bab. 7.

1570 Kata
"Kemarilah!" Suara Zavier menginterupsi. Wanita dengan pakaian modis itu mendekat kemudian Zavier mulai menarik kursi untuk wanita yang sejak pagi tadi ada di dalam pikirannya. Meski ada rasa canggung karena tak mengira akan bertemu di kafe yang sama, Bella berusaha menutupi rasa keterkejutannya dengan senyum tipis mantap wajah lelaki tampan itu. "Bagaimana kita bisa bertemu lagi di tempat ini, Vier?" tanya Bella setelah beberapa saat diam. Zavier sengaja menatap lekat ke arah wanita cantik di depannya sambil menjawab, "Apakah ini mengganggumu?" Bella menggeleng, "Bu-bukan seperti itu maksudku, hanya saja seolah keadaan selalu saja memberi kesempatan kita untuk saling bertemu." "Mungkin semesta ingin kita duduk berbincang dan saling bercerita!" Bella sedikit terkekeh karena ucapan lelaki di hadapannya ini. "Kau mau pesan minuman apa?" tanya Zavier mencoba mencairkan suasana dengan memesankan minum. "Kopi latte saja!" Bella menjawab sambil mengedarkan pandangannya menatap sekeliling kafe. Zavier melambaikan tangannya kepada pelayan, pesanan sudah di tulis tinggal menunggu datang. "Bella, apa setiap kerja kau membawa kendaraan sendiri?" Bella menoleh, menatap Zavier, "Iya. Kenapa?" "Tidak, hanya saja kau sudah banyak berubah!" Zavier berseru lirih. "Apa yang kau tahu dengan perubahanku? Bukankah sejak kita menjadi teman satu kelas, kau tak pernah peduli?" tanya Bella menelisik wajah tampan itu. Zavier mengusap pelan belakang lehernya, dia merasa gugup karena yang sebenarnya, dia tidak pernah melihat sedikit saja ke wanita lain selain Intan. "Aku sengaja merubah diri dan berproses, karena wanita pintar tidak akan pernah laku kalau dia juga tidak good looking," ucap Bella yang mengangetkan Zavier. "Ah, tidak juga!" Zavier salah tingkah. Bella tertawa, karena baru kali ini dia melihat berbagai ekspresi dari seorang Zavier. Dulu yang sering dia lihat adalah sikap yang dingin tak tersentuh. "Apa yang lucu?" tanya Zavier. "Tidak, apa-apa," ucap Bella sambil mengusap sedikit air mata bekas tertawa. Obrolan mereka terjeda sebentar karena pelayan datang membawakan kopi pesanan Bella dan kentang goreng. Setelah beberapa saat terdiam, Zavier mulai bertanya lagi. "Apakah sudah lama kamu bergabung di perusahaan Tuan Aksa?" Bella tampak berpikir karena pertanyaan dari lelaki di depannya. "Sekitar tiga tahun yang lalu. Tepatnya setelah beberapa bulan aku lulus sekolah." "Lumayan lama ya?" Bella mengangguk sebagai jawaban. Bella meraih cangkir kopinya. Dia tidak langsung meminumnya, tetapi dia menghirup aroma kopi itu dulu dengan mata terpejam dan senyuman. 'Kenapa sekarang sekarang saat dia melakukan apa pun terlihat cantik,' ucap Zavier dalam hati. Keduanya terlihat semakin dekat dan mulai tidak ada kecanggungan. Sudah tiga kali mereka bertemu. Dan sore ini tanpa di sengaja. Bahkan keduanya tak menyadari jika sudah satu jam lebih mereka di kafe. Kopi pun sudah tandas. Tetapi, keduanya seolah enggan untuk mengakhiri pertemuan yang tak sengaja itu. Hingga Bella yang pertama menyadari sebentar lagi hampir magrib. Dia lebih dulu pamit kepada Zavier. "Vier, aku pulang ya? Lain kali kalau ada kesempatan bertemu kita berbincang lagi!" Ingin rasanya berkata 'jangan' tetapi dia tak punya hak atas diri seorang Bella. Akhirnya dia hanya sanggup berkata, "Oke. Aku juga akan pulang. Karena besok ada pertemuan penting di luar kota!" Kedunya akhirnya berjalan meninggalkan kafe, setelah lelaki itu membayar pesanan. Dalam perjalanan mereka masih berbincang. Bahkan sesekali tawa mengiringi langkahnya. Jika dilihat, kedua orang itu terlihat seperti pasangan kekasih. Atau mungkin seorang suami istri. Namun kenyataannya mereka hanya sebatas teman biasa. * "Kenapa kau malah masuk ke sini? Kenapa tidak langsung pulang?" tanya William setelah sampai di dalan club' malam. "Aku tidak ingin pulang. Malam ini sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku menginap di kota kembang ini," jawab Intan sambil memainkan gelas di hadapannya. "Apa suamimu tidak akan mencarimu?" "Aku sudah memberikan kabar kalau aku ada kerjaan di sini. Pasti dia berpikir aku selesai larut malam dan memilih tidak pulang karena lelah!" William masih setia memandang lekat wajah ayu di hadapannya ini. Lelaki berkulit putih ini mengikuti mobil yang di kemudikan model favoritnya. "Dari mana kamu tahu kalau aku berada di sini?" tanya Intan menoleh ke arah sang fotografer. William tampak tenang masih menatap wajah Intan dengan pandangan sulit diartikan. "Aku memang ingin ke sini, dan tak sengaja melihat dirimu duduk di meja ini." Intan tak ingin menjawab atau menimpali ucapan fotografernya. Dia menikmati cairan bening itu dengan anggun. Sejak dia masuk menjadi model terkenal, Intan mengenal minuman beralkohol. Tapi Intan tidak sering meminumnya seperti kebanyak temannya. Dia hanya minum kalau pikirannya sedang kacau. "Lalu dimana assistenmu?" tanya William mengedarkan pandangan ke seluruh club'. "Dia sudah aku suruh pulang," jawab Intan datar. William hanya mengangguk sambil menggoyangkan gelas kecil yang dia pegang. Lelaki ini akan menemani modelnya itu sampai kapan pun wanita itu mau. "Kalau kau bosan pergi dan carilah teman, Will!" titah Intan. William menggeleng, dia sedang tidak ingin bersenang-senang. Dia ingin tetap di sisi Intan. Lelaki tampan itu takut kalau modelnya akan diganggu lelaki hidung belang. Suara hentakan musik disko semakin memekakkan telinga. Semakin malam suasana club' semakin riuh. Entah sudah berapa gelas Intan minum dalam waktu hampir satu jam ini. Hingga tangan William menahan lengan wanita itu agar tak kebanyakan minum alkohol. "Hentikan, Intan! Nanti kau bisa mabok. Bukankah besok sore masih ada pemotretan lagi?" "Ini sedikit, Will. Aku janji tidak akan mabok. Dan aku juga tidak lupa kalau besok ada pemotretan lagi," jawab Intan sedikit kesal. "Terserah kau saja!" Pada akhirya, William memilih pasrah akan apa yang dilakukan Intan. Tepat jam dua malam, Intan mulai keluar dari club' besama William. Wanita itu tidak mabok. Hanya saja jalanya sedikit sempoyongan karena kepalanya sangat pusing. "Kita pakai mobilku saja. Biarkan mobil ini di sini sampai besok. Atau aku akan menyuruh orang untuk mengambilnya kalau kita sudah mendapatkan tempat menginap!" William memapah tubuh Intan menuju mobilnya. Tanpa menjawab, wanita itu duduk bersandar sambil memijit pelan pelipisnya. Dia sudah pasrah kepada William agar segera mendapatkan tempat untuk menginap. 'Astaga, aku semakin g*l* kalau dia terus begini,' keluh lelaki tampan itu. Bagaimana tidak? Intan memakai gaun mini dress yang sangat jelas memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda. Lelaki mana yang tahan godaan saat ada pemandangan indah di depan mata. William mencoba berkosentrasi agar kendaraannya segera sampai di sebuah hotel terdekat. Dia tidak mungkin melakukan hal yang tidak-tidak kepada Intan di saat Intan hampir tak sadarkan diri. Setelah mendapatkan tempat untuk menginap dia membawa Intan ke sebuah kamar mewah di salah satu hotel di Bandung. William tidak akan curang, dia hanya menidurkan modelnya itu kemudian memastikan semua aman dan mengunci pintu dari luar. Sedangkan dia memilih untuk masuk ke kamar sebelah Intan. Dia terus mandi dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Berharap rasa lelahnya segera menjadi kantuk. "Intan, kau memang berbeda!" William bergumam sendiri sebelum akhirnya dia memejamkan mata. * "Tuhan, harus bagaimana lagi aku mengatasi perasaanku terhadap suami orang ini?" Bella bertanya kepada dirinya sendiri sambil tiduran di ranjang besarnya. Wanita cantik ini tak tahu lagi apa yang akan dia lakukan jika perasaan yang sudah dia pendam bertahun-tahun akan kembali bersemi. "Kenapa mencintaimu serumit ini, Vier?" Bella membuka gorden kamarnya, dia melihat suasana luar apartemennya. Kerlipan lampu itu tampak indah. Tapi tak bisa membuat gembira hatinya yang gundah. Bella hanya berdiri sambil memeluk dirinya sendiri. Dia sekarang menjadi wanita b*d*h karena berharap pertemuan dan kedekatannya dengan Zavier adalah sebuah anugrah dari Tuhan. Kenyataannya ini hanya akan menjadi dilema dan menjadi masalah besar jika dia melanjutkan rasa cintanya. "Tidak apa-apa, Bella. Selagi Zavier tak tahu perasaan kamu yang sesungguhnya itu tak masalah. Lelaki itu hanya tahu kalau kau temannya." Bella memberikan semangat untuk dirinya sendiri. Seolah jangan sampai dia menjadi rapuh dengan rasa cinta yang mulai tumbuh. Wanita berhidung mancung itu mulai menutup kembali gorden kamarnya, dia mulai naik ke ranjang dan bersiap tidur. Karena besok dia ada pekerjaan penting dengan bosnya. Rencana dadakan malam tadi yang baru diberitahu kalau dia akan keluar kota. Hanya saja, Bella tak sempat bertanya daerah mana yang akan mereka kunjungi nanti. * Pagi harinya, Bella bangun awal. Meski semalam tertidur di jam larut, dia tetap terlihat segar. Wanita itu membuat sarapan roti panggang rasa coklat dengan segelas s**u hangat. Sambil menikmati sarapannya dia mengecek barang bawaannya. Karena rencananya dua hari dia akan melakukan kunjungan kerja di kota lain. Setelah semua tak ada yang tertinggal, dia mulai mengecek kabel dan tabung gas. Akan sangat berbahaya kalau tidak teliti karena apartemennya tidak akan ia huni selama dua hari. "Beres! Saatnya kita berangkat!" Bella berjalan pelan sambil menyeret koper kecilnya menuju loby apartemen. Wanita itu akan menggunakan taksi untuk sampai di Bandara. "Semoga tidak macet," ucap Bella lirih setelah sampai di dalam taksi. "Bandara ya, Pak!" Bella memberitahu kemana tujuannya. "Baik, Nona!" Perjalanan ditempuh selama hampir satu jam, Bella sudah sampai di depan Bandara. Wanita cantik itu turun setelah membayar taksi. Dia menunggu kopernya diambilkan oleh sopir taksi. "Terima kasih, Pak!" "Sama-sama, Nona!" Baru beberapa langkah berjalan masuk ke Bandara, ternyata Tuan Aksa sudah menunggu di kursi tunggu tak jauh dari pintu depan Bandara. Sedangkan di tempat yang sama, Zavier juga sudah duduk memakai kaca mata hitam dengan setelan jas warna hitam. Keduanya tak menyadari jika mereka kembali satu tempat. Hanya saja kali ini mereka belum bertemu. Sampai pesawat akan terbang Bella maupun Zavier belum bertemu secara langsung. Rasanya Zavier ingin segera sampai di dalan pesawat dan duduk sambil mendengarkan musik kesukaannya tanpa ada yang menggangu. Siapa tahu dia bisa sejenak melupakan rasa penat dan kesal hatinya, karena istrinya tidak pulang. Sakit terburu-burunya dia berjalan, tanpa sengaja bahu lelaki tampan itu menyenggol seseorang yang hampir terjatuh. Tangan lelaki tampan itu dengan sigap meraih tangan wanita yang dia tabrak agar tak terjatuh. Pandangan keduanya beradu seolah mereka hanya berdua saja ditempat itu. Keduanya tak menyadari kalau mereka menjadi pusat perhatian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN