Bubur

2169 Kata
Shanum dan Gavin keluar dari mobil setelah mobil yang mereka kendarai berhenti di halaman rumah Gavin. Gavin lalu membantu anak-anak untuk keluar dari mobil. “Bunda Shanum. Kita sudah sampai di rumah Zayn?” tanya anak kecil yang tak lain bernama Raka. “Iya, Sayang. Ini rumah Zayn. Zayn pasti senang melihat teman-teman sekolahnya pada datang menjenguknya.” Bukan Shanum yang bicara, tapi Gavin. “Zayn sakit apa, Om?” tanya anak yang bernama Fito. Gavin mengusap puncak kepala Fito, “radang tenggorokkan, Sayang. Makanya kalian semua jangan terlalu banyak makan es cream ataupun minum es ya? nanti bisa sakit kayak Zayn,” ucapnya dengan tersenyum. Raka, Fito, Dita, dan Fais menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, ayo masuk. Zayn sudah menunggu di dalam.” Gavin mengajak Shanum dan teman-teman Zayn untuk masuk ke rumahnya. Mereka pun melangkah menuju pintu yang berukuran besar itu. Ini kedua kalinya, Shanum menginjakkan kakinya di rumah Gavin. Tapi, kali ini ia datang ke rumah itu untuk menjenguk Zayn yang tengah sakit bersama dengan Yumna, dan anak-anak didiknya. Mengingat Yumna, membuat Shanum cemas, karena sahabatnya dan juga anak-anak didiknya yang lain belum juga sampai. Memangnya beli buahnya kemana planet mana sih? Lama bener. Gavin lalu mengajak Shanum dan teman-teman Zayn menuju kamar yang ada di lantai bawah. Di dalam kamar itu, ada Sarah dan juga Rani. Sebenarnya Rani tidak suka saat Gavin memutuskan untuk menjemput Shanum ke sekolah hanya karena rengekan Zayn. Tapi, dirinya harus menahan diri, karena ia tau, posisinya saat ini hanyalah sebagai kekasih, bukan istri ataupun nyonya di rumah itu. “Bunda...” Zayn terlihat senang saat melihat Shanum dan teman-temannya. Shanum dan teman-teman Zayn mendekat ke ranjang. Sarah beranjak berdiri, mempersilahkan Shanum untuk duduk di dekat cucunya. Shanum mencium punggung tangan Sarah, begitu juga dengan anak-anak. “Terima kasih ya, sudah mau datang kesini,” ucap Sarah dengan senyuman di wajahnya. “Iya, Bu Sarah. Sebenarnya saya dan anak-anak memang sudah berniat untuk menjenguk Zayn. Kebetulan juga Pak Gavin menghubungi saya dan mengatakan kalau Zayn ingin ketemu saya,” ucap Shanum dengan tersenyum. Kedua mata Shanum beralih menatap Zayn, ia lalu duduk di tepi ranjang, “Sayang, bagaimana keadaan kamu? apa masih sakit?” tanyanya sambil menyentuh kening Zayn. Zayn menggelengkan kepalanya dan langsung memeluk Shanum, “Zayn kangen sama Bunda.” Shanum mengusap punggung Zayn, “Bunda juga kangen sama kamu, teman-teman kamu juga. Kelas jadi terasa sepi kalau gak ada kamu, Sayang,” ucapnya lalu melepas pelukan itu. Dita, Raka, Fito, dan Fais melangkah mendekat. “Cepet sembuh ya, Zayn. Kita bisa main lagi nanti,” ucap Dita sambil memberikan coklat yang ada di tangannya. “Makasih.” Zayn mengambil coklat itu dari tangan Dita. Raka, Fais, dan Fito, juga mengambil snack yang ada di dalam tasnya dan memberikannya kepada Zayn. Shanum, Gavin, dan Sarah tersenyum melihat kepedulian mereka kepada temannya yang sedang sakit. Gavin seperti mendengar suara mobil berhenti, “aku tinggal dulu ya, teman kamu dan anak-anak yang lain sudah datang.” Shanum menganggukkan kepalanya. Gavin melangkah keluar dari kamar dan diikuti Rani di belakangnya. “Mas, tunggu!” Gavin menghentikan langkahnya, “ya, Ran. Ada apa?” Rani yang ingin bertanya soal kedekatan Gavin dengan Shanum pun mengurungkan niatnya. “Aku ikut menyambut mereka. Aku ‘kan calon ibu sambungnya Zayn, calon istri, Mas,” ucap Rani dengan senyuman di wajahnya. Gavin menghela nafas, lalu menganggukkan kepalanya. Mereka lalu melangkah menuju pintu utama. Sarah duduk di kursi yang ada di dekat ranjang, “Sayang, sekarang kamu makan ya, Bunda Shanum kan sudah ada disini,” bujuknya pada cucunya yang sejak tadi sulit untuk di suruh makan. “Mau Bunda suapin?” tawar Shanum dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Zayn. Shanum mengambil mangkuk yang ada di atas nangkas. Mangkuk itu berisi bubur yang dibawa Rani tadi. Shanum mengambil satu sendok bubur dan disodorkan di depan mulut Zayn, “sekarang buka mulut kamu, Sayang,” pintanya. Zayn menggelengkan kepalanya, “Zayn gak mau makan bubur itu. Rasanya gak enak.” Shanum lalu menatap Sarah, “apa saya boleh pinjam dapurnya, Bu Sarah? Saya ingin membuatkan bubur untuk Zayn.” Sarah menganggukkan kepalanya, “maaf ya, karena sudah merepotkan kamu,” ucapnya tak enak hati, karena sang cucu sedikit rewel saat ini. “Gak apa, Bu. Bubur tadi juga sudah dingin, mending saya buatkan yang baru saja.” “Sayang, kamu disini sama teman-teman kamu dulu ya. Nenek mau mengantar Bunda Shanum dulu.” Zayn menganggukkan kepalanya. Shanum dan Sarah beranjak dari duduknya, mereka lalu melangkah keluar dari kamar itu. Saat sampai di depan pintu, mereka berpapasan dengan Yumna, Juki, Gavin, Rani, dan anak-anak lainnya. “Lho, kamu mau kemana?” tanya Yumna saat melihat Shanum yang baru saja keluar dari kamar Zayn. Yumna, Juki, dan anak-anak lainnya mencium punggung tangan Sarah. “Mau membuatkan bubur buat Zayn,” sahut Shanum. Rani mengernyitkan dahinya, “bubur? Bukankah di dalam sudah ada bubur? Kenapa harus buat lagi?” “Zayn tak ingin memakan bubur itu. Bubur itu juga sudah dingin.” Rani mengepalkan tangannya, “itu bubur aku yang masak. Apa kamu...” Gavin menyentuh lengan Rani, “kenapa kamu marah? Zayn yang gak ingin memakannya. Bukan salah Shanum juga.” “Maafkan saya. Saya gak bermaksud lancang,” ucap Shanum sambil menatap Rani. “Gak apa. Aku yang akan mengantar kamu ke dapur,” ucap Gavin sambil menepiskan senyumannya. Shanum menganggukkan kepalanya. “Ran, Ma. Tolong temani Ibu Yumna, Bang Juki dan anak-anak untuk ketemu sama Zayn.” Ibu? Berasa udah tua dong aku. Aku dipanggil ibu, sedangkan Shanum dipanggil nama. Ya gini nih... nasib... nasib. Yumna lalu menatap Rani yang sejak tadi nempel terus sama Gavin. Itu cewek siapa sih? Apa jangan-jangan itu calon istrinya Pak Gavin? Astaga! Kalau memang bener, jadi Shanum... “Ayo,” ajak Gavin sambil menatap Shanum. Shanum menganggukkan kepalanya, “Na, aku tinggal dulu ya. Titip anak-anak.” Yumna menganggukkan kepalanya, ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Shanum. “Hati-hati, ada singa penjaga disini,” bisiknya membuat Shanum mengernyitkan dahinya. Yumna lalu melirik ke arah Rani. Shanum mengikuti kemana kedua mata Yumna mengarah. Astaga! Ada-ada aja. Gavin membantu Shanum untuk membuat bubur. Shanum sendiri begitu terkejut, saat Gavin menawarkan diri untuk membantunya. Astaga! Mimpi apa aku semalam sampai bisa di satu ruang dengan Gavin? Kenapa juga dengan jantung aku? Gavin melihat Shanum yang melamun, ‘kenapa dia malah melamun? Apa dia sedang memikirkan sesuatu? apa dia ada masalah? Tapi kalau aku tanya, entar dikira aku mau ikut campur lagi,’ gumamnya dalam hati. “Em... apa masih ada yang kurang?” Shanum tersadar dari lamunannya, “hah? Maaf, tadi anda bicara apa?” Gavin tersenyum, “apa aku boleh tau, apa yang membebani pikiran kamu saat ini?” Eh? Jangan-jangan sejak tadi Gavin memperhatikan aku? sampai dia tau kalau aku lagi melamun. Astaga, Shanum! Apa yang telah kamu lakukan! “Em... saya akan mulai memasak buburnya. Anda bisa kembali menemani Zayn. Zayn pasti mencari anda.” Shanum sangat gugup saat Gavin menatapnya seperti itu. “Apa aku gak boleh menunggu disini? Gak mungkin juga kan aku ninggalin kamu disini sendirian?” Gavin lalu melangkah menuju meja mini bar yang tak jauh dari Shanum berdiri. “Kamu boleh memasak sekarang. Aku akan menunggu disini. Aku gak akan mengganggu kamu kok.” Shanum tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. Ia lalu mulai menyalakan kompor dan mulai membuat bubur buat Zayn. Gavin mengambil ponselnya dari saku celananya, lalu mengarahkan kamera ke arah Shanum yang sedang berdiri di depan kompor sambil mengaduk-aduk bubur. Fernandes pasti terkejut, saat dia tau Shanum sedang berada di rumahku. Gavin ingin sekali memanas-manasi sahabatnya itu dengan mengirim foto Shanum kepada Fernandes. Gavin tersenyum saat ada panggilan masuk dari Fernandes. Ia lalu menjawab panggilan itu. “Hem...” “Serius? Shanum ada di rumah kamu?” “Iya.” “Sedang apa dia di rumah kamu? itu dia lagi masak buat kamu?” “Ya.” “Ash... sialan! Jangan bilang kamu naksir sama Shanum?” “Kagak.” “Terus, ngapain dia di rumah kamu? gak mungkin juga dia datang ke rumah kamu sendiri.” “Apa kamu lupa, kalau Zayn sakit?” “Astaga! Jadi Shanum datang ke rumah kamu untuk menjenguk Zayn?” “Hem.” “Aku mau datang ke rumah kamu, sekalian jenguk Zayn. Tapi, kamu malah memberiku banyak pekerjaan. Mana aku belum sempat makan siang lagi.” “Tenang, bonus double pokoknya.” Gavin melihat Shanum yang sudah selesai memasak. “Nanti kita sambung lagi. Shanum sudah selesai membuat bubur untuk Zayn,” ucapnya lalu mengakhiri panggilan itu. Gavin beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Shanum, “sudah selesai?” Shanum menganggukkan kepalanya. Bubur sudah dipindahkan kedalam mangkuk. Gavin mengambil nampan dari kitchen set, “biar aku saja yang membawanya,” ucapnya sambil meletakkan mangkuk itu ke atas nampan. Shanum menganggukkan kepalanya. "Udah kayak burung pelatuk aja dari tadi mengangguk terus," gumam Gavin sambil mengulum senyum. Mereka lalu keluar dari dapur dan melangkah menuju kamar Zayn. Shanum melihat anak-anak yang ada di atas kasur Zayn. “Anak-anak, kenapa kalian pada naik ke atas ranjang semua? Zayn ‘kan lagi sakit.” Shanum melangkah menuju ranjang. “Gak apa. Zayn yang meminta teman-temannya untuk naik ke ranjang. Kedatangan teman-temannya sepertinya membuat Zyan lebih semangat lagi,” ucap Sarah sambil menatap Zayn yang tengah dikerubungi teman-temannya. Sarah mengajak Yumna, Juki, Rani, dan anak-anak untuk keluar dari kamar itu. Membiarkan Gavin, Shanum, dan Zayn berada di dalam kamar itu. Shanum mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, mengambil mangkuk yang berisi bubur buatannya. “Sekarang Zayn makan ya. Zayn kan juga harus minum obat.” Shanum mengambil satu sendok bubur yang masih hangat. Ia lalu meniup bubur itu perlahan agar bubur itu tak terlalu panas. “Sekarang buka mulut kamu?” pintanya sambil menyodorkan satu sendok bubur di depan mulut Zayn. Zayn membuka mulutnya dan menerima satu suap bubur dari tangan Shanum. “Gimana, Sayang? enak gak bubur buatan Bunda?” Zayn menganggukkan kepalanya, “enak, Bunda. Zayn mau lagi,” pintanya dengan mulut yang sudah mulai dibukanya lagi dan siap untuk menerima satu suapan lagi dari tangan Shanum. Shanum kembali menyuapi Zyan bubur itu sampai habis tak tersisa. Gavin tersenyum melihat kegigihan dan ketelatenan Shanum dalam menyuapi putra kesayangannya. Mungkin benar apa kata Mama. Zayn memang butuh sosok seorang ibu. Semoga Rani bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Zayn, karena aku gak mau sampai salah mengambil keputusan dan akhirnya malah membuat Zayn menderita nantinya. “Sekarang Zayn minum obat dulu ya.” Gavin mengambil obat yang ada di atas nakas dan diberikan kepada Shanum. Zayn meminum obat itu dari tangan Shanum. “Anak pintar. Ini baru anak, Bunda,” ucap Shanum sambil mengusap puncak kepala Zayn. Entah mengapa mendengar ucapan Shanum, membuat hati Gavin terasa ada yang berbeda. Mungkin karena aku sangat merindukan Yasmin. Andai Yasmin masih hidup, saat ini dia pasti akan seperti Shanum, merawat Zayn dengan sangat baik. “Bunda Shanum. Bunda gak akan pergi kan? Bunda mau menemani Zayn disini kan?” pinta Zayn dengan wajah memelas. Shanum menatap Gavin, seakan meminta bantuan pria itu untuk menjawab permintaan Zayn. Gavin menarik kursi yang ada di dekat Shanum, lalu meletakkannya di dekat kepala ranjang. Mendudukkan tubuhnya disana. “Bunda Shanum gak akan kemana-mana kok, Sayang. Bunda Shanum akan menemani Zayn disini,” ucapnya sambil mengusap pipi putra kesayangannya. Zayn menatap Shanum, “benarkah itu, Bunda?” Shanum menganggukkan kepalanya, “Bunda akan temani Zayn disini sampai Zayn tertidur,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Rani membuka pintu kamar Zayn dan masuk ke dalam kamar itu. Ia tak suka melihat kedekatan Zayn dengan Shanum. Itu bisa membuatnya semakin sulit untuk mendekati dan mengambil hati Zayn. Aku harus berbuat sesuatu. Zayn gak boleh semakin terikat sama guru TK itu. Rani berdiri di samping Gavin, membuat Shanum harus sedikit menggeser duduknya. Ia menatap Shanum dengan tatapan tak suka. “Mas, aku juga akan menemani Zayn disini. Bagaimanapun aku kan kekasih kamu sekarang,” ucapnya sambil menyentuh bahu Gavin. Shanum menatap Gavin yang saat ini menatap Rani. ‘Jadi mereka benar-benar mempunyai hubungan? Jadi wanita ini calon mamanya Zayn?’ gumamnya dalam hati. “Zayn, Tante Rani akan menemani Zayn disini. Tante juga akan menginap disini, jadi biarkan Bunda Shanum pulang, karena teman-teman kamu sudah menunggunya di luar.” Rani menatap Shanum, “teman kamu dan anak-anak didik kamu sedang menunggu diluar. Kamu gak berencana untuk menginap disini juga kan?” sinisnya. “Ran, apa yang kamu katakan? kenapa kamu bicara seperti itu sama Shanum? Aku yang memintanya untuk tetap disini menemani Zayn. Kamu gak berhak untuk...” “Aku berhak, Mas! Karena aku sekarang pacar, Mas! Aku....” Rani menatap Zayn, “calon mamanya Zayn. Calon istri kamu!” Gavin beranjak dari duduknya, menarik lengan Rani dan membawanya keluar dari kamar itu. “Bunda, apa itu pacar? Kenapa Tante Rani bilang kalau Tante Rani calon mamanya Zayn?” Shanum mengernyitkan dahinya, "tadi kamu bilang apa, Sayang? pacar?" tanyanya kembali memastikan. Zayn menganggukkan kepalanya, "iya, Bunda. Pacar. Pacar itu apa, Bunda?" Hah! Bagaimana bisa Rani bicara soal pacar di depan Zayn? apa dia....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN