Gavin melihat jam di pergelangan tangannya. Waktunya untuk menjemput Zayn, karena mamanya tak bisa menjemput putra kesayangannya itu karena ada urusan mendadak.
Fernandes juga sedang ia tugasnya ke Jepara untuk mengecek pembangunan kantor cabangnya yang baru.
Untung semuanya sudah beres. Jadi aku bisa menjemput Zayn sekarang.
Gavin lalu bangkit dari duduknya, mengambil ponsel dan kunci mobilnya dari atas meja. Melangkah menuju pintu, membuka pintu, keluar dari ruangannya.
Gavin melangkah menuju meja kerja sekretarisnya.
“Rit, saya akan pergi menjemput anak saya, sekalian makan siang di luar. Kalau ada yang datang mencari saya. Katakan saja untuk datang kesini lagi besok.”
Rita sang secretaris menganggukkan kepalanya, “baik, Pak,” ucapnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Ok. Terima kasih.” Gavin lalu melangkah pergi menuju lift.
Rita menatap kepergian Gavin, “kalau Pak Gavin mau sama aku, aku juga mau jadi istri keduanya,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Jangan mimpi, Rit. Kamu gak selevel sama Gavin. Jangan bermimpi di siang bolong.
Gavin menghentikan mobilnya tepat di halaman sekolah Zayn. Tapi, ada hal yang membuatnya mengernyitkan dahinya. Kedua matanya menatap sosok yang sangat dikenalnya tengah berbicara dengan Shanum dan Zayn.
Rani! Ngapain dia disini? Jangan bilang dia mau menjemput Zayn.
Gavin teringat akan usulan Fernandes beberapa hari yang lalu.
Apa aku pertimbangkan usulan Fernandes ya? tapi aku juga gak mau menyakiti Rani nantinya.
Keraguan masih menyelimuti hati Gavin. Apalagi sampai saat ini, nama Yasmin masih bertahta di hatinya. Sampai kapanpun, tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Yasmin di hatinya.
Gavin membuka pintu mobilnya, melangkah keluar dari mobil. Tatapannya menatap ke arah ketiga orang yang sejak tadi menarik perhatiannya.
Gavin berjalan menghampiri ketiga orang itu.
“Papa!” Zayn berlari menghampiri papanya.
Gavin duduk berjongkok di depan Zayn, “maaf ya, Sayang. Papa sedikit terlambat,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Zayn.
Gavin lalu menatap ke arah Shanum dan Rani yang kini tengah berjalan ke arahnya. Dirinya lalu beranjak berdiri.
“Kak, aku kira Kak Gavin gak bisa menjemput Zayn. Makanya aku datang kesini untuk menjemputnya,” ucap Rani dengan senyuman di wajahnya.
“Terima kasih ya, kamu sudah begitu perhatian sama anak aku.”
Rani masih tersenyum, “Kak, aku ingin sekali pergi bertiga sama Kakak dan Zayn.”
Shanum sejak tadi hanya diam. Dirinya sebenarnya merasa canggung dan ingin segera pergi dari tempat itu. Tapi, dirinya masih harus menyerahkan Zayn kepada Gavin.
“Em... maaf kalau saya menyela. Karena sekarang Zayn sudah ada yang menjemput, saya pamit undur diri,” pamitnya.
Gavin menganggukkan kepalanya, “terima kasih sudah menemani Zayn sampai aku datang,” ucapnya dengan tersenyum.
“Itu sudah menjadi tugas saya, karena Zayn adalah tanggung jawab saya,” ucap Shanum dengan menepiskan senyumannya.
Shanum lalu berjongkok di depan Zayn, “Sayang, Bunda pergi dulu ya. Kita ketemu besok senin,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Zayn.
“Baik, Bunda Shanum,” ucap Zyan dengan senyuman di wajahnya tentunya.
“Anak pintar.” Shanum lalu beranjak berdiri, “saya permisi,” pamitnya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
“Ran, kamu mau ‘kan ikut makan siang sama aku dan Zayn?”
Rani menganggukkan kepalanya. Ini adalah kesempatan yang ditunggunya selama ini.
“Tapi gimana dengan mobil aku?” Rani menatap ke arah mobilnya yang diparkirkan tak jauh dari mobil Gavin.
“Gimana kalau kamu tinggal disini dulu, nanti aku akan mengantar kamu kesini untuk mengambil mobil kamu?”
“Baiklah. Kalau gitu aku bicara sama penjaga sekolah dulu.” Rani lalu melangkah mendekati sang penjaga sekolah.
Meminta izin untuk memarkirkan mobilnya di halaman sekolah itu.
“Gimana?” tanya Gavin setelah Rani kembali.
“Kita pergi sekarang.”
Gavin lalu membuka pintu penumpang depan. Meminta Rani untuk masuk. Sedangkan Zayn memilih untuk duduk di belakang, karena dirinya tak mau di pangku oleh Rani.
Gavin hanya menghela nafas, melihat putranya yang menjaga jarak dengan Rani. Lalu... apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa ia harus membatalkan rencananya untuk lebih dekat dengan Rani?
Rani mengernyitkan dahinya saat melihat Gavin yang sejak tadi diam. Bahkan sudah lebih dari lima menit mereka masuk ke dalam mobil.
“Kak, apa yang kakak pikirkan? Katanya mau makan siang? Apa masih ada orang yang kakak tunggu?”
Gavin tersadar dari lamunannya, “hem... enggak kok. Kita berangkat sekarang.”
Gavin lalu mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman sekolah Zayn.
“Sayang, kamu mau makan dimana?” tanya Gavin sambil menatap kaca spion di depannya.
“Zayn mau pulang, Pa.”
“Papa akan mengantar Zayn pulang. Tapi kita makan siang dulu, OK.”
Rani menengok ke belakang menatap Zayn, “Zayn, Sayang, gimana kalau kita makan siang di cafe kesukaan Tante? Disana makanannya enak-enak. Zayn pasti suka.”
Rani lalu mengalihkan tatapannya menatap Gavin, “gimana, Kak? kakak mau gak?”
“Ok. Kita ke cafe langganann kamu aja.”
Rani tersenyum. Bahagia... itu sudah pasti dong. Apalagi ini adalah kesempatan langka, dirinya bisa pergi bertiga dengan Gavin dan Zayn. Dirinya juga tak akan menyia-nyiakannya.
Rani akan menggunakan waktu yang singkat untuk menyakinkan Gavin agar mau menyetujui rencana perjodohan mereka.
Rani memesankan makanan yang cocok untuk anak seusia Zayn. Tak lupa juga dengan es cream kesukaan Zayn untuk hidangan penutup.
“Kak, makasih ya, kakak sudah mengajak aku untuk makan siang. Aku pikir, aku gak akan bisa dapat kesempatan untuk dekat sama kakak dan Zayn,” ucap Rani sambil menyentuh punggung tangan Gavin yang ada di atas meja.
Gavin menghela nafas, “Ran, apa kamu hari ini sibuk?”
Rani menggelengkan kepalanya.
“Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu nanti. Apa kamu bersedia ikut denganku?”
Rani tersenyum, tentu saja anggukkan kepala sebagai jawabannya.
Penasaran itu pasti. Bahkan saat ini jantungnya sudah berdetak dengan sangat cepat, hanya karena memikirkan apa yang ingin Gavin bicarakan dengannya.
Gavin melihat Zayn dan Rani sudah menyelesaikan makan siang mereka. Dirinya juga tak punya banyak waktu, karena harus kembali ke kantor. Belum lagi dirinya harus berbicara empat mata dengan Rani setelah ini.
“Sayang, kita pulang sekarang ya?”
Zayn menganggukkan kepalanya.
Mereka lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari cafe itu. Masuk ke dalam mobil. Sama seperti tadi, Zayn memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang.
Setelah mengantar Zayn pulang, Gavin berencana mengantar Rani untuk mengambil mobilnya yang ditinggal di halaman sekolah Zayn.
Tapi sebelum itu, Gavin mengajak Rani untuk berbicara empat mata.
Gavin menghentikan mobilnya di pinggir jalan sebelum sampai di sekolah Zayn.
Gavin mengambil nafas secara perlahan, lalu mengeluarkannya perlahan. Tatapannya kini menatap ke arah wanita yang duduk di sebelahnya.
“Ran... aku ingin bicara soal perjodohan kita.”
Rani tersenyum, “apa kakak sudah mengambil keputusan?”
Gavin menganggukkan kepalanya, “tapi aku gak bisa langsung memutuskan untuk menerima perjodohan ini.”
Kening Rani mengernyit, “maksudnya?” tanyanya bingung.
“Em... aku punya satu penawaran buat kamu. Tapi, aku juga gak maksa kamu untuk menerima tawaran aku.”
Rani memilih untuk diam. Ia ingin mendengar sampai selesai apa yang akan Gavin katakan padanya.
Tawaran? Perjanjian gitu? Nikah kontrak?
Itulah yang Rani pikirkan untuk menerka-nerka maksud ucapan Gavin tadi.
“Aku sudah memikirkan tentang perjodohan kita. Tapi, aku ingin kita bisa saling mengenal satu sama lain lagi.”
Dahi Rani semakin mengernyit, ‘mengenal?’ gumamnya dalam hati.
“Bukankah kita sudah saling mengenal?” tanyanya bingung.
Gavin mengangguk. Ia paham, kalau gadis yang duduk di depannya tak paham dengan maksud kata-katanya.
“Kita memang sudah saling mengenal. Tapi, itu dulu. Saat kita masih kecil. Saat kita belum tau apa-apa. Tapi, sekarang kita udah sama-sama dewasa. Pastinya ada yang berubah. Jadi, aku ingin kita jalani dulu seperti ini.”
“Seperti ini? maksudnya?” Rani benar-benar semakin tak mengerti arah pembicaraan Gavin.
Kenapa Gavin gak langsung tho the point aja sih! Ngapain pakai muter-muter segala. Sebenarnya dia ingin menikah sama aku atau gak?
Astaga! Baru kali ini ia menemui cowok modelan Gavin.
“Em... ya kayak gini. Kita jalani aja hubungan kita seperti ini. Saat aku dan kamu sama-sama yakin, baru kita bicara langkah selanjutnya?”
“Jadi kamu ingin kita pacaran dulu? gitu maksud kamu?”
Gavin menelan ludah, lalu menganggukkan kepalanya.
Melihat anggukkan kepala Gavin, membuat kedua sudut bibir Rani tertarik membentuk sebuah senyuman.
“Serius?” tanyanya kembali memastikan.
“Hem... tapi aku gak bisa menjanjikan apa-apa. Jangan terlalu berharap dengan hubungan ini. Kamu juga tau, keputusan aku juga tergantung dengan keinginan Zayn.”
Rani mengangguk, “aku juga akan berusaha untuk menjadi wanita yang layak untuk menjadi istri kamu. Aku juga akan mencoba untuk lebih dekat dengan Zayn, karena aku ingin dia bisa menerima aku,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Rani lalu memberanikan diri untuk menggenggam tangan Gavin, “apa mulai sekarang kita sudah resmi pacaran?”
“Hem...”
“Apa mulai sekarang aku boleh memanggil kamu, Mas? Anggap saja itu panggilan sayang aku ke kamu, Kak?”
Gavin menghela nafas panjang, lalu menganggukkan kepalanya. Menarik tangannya dari genggaman tangan Rani.
“Sekarang aku akan mengantar kamu untuk mengambil mobil kamu. Gak enak juga memarkirkan mobil kamu lama-lama disana.”
Rani menganggukkan kepalanya dengan senyuman yang masih merekah di kedua sudut bibirnya. Dirinya benar-benar tak menduga sama sekali, kalau Gavin akan memintanya untuk menjadi kekasihnya.
Ya... meski gak langsung diajak nikah, tapi aku mempunyai kesempatan untuk membuat Gavin jatuh cinta sama aku.
Gavin mulai melajukan mobilnya menuju sekolah Zayn yang hanya tinggal beberapa meter saja.
Setelah sampai di sekolah Zayn, Rani keluar dari mobil. Ia lalu menghampiri penjaga sekolah. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjaga mobilnya, Rani memberikan sedikit uang kepada penjaga sekolah itu.
“Terima kasih ya, Pak. Saya permisi,” ucapnya lalu melangkah menuju mobilnya.
Rani membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil. Lalu, melajukan mobilnya keluar dari area sekolah. Dirinya lalu membunyikan klakson saat berpapasan dengan mobil Gavin.
Rani ingin segera pulang ke rumah dan memberitahu mamanya tentang kabar gembira—yaitu kemajuan hubungannya dengan Gavin.
Gavin mengernyitkan dahinya saat melihat sosok yang sangat dikenalnya.
Ya... sosok itu adalah Shanum. Wanita itu kini tengah berjalan sambil mendorong motornya.
Gavin membunyikan klakson, dan menghentikan mobilnya. Dirinya lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.
Shanum begitu terkejut saat melihat Gavin, “Pak Gavin? Sedang apa disini?”
Gavin melihat motor matic yang saat ini sedang dipegang oleh Shanum, “kenapa dengan motor kamu? motor kamu mogok?”
Shanum menganggukkan kepalanya, “karena disini bengkel jauh, jadi terpaksa harus saya dorong,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
Gavin melihat jam di pergelangan tangannya. Ia sudah terlalu lama pergi keluar dari kantor.
Tapi, dirinya juga tak akan tega melihat guru anak kesayangannya itu mendorong motor sampai menemukan bengkel terdekat.
“Gimana kalau saya antar sampai di rumah? Biar nanti motor kamu aku yang urus?”
“Tidak usah, saya tak ingin merepotkan anda.”
Shanum menatap motornya. Sebenarnya tak ada salahnya menerima tawaran Gavin. Tapi, ia merasa tak enak hati. Apalagi harus berdua di dalam mobil yang terasa sejuk dan nyaman saat duduk di dalam mobil itu.
“Aku sama sekali gak merasa di repotkan. Aku juga gak mungkin tega meninggalkan kamu sendirian mendorong motor seperti ini.”
Gavin lalu mengambil ponselnya dari saku celananya, “aku akan minta temanku untuk mengurus motor kamu. Tenang aja, dia bekerja di bengkel juga. Jadi motor kamu bisa sekalian diperbaiki,” lanjutnya.
Gavin lalu menghubungi sahabatnya yang bernama Toni. Toni bekerja di sebuah bengkel besar.
Tak masalahkan meminta bantuan darinya? Mereka ‘kan juga teman dekat.
“Halo, Ton,” sapanya saat panggilan itu mulai terjawab.
“Tumben kamu menghubungiku?”
“Aku butuh bantuan kamu sekarang. Apa kamu bisa datang kesini untuk mengambil motor guru anakku?”
“Kamu lagi dekat sama guru anak kamu?”
“Gak. Sebaiknya kamu segera datang kesini, gak usah banyak tanya.”
“Ok. ok. Sekarang kasih tau posisi kamu dimana?”
“Aku share lock. Aku tunggu.”
Gavin lalu mengakhiri panggilan itu, dan mulai mengirim lokasinya kepada Toni.
“Sekarang kita tunggu sahabat aku datang untuk mengambil motor kamu.”
Shanum merasa tak enak hati. Tapi, ia hanya bisa menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih.
Dalam perjalanan menuju rumah Shanum, sama sekali tak ada pembicaraan antara Shanum dan Gavin. Keduanya sama-sama diam membisu, hingga membuat Gavin merasa canggung.
Mau tak mau, ia harus memulai pembicaraan lebih dulu, agar kecanggungan di antara mereka tak semakin menjadi.
“Em... kalau aku boleh tau, bagaimana sikap Zayn saat berada di sekolah? Apa dia nakal dan membuat kamu repot?”
Shanum menggelengkan kepalanya, ia lalu tersenyum, “Zayn itu anak yang baik. Meski pendiam, tapi dia masih mau berbaur dengan teman-temannya. Dia juga sering berbagi dengan teman-temannya.”
Gavin tersenyum, “benarkah? Aku pikir Zayn akan menyendiri. Karena Zayn itu anak yang sulit untuk dekat dengan orang yang baru dikenalnya.”
Gavin menatap Shanum sekilas. Kedua matanya beradu tatap dengan kedua mata Shanum yang terlihat sangat indah.
Tapi itu tak bertahan lama, karena Gavin buru-buru mengalihkan tatapannya kembali ke depan. Dirinya ingat, kalau tengah menyetir dan tak ingin membahayakan dirinya dan juga wanita cantik yang kini duduk di sebelahnya.
“Aku juga tak percaya, kalau Zayn bisa begitu dekat sama kamu. Dia seakan tak ingin lepas dari kamu,” lanjutnya.
“Mungkin karena saya adalah gurunya di sekolah. Jadi Zayn terbiasa dengan saya.”
Gavin mengangguk setuju, “mungkin juga. Aku lihat semua anak-anak dekat sama kamu.”
Shanum hanya tersenyum, “saya suka sama anak kecil, itu juga yang membuat saya ingin menjadi guru TK.”
Mobil Gavin kini sudah berhenti di depan pagar rumah Shanum.
“Terima kasih ya...”
“Panggil aja Gavin. Kalau di luar urusan sekolah, kamu bisa memanggilku Gavin.”
Shanum mengangguk, “terima kasih sudah mengantar saya sampai di rumah,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
“Sama-sama. Aku juga gak mungkin meninggalkan kamu disana. Soal motor kamu, aku akan mengantarnya ke rumah kamu nanti.”
Shanum menganggukkan kepalanya, “kalau begitu saya keluar dulu. Sekali lagi terima kasih untuk pertolongan anda,” ucapnya dan mendapatkan anggukan kepala dari Gavin.
Shanum membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil. Ia masih berdiri menatap ke arah Gavin.
“Aku pergi dulu,” pamit Gavin dengan senyuman di wajahnya.
Gavin mulai melajukan mobilnya pergi dari depan rumah Shanum.
Ternyata dia orang yang baik juga. Tampan lagi.
Shanum tersenyum sambil menatap ke arah mobil Gavin yang mulai tak terlihat setelah berbelok di tikungan.