Sakit

2144 Kata
Hari ini Zayn tidak bisa berangkat ke sekolah karena sakit. Semalam demamnya tinggi, sehingga paginya bocah kecil itu tak bisa masuk sekolah seperti biasanya. Gavin juga sudah menghubungi Shanum dan memberitahunya, kalau Zayn hari ini tak bisa masuk sekolah. Dirinya juga tak berangkat ke kantor. Semua pekerjaan di handle oleh Fernandes. Zayn baru saja minum obat, sekarang bocah kecil itu sudah kembali tidur. Semalaman demamnya sangat tinggi, hingga membuat Sarah dan Gavin harus menjaga Zayn di kamarnya. Paginya, Gavin dan Sarah membawa Zayn ke rumah sakit untuk diperiksa. Ternyata Zayn terkena radang tenggorokan. Gavin menyesal, karena kemarin tak melarang Zayn untuk makan es cream yang diberikan oleh Rani. Bahkan sampai nambah satu mangkuk lagi. Gavin memang jarang memberikan Zayn es cream, karena dulu saat Zayn berusia dua tahun, Zayn juga pernah terkena radang tenggorokan setelah makan es cream. Tapi kali ini dirinya lengah. Melihat putra kesayangannya terlihat lemah, sungguh membuat hatinya sakit. Apalagi selama ini Zayn sudah lama tak pernah sakit, karena dirinya dan mamanya selalu menjaga makanan Zayn. “Ma, maafin Gavin ya. Gavin lengah, karena kemarin membiarkan Zayn makan es cream,” ucap Gavin sambil menundukkan wajahnya. Sarah mengusap bahu Gavin. Ia juga tak mungkin menyalahkan Gavin. “Sayang, dengan apa yang terjadi sama Zayn saat ini. Apa kamu masih ragu untuk menikah lagi? kalau kamu menikah, Zayn akan dijaga oleh istri kamu—ibu sambung Zayn. Kamu juga gak perlu sampai seperti ini.” Gavin menghela nafas panjang. Apa yang mamanya katakan memang benar. Kalau dirinya menikah lagi, secara otomatis istrinya akan menjadi ibu sambung Zayn. Istrinya itu akan membantu dirinya untuk menjaga dan merawat Zayn. Bahkan Zayn tak akan lagi kekurangan kasih sayang seorang ibu. Tapi, kalau boleh jujur, dirinya belum sepenuhnya siap. Selama tiga tahun lebih Gavin hidup tanpa seorang pendamping, dan selama itu dirinya baik-baik saja. Tak kurang satu apapun, selain belaian, kasih sayang, dan perhatian dari seseorang yang mencintainya. “Ma, Gavin akan memikirkannya. Tapi untuk saat ini, Gavin benar-benar belum siap untuk menikah.” Aku ingin memastikan lebih dulu. Apa Rani bisa menjadi ibu sambung untuk Zayn atau gak. Aku gak mau sampai mengambil keputusan yang salah. Rani memang wanita yang baik. Tapi, Zayn juga harus merasa cocok dan bisa dekat dengannya. Tujuanku menikah bukan untuk diriku sendiri. Tapi untuk Zayn, karena bagiku, Zayn adalah prioritas utamaku. “Mama gak akan memaksa kamu. Apapun keputusanmu, Mama akan mendukung kamu. Tapi, sebelum kamu mengambil keputusan, tolong pikirkan soal anak kamu juga. Zayn juga butuh sosok seorang ibu.” Gavin menganggukkan kepalanya, “iya, Ma. Gavin tau,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. Terdengar suara langkah mendekat, membuat Gavin dan Sarah menatap ke arah sumber suara. “Tante, Mas Gavin, bagaimana keadaan Zayn?” Ternyata Rani yang datang. Rani mencium punggung tangan Sarah. “Demamnya sudah turun, sekarang sedang tidur,” sahut Sarah setelah menyuruh Rani untuk duduk. “Mas, maafin aku ya. Aku gak tau kalau Zayn gak bisa makan es cream. Zayn sakit karena keteledoran aku.” “Jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Aku juga salah, karena membiarkan Zayn makan es cream sampai habis dua mangkuk.” Sarah merasa ada yang aneh dengan sikap Rani dan Gavin. Apalagi panggilan Rani ke Gavin mulai berubah, dan tak memanggil Kak lagi. “Kalian...” Sarah menatap Gavin dan Rani secara bergantian. Rani yang duduk di sebelah Gavin, langsung merangkul lengan Gavin. “Kita akan mencoba untuk saling mengenal satu sama lain, Tan. Doakan semoga semuanya berjalan lancar, sampai Rani dan Mas Gavin bisa menikah nantinya,” ucapnya dengan tersenyum. Sarah begitu terkejut, tapi juga bahagia. Akhirnya putranya mau membuka hatinya untuk wanita lain. Mungkin ini baru awal, dan ia tak boleh berharap banyak. Tapi, ia tetap berharap hubungan mereka akan sampai di jenjang pernikahan. Amin. “Mas, apa aku boleh melihat Zayn? Aku bawakan bubur buat Zayn. Ini aku sendiri yang masak,” ucap Rani sambil memperlihatkan isi paper bag yang tadi dibawanya. “Kamu boleh melihat Zayn. Tapi soal bubur itu, nanti aja Zayn makannya, soalnya dia sudah makan tadi.” Gavin lalu beranjak dari duduknya, “aku akan mengantarmu ke kamar Zayn,” lanjutnya. Rani menganggukkan kepalanya. Ia lalu meletakkan paperbag itu ke atas meja lagi, lalu beranjak berdiri. Mereka melangkah menuju tangga, menaikinya satu persatu. Kamar Zayn berada di sebelah kamar Gavin. Zayn masih tertidur lelap di atas ranjangnya. Gavin dan Rani melangkah masuk ke dalam kamar Zayn. Mereka sama-sama duduk di tepi ranjang. Rani menyentuh kening Zayn, “demamnya sudah turun. Kalau aku tau akan jadi seperti ini, aku gak akan membelikan Zayn es cream, Mas. Maafkan aku,” ucapnya penuh penyesalan. “Sudahlah, aku juga gak menyalahkan kamu. Sekarang Zayn sudah baik-baik saja.” Rani menatap wajah imut Zayn, “aku janji, Mas, kalau kita sudah menikah nanti, aku akan menjaga Zayn dengan baik. Aku gak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.” Gavin menghela nafas, “lebih baik kamu pikirkan cara, agar Zayn bisa menerima kehadiran kamu. Itu juga akan mempermudah aku untuk mengambil keputusan.” Rani menganggukkan kepalanya, “Mas sudah memberikan aku kesempatan. Aku gak akan menyia-nyiakannya. Aku akan terus berusaha, agar Zayn bisa menerimaku dan dekat denganku,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Sedangkan di tempat lain, Yumna melangkah mendekati Shanum yang tengah duduk di meja kerjanya. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya sambil menarik kursi dan diletakkan di samping Shanum. “Kamu tau ‘kan Zayn sakit. Anak-anak mengajak untuk menjenguk Zayn.” “Ya udah, tinggal jenguk aja apa susahnya? Memangnya kamu gak ingin tau keadaan anak didik kamu itu?” “Aku juga ingin tau keadaan Zayn. Tapi... kesananya mau naik apa? jalan kaki?” Yumna nyengir kuda, “ya mangap. Andai Riko masih disini. Kita bisa pakai mobil dia.” Shanum tiba-tiba mendapatkan satu ide, “Na, bagaimana kalau kamu minta tolong sama Bang Juki? Dia kan kerja jadi gober. Kita bisa manfaatin itu,” ucapnya dengan menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Memangnya bis sekolah kenapa? kita bisa pakai itu ‘kan?” “Kata Pak Parja, mobil sekolah nya baru diperbaiki. Jadi gak bisa dipakai, yang satunya sedang dipakai keluar oleh anak-anak kelas B.” Yumna berdecak, “kamu tau ‘kan kalau si Juki itu...” “Naksir kamu, gitu?” potong Shanum dengan tersenyum. Yumna menganggukkan kepalanya, “entar dikiranya aku mau nerima dia lagi, kalau aku minta bantuan sama dia.” “Biar aku yang bilang sama Bang Juki. Dia pasti mau bantuin kita. Demi anak-anak, mau ‘kan kamu berkorban sekali aja?” bujuk Shanum. Yumna menghela nafas panjang, “ingat ya, aku melakukan ini demi anak-anak.” Shanum tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Yumna mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Juki—pria yang terus mengejar-ngejar dirinya dan tak pernah pantang menyerah. “Hallo, Bang,” sapanya saat panggilan itu mulai terjawab. “Eh... Dek Yumna. Tumbenan telepon Abang. Kangen ya?” “Abang lagi dimana? Aku boleh minta tolong gak?” “Abang baru habis nganterin pelanggaan. Memangnya Dek Yumna mau minta tolong apa sama Abang?” Yumna memberikan ponselnya kepada Shanum, “kamu yang minta tolong sama dia.” Shanum mengambil ponsel Yumna, dan langsung berbicara dengan Juki. “Hallo, Bang. Ini aku, Shanum. Sebenarnya yang ingin minta tolong itu aku. Gini Bang... aku ingin minta tolong, Bang Juki bisa gak mengantar aku dan anak-anak ke rumah salah satu anak didik aku? Bang Juki gak sedang sibuk ‘kan?” “O... gak kok. Abang gak sibuk. Ok, Abang kesana sekarang.” “Terima kasih ya, Bang. Aku tunggu.” Shanum lalu mengakhiri panggilan itu. “Makasih ya, sebentar lagi Bang Juki datang kesini,” ucap Shanum lalu mengembalikan ponsel Yumna. Tak berselang lama, ponsel Shanum berbunyi. Shanum lalu mengambil ponselnya dari atas meja dan melihat siapa yang menghubunginya. Kedua matanya membulat seketika. “Siapa?” tanya Yumna penasaran, karena sahabatnya itu tak langsung menjawab panggilan itu. “Papanya Zayn.” Yumna tersenyum, “cie... cie... kayaknya tu duren naksir kamu deh,” godanya. “Sembarangan! Aku angkat dulu. Siapa tau dia mau memberi kabar soal Zayn.” Shanum lalu menjawab panggilan itu, “hallo,” sahutnya setelah panggilan itu mulai tersambung. “Maaf, apa aku mengganggu kamu?” “Tidak. Bagaimana keadaan Zayn? Dia baik-baik saja ‘kan?” Yumna menutup mulutnya untuk menahan tawanya. Apalagi saat melihat wajah sahabatnya yang mulai merona setelah menjawab panggilan dari si duren. Rona-ronanya kayaknya Shanum mulai ada rasa nih sama si duren. “Alhamdulillah sudah membaik. Tapi... Zayn ingin bertemu sama kamu. Apa kamu ada waktu sebentar? Zayn bahkan gak ingin makan sebelum ketemu sama kamu.” Kenapa bisa kebetulan seperti ini ya? “Bisa, sebenarnya saya dan anak-anak memang berniat untuk menjenguk Zayn. Tapi, kami harus menunggu jemputan, karena bisa sekolah sedang dalam perbaikan.” “Bagaimana kalau aku jemput kamu dan anak-anak? Soalnya Zayn sejak tadi terus merengek.” “Em... apa gak merepotkan anda?” “Gak, aku berangkat sekarang.” Shanum meletakkan ponselnya ke atas meja, “Gavin mau datang kesini untuk menjemputku dan anak-anak.” “Lha... terus Bang Juki?” “Nanti kamu dan anak-anak yang lain naik mobil Bang Juki. Atau kamu naik mobil Gavin?” Yumna mengernyitkan dahinya, “serius nih, kamu izinin aku satu mobil sama si duren?” “Kenapa gak boleh? Gak ada yang ngelarang juga. Aku gak masalah naik mobil siapa, yang penting kita bisa berangkat untuk menjenguk Zayn.” “Ok, aku naik mobil si duren, kamu naik mobil Bang Juki, karena aku gak mau satu mobil sama Bang Juki.” Shanum menganggukkan kepalanya, “gak masalah buat aku. Lagian aku juga gak enak hati sama Bang Juki. Dia udah bela-belain mau datang kesini untuk mengantar kita dan anak-anak ke rumah Zayn.” Gavin meminta Shanum untuk masuk ke dalam mobil. Sepertinya Yumna gagal deh, untuk satu mobil sama si duren, karena Shanum tak enak hati menolak permintaan Gavin. Shanum menatap Yumna, tatapannya seakan mengatakan permintaan maaf, karena dirinya harus ingkar janji. Yumna mengangguk pelan, menandakan dirinya tak masalah, jika harus satu mobil sama Juki—pria yang bikin dia gedek setengah mati. “Kami duluan ya,” pamit Gavin setelah Shanum dan anak-anak masuk ke dalam mobil. Yumna dan Juki menganggukkan kepalanya. Gavin lalu berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil. Menatap Shanum yang saat ini tengah memangku salah satu anak didiknya. “Maaf, karena sudah merepotkan kamu.” Shanum tersenyum, “enggak kok. Saya sama sekali gak merasa direpotkan. Anak-anak juga ingin menjenguk Zayn.” Gavin tersenyum. Senyuman Gavin entah mengapa membuat jantung Shanum berdetak dengan sangat cepat. Astaga! Kenapa dengan detak jantungku? Senyuman Gavin... kenapa begitu manis? Astaga, Shanum! Sadar... jangan sampai kamu melakukan kesalahan. Gak seharusnya hati kamu berdebar sama pria ini. Gavin mulai melajukan mobilnya keluar dari area sekolah, dan diikuti oleh mobil Juki di belakangnya. Sejak tadi bibir Juki melengkung membentuk sebuah senyuman. Dirinya tak menyangka, akan mendapatkan durian runtuh. Baru kali ini, ia bisa satu mobil dengan sang pujaan hati. Ya... meski tak hanya berdua. Yumna mengernyitkan dahinya saat melihat pria yang duduk di sampingnya senyum-senyum sejak tadi. “Abang gak apa ‘kan? Gak lagi kesambet ‘kan?” Juki masih tersenyum, “kesambet juga gak apa. Asal kesambet cinta Dek Yumna,” godanya. Yumna memutar bola matanya jengah. Ia merutuki mulutnya yang sudah mengeluarkan kata-kata dan mengajak Juki bicara. Tau gini aku diemin aja nih orang! Gila... gila deh! Bukan urusan aku juga! Anak yang dipangku Yumna mendongakkan kepalanya demi menatap wajah Yumna. “Bunda Yumna, apa masih lama untuk sampai di rumah Zayn?” Yumna mengusap puncak kepala gadis kecil itu, “sebentar lagi, Sayang. Kenapa? kamu sudah gak sabar ingin bertemu sama Zayn?” Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, “aku mau kasih Zayn coklat. Zayn ‘kan suka coklat.” Yumna menepuk keningnya sendiri, “astaga! Kenapa aku gak kepikiran buat bawa buah tangan buat Zayn? Masa mau jenguk orang sakit gak bawa-bawa apa? malu dong.” Juki menatap Yumna, lalu kembali fokus menatap ke depan, “gimana kalau kita mampir ke toko buah dulu? gak enak juga kalau gak bawa apa-apa.” “Iya, Bang. Kita mampir ke toko buah dulu. Gak enak juga kalau gak bawa apa-apa.” Yumna lalu mengecup puncak kepala gadis kecil itu, “untung kamu mengingatkan Bunda, Sayang. Terima kasih.” "Sama-sama, Bunda," ucap gadis kecil itu dengan senyuman di wajahnya. Yumna kembali mengecup puncak kepala gadis kecil itu. Shanum pasti juga lupa. Bisa-bisanya dia sampai melupakan hal yang paling penting. Untung Risa bicara seperti itu tadi, kalau gak, aku juga bakalan lupa. Yumna lalu mengetik pesan dan dikirim kepada Shanum. Pesannya berisi tentang dirinya yang akan mampir ke toko buah dulu untuk membeli buah. Dirinya juga minta, agar nanti diberi alamat rumah Zayn, agar tak kesasar. Bisa berabe kalau sampai kesasar. "Bang, lebih cepat ya," pinta Yumna. Juki menganggukkan kepalanya, "siap, Neng. Apa sih yang enggak buat Neng Yumna yang cantik," godanya. Yumna hanya memutar bola matanya jengah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN