dia hanya akan bertahan sampai dia lelah atau Intan yang lebih dulu bilang 'menyerah'.
"Maaf, Tuan, saya lupa untuk menyampaikan pesan dari Nona," ucapan Bu Nani membuat Zavier menyudahi lamunannya.
"Apa, Bu?" tanya Zavier singkat.
"Nona sudah pergi sejak jam lima pagi karena ada pemotretan di Bandung! Jika bisa diselesaikan hari ini kemungkinan malam baru sampai lagi di rumah," jawab Bu Nani sopan.
"Terima kasih informasinya, Bu!"
Setelah itu Bu Nani kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Zavier menyudahi sarapannya kemudian memilih meninggalkan rumah. Kantor adalah pilihan ternyaman Zavier saat ini.
*
Sampai di kantor, lelaki tampan itu langsung masuk ke ruangannya. Dion sang asisten bahkan belum datang. Karena dia berangkat terlalu awal. Sambil menunggu Dion, dia duduk memutar kursinya agar menghadap ke jendela.
Sinar matahari bersinar garang menyinari bumi. Hangat terasa saat sinarnya mengenai kulit Zavier. Lelaki ini sedang merenung menatap lalu lalang kendaraan di luar sana.
'Apa kurangnya aku sebagai suami, sehingga Intan lebih nyaman dengan pekerjaannya?' tanya Zavier dalam hati.
'Bahkan kebanyakan wanita sangat bahagia saat dia memiliki suami. Setidaknya mereka tidak lagi harus capek bekerja, karena sudah ada yang menafkahi. Apalagi mendapatkan suami kaya, pasti bahagianya berkali lipat!'
Zavier masih saja berbicara dengan hatinya, setelah beberapa saat dia mulai berdiri mendekat ke arah jendela besar.
"Semua itu akan berarti jika yang kau dapatkan wanita pandai bersyukur, Vier!"
Tak lama terdengar ketukan pintu, ternyata Dion yang datang.
"Selamat pagi, Tuan! Maaf jika saya datang terlambat!"
"Tidak, Dion! Saya yang sengaja datang lebih awal!"
Zavier kembali memutar kursinya lalu dia duduk.
"Sebelum kamu membacakan jadwalku, ada tugas yang harus kau selesaikan pagi ini, Yon!"
"Apa Tuan?"
Zavier memberikan ponselnya kepada asistennya. Dion menerima ponsel itu kemudian melihat ada apa di balik layar itu.
"Bukankah ini?"
"Iya, cari tahu semua tentang dia jangan ada yang terlewatkan!" titah Zavier memotong pembicaraan Dion.