bab 1.
"Sayang, apa kau ada waktu luang Minggu ini?" tanya Zavier saat sarapan bersama istrinya.
Intan tampak berpikir, karena jadwal pemotretan dia padat, dia bahkan tidak punya banyak waktu untuk suaminya. Dan Intan sadar akan hal itu.
"Emmm .... Aku ada pemotretan di studio bersama temanku yang lain. A-apa tidak bisa Minggu depan saja?"
Zavier menghentikan kunyahannya, seketika mood sarapan pagi ini hilang karena sejak setahun menikah dengan wanita yang ia cintai ini mulai terasa berbeda.
"Ya, sudah enggak apa-apa kalau kamu sibuk!" Zavier akhirnya harus mengalah lagi demi karir sang istri.
Sarapan usai, Intan pamit lebih dulu untuk berangkat ke studio.
"Aku sudah dikejar waktu, aku berangkat duluan, ya?"
Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Intan mengecup singkat pipi Zavier kemudian berjalan dengan langkah terburu menuju mobilnya di halaman.
Hembusan nafas kasar keluar dari bibir Zavier. Dia hanya menatap kosong ke arah depan di mana siluet istrinya tak lagi terlihat.
"Sampai kapan aku hidup dengan wanita yang aku cintai, tetapi tidak merasakan kebahagiaan seperti awal pernikahan dulu? Apakah aku salah memberikan dia izin meraih mimpinya sejak dia masih remaja?"
Akhirnya, Zavier hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri, tanpa tahu jawabannya. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu memilih mengambil peralatan kerjanya kemudian meninggalkan rumah untuk bekerja.
"Rumah ini kapan akan terasa hangat," keluh Bu Nani asisten rumah tangga Zavier, sambil membereskan bekas sarapan terabaikan dan akan marah," monolog Intan sambil fokus pada jalan raya.
Setelah berkendara beberapa menit, mobil milik Intan sudah sampai di depan studio milik William. Saat masuk ke ruangan khusus untuknya bersiap, Irma sudah menyiapkan semua gaun untuk pemotretan.
"Irma, apakah Minggu depan aku ada waktu luang?" tanya Intan menatap asistennya.
Irma mengambil tablet kemudian mencari jadwal modelnya.
"Kalau mau, Minggu depannya lagi, gimana? Karena Minggu depan kamu ada pemotretan gaun malam di hotel bintang lima," jawab Irma mantap Intan dengan kening berkerut.
Hembusan nafas Intan terdengar berat, sambil mendudukkan bobotnya di kursi, perempuan bertubuh s*ks* itu menjawab asistennya.
"Lupakan saja, Ma!"
Irma makin merasa aneh dengan sikap Intan. "Kau ada masalah?"
Intan mulai merapikan riasannya dan rambut panjangnya di sisir agar nanti dia tinggal berganti baju saja.
"Tidak ada. Hanya Mas Zavier minta waktu untuk quality time. Pengennya Minggu ini, tapi aku tidak bisa libur sampai Minggu depan."
"Makanya, ambil saran aku saja, Minggu depannya lagi!" Irma kekeh memberikan solusi.
"Lihat nanti saja, deh! Siapa tahu dia berubah pikiran nanti hari liburku malah sia-sia," jawab Intan.
Irma akhirnya hanya bisa pasrah dengan keputusan modelnya. Meski dalam hati Irma menyayangkan keputusan itu.
'Kalau jadi aku mending ambil jadwal Minggu depannya mumpung masih kosong buat liburan dengan suaminya!'
Tiga puluh menit berlalu, William datang ke ruangan Intan.
"Kau sudah siap?" tanya Lelaki yang bermata sipit itu.
Intan menatap fotografernya dari pantulan kaca, "Aku sudah selesai memakai make up. Tinggal menentukan gaun mana dulu yang harus aku pakai?"
William yang hanya berdiri di depan pintu akhirnya berjalan mendekat, kemudian menatap beberapa gaun yang berjejer di atas ranjang. Tangannya terulur mengambil gaun warna maroon.
"Ini saja!" William mengangkat gaun tanpa lengan itu ke arah Intan.
Sedangkan Intan menatap gaun yang dipilih William. "Oke. Aku akan ganti dulu!"
William hanya mengangguk sambil menatap punggung Intan yang hilang di balik pintu kamar mandi, dengan senyum penuh arti.
*
"Apakah ada rapat hari ini, Don?" tanya Zavier kepada asisten pribadinya.
"Ada, Tuan. Hari ini sebelum makan siang ada rapat dengan PT Gemilang. Pembicaraan masalah kerja sama yang kemarin saya sampaikan itu," jawab Doni.
"Baiklah, terima kasih. Kembalilah ke mejamu dan jangan lupa kopiku!"
Doni mundur dua langkah sebelum akhirya dia memutar badan untuk meninggalkan ruangan bosnya.
Sepeninggal Doni, suami Intan itu hanya diam terpaku, menatap kosong ke arah depan sambil bertopang dagu.
'Semua sudah terasa berbeda, tidak ada canda dan tawa seperti dulu.'
Dalam hati, Zavier bicara sendiri mengenai kisah hidupnya saat sudah menikah dengan Intan. Impiannya membangun rumah tangga yang sempurna dengan punya banyak anak, nyatanya masih jauh dalam angan.
Zavier belum bisa konsentrasi untuk bekerja, dia bangun dari tempat duduknya menuju jendela besar yang tak jauh dari kursinya berada. Tangannya masuk ke dalam saku celana, pandangannya memandang arah bawah perusahaannya.
Riuhnya suasana pagi itu seolah tak segembira hati CEO muda nan tampan itu. Pikirannya hanya tertuju pada seorang wanita yang dia anggap makin jauh dari jangkauan. Sejak enam bulan lalu, tepatnya saat Intan mengikuti beberapa audisi model dan menjadi juara, Zavier akhirnya memberikan izin untuk istrinya terjun ke modeling.
Karena Zavier pikir itu adalah impian terbesar Intan selama beberapa tahun lalu. Lelaki itu pikir, istrinya tidak akan berubah meski dia sudah menjadi seorang model terkenal dan banyak job. Nyatanya semua prediksi salah.
Yang ada, pernikahan dalam satu tahun itu pun mulai tak terkontrol. Seolah dalam satu pernikahan ini, hanya Zavier yang berjuang untuk rumah tangganya. Sedangkan Intan seolah hanya pemanis saja.
Perempuan cantik itu seolah lupa kalau selain model, dia adalah seorang istri yang harus punya tanggung jawab kepada suami dan rumah tangganya. Hingga lamunan Zavier terusik saat Doni datang membawakan kopi untuknya.
"Maaf, menggangu, Tuan! Ini kopi Anda!"
Zavier menoleh dengan anggukan kecil sebagai jawaban dari ucapan Doni.
"Saya permisi, Tuan!"
Lagi dan lagi hanya anggukan sebagai jawaban untuk Doni sang asisten. Setelah asistennya pergi, Zavier mulai duduk kembali. Dia menarik nafas dalam kemudian dia hembuskan secara perlahan.
"Ada rapat penting yang harus kau hadiri, Vier! Jangan bawa masalah pribadiku ke kantor, kalau tak mau pekerjaan terbengkalai."
Zavier berusaha meberikan sengat untuk dirinya agar moodnya naik. Tangannya meraih cangkir kopi yang aroma menguar mengisi seluruh ruangan.
"Sudah jelas rasanya pahit, tetapi masih saja aku nikmati. Kamu jangan sampai menyerupai rasa kopi ini, Sayang!"
Setelah meminum sedikit kopi kesukaannya, lelaki tampan itu mulai fokus bekerja.
*
Dua jam berlalu, Doni mengetuk pintu ruangan bosnya, untuk memberitahu kalau waktu rapat akan segera tiba. Karena rapat bukan di perusahaan, maka keduanya harus menggunakan waktu yang tersisa agar segera sampai di tempat rapat.
Tok Tok Tok
"Masuk!" Suara Zavier mengizinkan tamunya masuk.
Pandangan Zavier menatap ke arah pintu yang terbuka. "Ada apa, Don?"
"Waktu rapat di restoran Pelangi tiga puluh menit lagi. Apa tidak sebaiknya kita bersiap ke sana?" tanya Doni menatap bosnya yang entah kenapa hari ini tampak aneh.
"Owh, iya! Aku juga sudah periksa dokumen yang akan kita gunakan sebagai presentasi. Kita berangkat sekarang!"
Zavier mulai membenahi barang pribadinya dan juga membawa berkas untuk rapat nanti. Kedua lelaki tampan beda profesi itu melangkah cepat menuju mobil yang sudah terparkir di depan loby.
Doni mengendarai mobil mewah itu dengan kecepatan sedang menuju restoran. Hanya butuh waktu lima belas menit, keduanya sampai dan menuju ruang VIP yang sudah dipesan.
"Untung mereka belum datang!" Zavier mendudukkan bobotnya di kursi diikuti Doni.
Beberapa menit berlalu, akhirnya klien yang ditunggu datang. Doni menyambut kedatangan Tuan Aksa dah sekertarisnya. Berbeda dengan Zavier yang diam sambil menatap bingung ke arah wanita cantik berpakaian modis di hadapannya.
'Kenapa jantungku berdebar kencang seperti ini? Apakah aku mengenal wanita ini? Tapi di mana dan siapa dia?' tanya Zavier dalam hati.