?6. GHSI?

1267 Kata
"Kenangan adalah hal yang mungkin bisa dilupakan. Namun, tak akan pernah bisa terhapuskan." *** ** * * *Reya POV** . . . Aku masih kesal setelah tadi berkirim pesan dengan Yunki, sering kali ia seolah mengetahui apa yang kulakukan dan pikirkan. Mungkin itu terjadi karena persahabatan kami yang telah lama terjalin. Aku telah tiba di tempat, yang akan menjadi rumahku selama berada di Korea. Dan ini ternyata cukup besar, Gedung ini memiliki delapan lantai sementara aku tinggal di lantai satu dan tiap lantai ada delapan ruangan. Tempat tinggalku terdiri dari dua kamar tidur, dua kamar mandi masing-masing satu kamar mandi basah dan kamar mandi kering, sebuah ruang makan yang terhubung dengan dapur, ruang tengah dan sebuah ruang kosong yang akan aku jadikan ruang kerja. "Sederhana?" gumamku seraya menatap sekeliling. Sejujurnya aku merasa tempat tinggal ini jauh dari kata sederhana. Aku sedikit berlari kecil ke tempat tidur, duduk kemudian melepas hijab yang aku kenakan. Lega sekali rasanya. Aku sudah memakai hijab tiga tahun ini dan masih belum betul-betul mengenakannya. Hanya memakai saat bepergian tapi, saat berada di rumah aku hampir tidak mengenakannya. Aku sadar betul ini masih jauh dari sempurna. Namun, perubahan itu butuh proses 'kan? Aku hanya melakukan apa yang nyaman untukku saat ini. Setelah itu ku ambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur lalu segera menghubungi mama dan papa mereka pasti sedang cemas menunggu. Beberapa saat menatap layar ponsel menunggu panggilan video di sambungkan, setelah tersambung aku bisa melihat wajah adikku Raya. "Mbak!!" serunya. "Hai! Assalamualaikum Mama mana?" "Waalaikumsalam, tunggu ya." Aku melihat Raya berjalan ke dapur, melihat Mama yang sedang memasak di sana. Aah, baru sebentar aku tiba rasanya sudah rindu rumah. "Mbakk," sapa mamaku aku bisa melihat senyumnya. "Ma, assalamuallaikum." "Waalaikumsalamm, alhamdulilah seneng Mama tau kamu telepon juga. Kapan sampai?" "Udah, dua jam yang lalu, cuma aku baru nyampe apartemen jadi baru bisa hubungi rumah." Aku lihat Mama menyeka air matanya. Please jangan nangis Ma. "Jangan lupa sholat, rajin mandi," "Rajin mandi? Nanti kalau mandi sering-sering aku luntur Mah." Rengekku. "Halah, bilang aja males 'kan kamu?" "Hehehe, iya Ma nanti aku rajin mandi." "Makannya jangan mi terus, mending telor gitu. Masak nasi harus stok nasi! Jangan jajan es, itu biar radangnya nggak kambuhan. Minum obat biar nggak gampang sesek nafasnya." Setiap nasihat mama yang tadinya selalu jadi hal yang menyebalkan. Sekarang? entah apa yang aku rasakan, yang jelas aku mencoba sekuat mungkin menahan air mata. "Iya Ma." Saat itu aku melihat sosok Papa datang dari belakang Mama. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum padaku. Akh, air mata ku— kututupi wajah dengan tangan seraya menyeka air mata yang menetes. "Udah sampe Mbak?" suara Papa membuat air mataku mengalir deras. Belum sehari meninggalkan rumah tapi, rasanya aku sangat rindu. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan papa. Aku sangat dekat dengan papa terutama setelah kembali dari Korea. Semua hal bisa kami bicarakan. Aku mengakui jika memang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Aku hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan papa. Tak akan bisa aku menahan air mataku jika aku menjawab dengan suara meski ingin bersuara aku tak ingin membuat mereka lebih khawatir karena sifat cengengku. *** **Yunki POV** . . . Aku dan BTL telah menyelesaikan konser kami di Indonesia. Ini kedatangan kedua di Indonesia. Sambutan penggemar kali ini memang luar biasa, tak menyangka ternyata mereka sangat bersemangat menyambut kami. Mendengar teriakan dan merasakan bernyanyi bersama AMY (panggilan untuk penggemar BTL) adalah hal yang sangat membanggakan. Aku mungkin tidak pandai dalam mengekpresikan perasaanku. Namun, aku sangat berterima kasih pada AMY yang telah dengan penuh perjuangan mendukung kami. Dukungan kalian adalah pemacu semangat kami. Gomawoyo AMY saranghae! (terima kasih, aku mencintaimu) Selesai konser kami harus segera kembali ke Korea dan itu memang sudah dijadwalkan. Saat ini aku sudah duduk kembali dengan nyaman di pesawat dan akan sampai ke Korea sekitar tujuh jam lagi. Aku membayangkan bagaimana akan membuat Reya kesal nanti saat kami bertemu. "Hyeong, gwenchana?" tanya Jeon-gu yang duduk di sebelahku. (kakak kau baik-baik saja?) Aku hanya menatapnya dengan heran karena aku tak mengerti tujuan dari pertanyaannya. "Kau berbeda hari ini, kau banyak tersenyum?" Aku tak menanggapinya hanya menatapnya kemudian fokus pada ponselku, memasang earphone di telinga dan mulai memejamkan mataku. Aku akan butuh energi ekstra saat nanti kembali ke Korea. Sebelum aku kembali ke Korea, aku sempat menikmati sepiring nasi goreng saat di belakang panggung membuatku teringat tentang Reya. Daegu, 2002 . . Aku menatap ke pagar dari kelasku melihat Reya diantar seorang pria, yang awalnya aku pikir itu adalah ayahnya. Setelah aku mengenalnya aku tahu jika pria itu adalah sang kakek. Langkah riang dengan jaket tebal putih yang sering dipakainya memasuki sekolah yang masih sepi hari itu. Ia menatap dari gedung sekolah dan melihatku, dengan mata bulat yang besar ia menatapku, Kemudian tersenyum dan menggerakkan tangan yang aku tau ia mengajakku ke taman belakang. Aku mengangguk mengiyakan ajakannya, segera dengan setengah berlari aku menuju taman belakang. Di sana aku melihatnya duduk dan memangku sebuah kotak makan. "Yunki ssi!" Serunya lalu melambaikan tangan dengan riang. Aku berjalan kemudian duduk di samping Reya. Ia membuka kotak makannya berisi sosis, telur mata sapi dan nasi campur? "Apa ini?" "Sarapan," jawabnya singkat. Aku menyendok sosis dengan hiasan mayones juga saus dan segera mencobanya, ini enak sekali. "Ini?" tanyaku lagi menunjuk makanan yang berada di tempat utama. "Aahh, nasi goreng!" "Apa? Na-si go-reng-ngeu?" tanyaku mencoba mengulangi bahasa yang ia ucapkan. "Akh, fried rice?" Jelasnya kemudian dan terlihat ia sangat berharap jika aku mengerti hal yang ia katakan. Ah, bokeumbap aku mengerti apa yang ia katakan. Hanya saja aku sengaja masih menatapnya bingung. Aku rasa ia mencari bahasa korea dari masakan ini, lucu sekali melihat ia kebingungan. "Aish, aku lupa bahasa koreanya," gumamnya ia terlihat benar-benar bingung karena nasi goreng. "Sudahlah, aku akan makan ini selamat makan!" Segera kulahap makanan dengan lahap, ia tersenyum menatapku sepertinya lega karena tak harus berpikir tentang bokeumbap. "Apa itu enak?" tanyanya dengan mata besarnya menatapku penuh harap. Ah, kyeopta, Aku berusaha menunjukkan jika mencicipi dengan serius. "Hmmm, ini enak hanya masih terlalu hambar." (imut) "Mmm, begitu." gumamnya terdengar sedikit kecewa. "Apa kau yang memasaknya?" tanyaku. Ia menggeleng, "aniyo, kakekku yang memasaknya." (tidak) "Aish, jika bukan kau yang memasak ini kenapa kau begitu penasaran akan pendapatku?" tanyaku kesal. Ia tersenyum menatapku. "Aku hanya ingin mengetahuinya," "Kau menyebalkan, hidung datar!" aku kembali menghabiskan sarapan yang ia berikan padaku sambil menekan hidungnya. Aku meliriknya, ia menekan hidung datarnya dengan tangan kanannya. "Nggak pesek-pesek banget," gumamnya. "Mwo?" tanyaku yang tak mengerti dengan bahasa yang ia gunakan. (apa) "Hidungku tidak terlalu datar bodoh!" makinya dengan menatapku dan memicingkan matanya. Ini makian pertamanya padaku, mataku membulat menatapnya. Ia menaikan bibir bawahnya. Pipi merahnya semakin besar jika ia melakukan itu. "Aish, kau ini gadis mana boleh memaki pria?" "Lalu apa pria boleh melakukannya?" tanyanya. "Tentu tidak. Tidak boleh memaki apapun jenis kelaminmu." tegas ku. "Lalu apa kau pria? Lihat mana ada manusia berkulit seputih itu dan gigi itu! apa kau kucing? Kau itu lebih mirip vampir kucing!" Aku menahan tawaku melihatnya marah. Ah, gadis ini mengapa ia galak sekali? "Bukankah kau suka kucing?" tanyaku. Ia mengangguk. "Lalu?" Bukankah berarti ia menyukai vampir kucing sepertiku? "Tapi, bukan kucing yang menyebalkan sepertimu!" "Kenapa?" "Entahlah!" ia berjalan kesal meninggalkanku. Aku tersenyum lebar melihatnya berjalan menjauh, tapi beberapa langkah kemudian ia kembali dan duduk di sampingku. "Ada apa lagi?" tanyaku. Ia menunjuk tempat makan yang berada di atas pangkuan ku "Nenekku akan marah jika aku menghilangkannya," ucapnya dengan nada yang lucu, terdengar seperti malu dan takut. Ah, jangan tanyakan bagaimana reaksiku. Karena, aku yakin tak akan ada yang bisa menahan tawa melihat tingkah seimut itu. Reya aku akan kembali ke Korea. Hmm, hari ini menyenangkan sekali bukan? ______
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN