“Ran, bagaimana? Apa kamu sudah berbicara dengan Gavin soal perjodohan kalian?”
Setelah kepergian Gavin dan Shanum, Sarah dan Rani masih mengobrol di ruang tamu. Tentu saja mereka membicarakan soal perjodohan antara Rani dengan Gavin.
Sarah meminta Rani untuk mendekati Gavin, mungkin dengan begitu Gavin akan berubah pikiran dan mau menerima perjodohan yang ditawarkannya.
Selain itu, Rani bukanlah orang asing. Mereka sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan bersahabat sejak kecil.
“Belum, Tan. Sepertinya Kak Gavin enggan untuk membicarakan soal perjodohan itu,” sahut Rani dengan wajah sendunya.
Sarah menghela nafas, “coba kamu dekati Gavin pelan-pelan. Buat dia bisa menerima kehadiran kamu. Tante hanya bisa mengusahakan sampai disini saja, karena semua keputusan ada di tangan Gavin.”
Sarah memang ingin Gavin menikah secepatnya, agar putranya itu bisa segera melupakan masa lalunya dan memulai hidup baru. Membina rumah tangga kembali dengan keluarga kecilnya. Hanya itu harapan Sarah saat ini.
Tapi, ia juga tak akan memaksa putranya, jika memang putranya tak mau menikah dengan wanita pilihannya.
Sarah ingin Gavin bahagia, tapi tidak dengan mengorbankan kebahagiaannya hanya demi membahagiakan dirinya.
“Tan, apa Tante gak bisa membujuk Kak Gavin lagi untuk menerima perjodohan ini? Rani janji, Rani akan menjadi istri dan ibu yang baik. Rani juga gak akan pernah mengecewakan Tante.”
Sarah melihat Zayn yang tengah berjalan ke arahnya bersama dengan Mina, “lho, Sayang... Nenek kira kamu sedang tidur siang.”
Sarah lalu mendudukkan Zayn di sampingnya, “ada apa dengan cucu Nenek ini? kok cemberut gitu?”
“Nek, dimana Bunda Shanum? Kenapa Bunda Shanum pulang gak pamit sama Zayn?”
“Bunda Shanum ada pekerjaan penting, Sayang. Tadi Bunda Shanum minta sama Nenek untuk menyampaikan permintaan maaf sama Zayn, karena gak bisa menemani Zayn main. Tapi, lain kali, Bunda Shanum akan main kesini lagi. Jadi...”
Sarah memangku Zayn, “cucu Nenek yang ganteng ini gak boleh sedih. Ok. Tante Rani masih ada disini. Zayn bisa main sama Tante Rani.”
Rani beranjak dari duduknya, ia lalu melangkah mendekati Zayn.
“Sayang, gimana kalau sekarang kamu ikut Tante jalan-jalan ke taman? Atau kita beli es cream?”
Rani berusaha untuk membujuk Zayn agar mau pergi bersamanya. Itu adalah salah satu usahanya untuk bisa dekat dengan Zayn dan mengambil hatinya, karena kunci dari masalahnya saat ini ada pada Zayn.
Jika Zayn bisa menerima kehadirannya, maka besar kemungkinan Gavin juga akan bisa menerima kehadirannya sebagai istri dan ibu dari anaknya.
Zayn menggelengkan kepalanya, “Zayn gak mau pergi sama Tante,” tolaknya lalu memeluk neneknya.
Sarah melepaskan pelukan Zayn. Ia tau, kalau cucunya itu tak bisa dekat dengan sembarang orang. Bahkan kedekatan Zayn dengan Shanum membuatnya terkejut, karena cucunya itu bisa langsung lengket dengan Shanum, padahal mereka baru kenal beberapa hari.
“Sayang, Tante Rani ini baik lho. Tante Rani hanya ingin dekat sama Zayn. Zayn mau ‘kan pergi jalan-jalan sama Tante Rani?”
Bagaimanapun Sarah ingin membantu Rani untuk lebih dekat dengan Zayn. Mungkin dengan kedekatan Zayn dengan Rani, bisa mengubah keputusan Gavin, dan akhirnya anak semata wayangnya itu akan memutuskan untuk menikah kembali.
Zayn menggelengkan kepalanya, “Zayn gak mau, Nek.”
Sarah menatap Rani, “kamu harus sabar dalam menghadapi Zayn. Dia memang sangat sulit untuk dekat sama orang yang baru dikenalnya. Tapi, kalau Zayn sudah dekat sama kamu, dia gak akan pernah mau lepas sama kamu.”
Rani mengangguk mengerti. Sepertinya ia harus ekstra bersabar dalam menghadapi calon anak tirinya itu. Mungkin yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana cara mengambil hati Gavin terlebih dulu.
Rani beranjak berdiri, “kalau gitu Rani pulang dulu, Tan. Lain kali Rani akan main kesini lagi. Rani juga gak akan menyerah untuk meyakinkan Kak Gavin untuk menerima perjodohan ini,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
Sarah mengangguk, “Tante juga akan bantu kamu untuk meyakinkan Gavin.”
Rani menarik tangan Sarah lalu mengecup punggung tangannya, “Rani pamit ya, Tan,” pamitnya.
Rani lalu mengusap puncak kepala Zayn, “Tante pulang dulu ya, Sayang. Lain kali Tante akan ajak kamu jalan-jalan sama papa kamu,” ucapnya lalu mengecup kening Zayn.
Zayn hanya diam.
“Rani pulang dulu, Tan,” pamit Rani lagi lalu melangkah pergi dari ruangan itu.
Sarah mendudukkan Zayn di sampingnya, “Sayang, lain kali gak boleh bersikap seperti itu sama Tante Rani. Tante Rani itu orang yang baik, dia juga teman papa kamu. Bukankah Zayn udah pernah janji sama Nenek, kalau Zayn gak akan nakal lagi?”
Zayn hanya diam.
Sarah menghela nafas, “sekarang Nenek mau tanya sama Zayn. Apa Zayn mau punya mama kayak teman-teman Zayn yang lain?”
Zayn menganggukkan kepalanya.
Sarah lalu memeluk cucu semata wayangnya itu.
“Nenek akan wujudkan keinginan kamu itu, Sayang. Nenek yakin, pilihan Nenek ini sudah tepat,” lirihnya.
Saat ini Gavin sudah sampai di depan rumah Shanum.
Gavin menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Shanum. Rumah minimalis dengan cat berwarna cream. Di depan rumah Shanum bahkan banyak sekali tanaman bunga-bunga yang bermekaran dengan sangat indah.
“Ini rumah kamu?”
Gavin menatap rumah Shanum. Ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah Shanum. Tapi, ia enggan bertanya siapa pemilik mobil itu.
Bukan urusannya juga. Tugasnya hanya mengantar guru anaknya itu sampai di rumah dengan selamat.
Gavin sudah memutuskan untuk berbicara formal sama Shanum jika sedang berada di luar sekolah.
Tapi tidak dengan Shanum, karena ia harus menghormati Gavin sebagai wali dari anak didiknya. Ia juga harus membawa nama baik sekolahnya—tempatnya bekerja saat ini.
Shanum menganggukkan kepalanya, “terima kasih sudah mengantar saya sampai di rumah. Em... apa anda mau mampir?"
Bagaimanapun Shanum harus menawarkan pada Gavin untuk mampir ke rumahnya 'kan? gak mungkin juga ia akan diam saja.
"Terima kasih. Tapi Zayn sedang menunggu ku di rumah. Lain kali saja," tolak Gavin secara halus.
"Sekali lagi terima kasih. Kalau begitu saya turun dulu.”
Shanum lalu membuka pintu mobil dan keluar dari mobilnya.
Gavin membungkukkan sedikit kepalanya sebelum melajukan mobilnya pergi dari depan pintu pagar rumah Shanum.
Shanum menghela nafas lega, “akhirnya,” ucapnya sambil mengusap dadaanya.
Ini pertama kalinya Shanum pergi dengan orang tua dari anak didiknya. Apalagi sampai mengunjungi rumah anak didiknya di luar urusan sekolah.
Shanum lalu membalikkan tubuhnya dan membuka pintu pagar rumahnya. Saat akan melangkah masuk ke halaman rumahnya, ia dikejutkan dengan kedatangan Yumna dan Riko.
“Kalian! Ngapain kalian di rumah aku?”
Shanum lalu melangkah menghampiri kedua sahabatnya itu.
Yumna melipat kedua tangannya didepan dadaa, “dari mana aja kamu? terus siapa yang sama kamu tadi?” tanyanya penuh selidik.
“O... itu papanya Zayn. Tadi Zayn maksa aku buat makan siang sama dia dan papanya. Setelah itu Zayn mengajak aku untuk main ke rumahnya.”
Shanum mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di teras rumahnya.
“Kang duren maksud kamu?” Yumna mengernyitkan dahinya.
“Kang duren?” giliran Shanum yang mengernyitkan dahinya karena tak paham maksud kata-kata sahabatnya itu.
“Iya, Kang duren. Duda keren. Pak Gavin kan duda, mana keren dan ganteng lagi.”
Shanum memutar kedua bola matanya malas. Ia lalu menatap pria yang berdiri di samping Yumna.
“Hai, Rik. Tumben kamu masih ingat sama rumah aku,” sindirnya.
Yumna lalu mendudukkan tubuhnya di samping Shanum. Riko duduk di kursi tunggal.
“Aku kesini buat mengantar Riko. Katanya dia kangen sama kamu,” goda Yumna sambil melirik Riko.
Riko hanya geleng kepala mendengar ledekan sahabatnya itu, “jangan dengerin kata Yumna. Aku kesini cuma mau pamit.”
Shanum mengernyitkan dahinya, “setelah lama gak datang kesini. Sekalinya datang kamu mau pamit?”
Riko mengangguk, “aku dapat kerjaan di Surabaya. Ya mau gak mau aku harus pindah dong.”
“Bukannya kamu sudah kerja disini?”
“Dia di PHK. Perusahaannya mau bangkrut katanya,” ucap Yumna enteng.
“O... tapi kamu masih sering pulang kesini ‘kan?” Riko adalah sahabatnya sejak masih duduk di bangku kuliah.
“Cie... belum juga ditinggal, udah kangen aja,” goda Yumna sambil menyenggol lengan Shanum.
Riko tersenyum, “hem... aku akan sering datang berkunjung kesini. Lagian rumahku disini. Kedua orang tuaku juga masih tinggal disini.”
“Tenang aja, Riko gak akan cari yang lain kok. Hatinya kan ada disini. Ya gak, Rik?” goda Yumna sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun.
Shanum hanya geleng kepala. Sahabatnya itu tak akan pernah lelah mencoba untuk mak comblangin dirinya dengan Riko. Padahal Shanum sama sekali tak ada rasa apapun sama Riko, kecuali sebagai sahabat.
“O ‘ya, rencananya aku mau ajak kalian makan. Anggap saja ini traktiran aku sebelum aku pergi,” ucap Riko mencoba untuk memecah keheningan karena ucapan Yumna.
Riko sadar, kalau Shanum hanya menganggapnya sebagai sahabat. Tapi, ia juga tak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati sang pujaan hati.
“Tapi aku baru aja makan. Perut aku masih kenyang,” ucap Shanum sambil mengusap perutnya.
“Makan aja lagi. Nanti kamu bisa pesen makanan yang ringan aja,” ajak Yumna.
“Ya udah. Tapi aku pamit dulu sama ibu aku.”
“Sudah. Tadi aku udah pamit sama Tante kok. Kita pergi sekarang aja.”
Yumna beranjak dari duduknya, lalu menarik tangan Shanum hingga membuat Shanum beranjak dari duduknya.
Riko melangkah lebih dulu menuju mobilnya. Ia lalu membukakan pintu penumpang depan.
Yumna mendorong tubuh Shanum, “kamu aja yang duduk didepan. Biar aku duduk di belakang.”
Yumna lalu membuka pintu penumpang belakang, lalu masuk, mendudukkan tubuhnya dan menutup pintu mobil.
“Shan, masuklah,” pinta Riko.
Shanum menganggukkan kepalanya. Ia lalu masuk ke dalam mobil dan mendudukkan tubuhnya.
Shanum menengok ke belakang. Menatap sahabatnya yang saat ini nyengir kuda.
Awas ya!
Riko mendudukkan tubuhnya di kursi pengemudi, “enaknya kita makan dimana?” tanyanya sambil menatap Shanum dan beralih menatap Yumna.
“Terserah kamu aja, Rik. Kan kamu yang traktir,” ucap Shanum sambil menepiskan senyumannya.
“Na, kamu maunya makan dimana?” tanya Riko sambil menatap Yumna.
“Gimana kalau di cafe deket kampus? kita bisa sambil nostalgia gitu.”
“Ok. Kita ke cafe itu aja.” Riko lalu menyalakan mesin mobilnya, melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Shanum.
Gavin sudah kembali ke kantornya. Baru juga masuk ke dalam ruangannya, tapi Fernandes sudah mencercanya dengan begitu banyak pertanyaan.
Soal siapa lagi coba, kalau bukan incarannya kalau bukan Shanum.
Gavin mendudukkan tubuhnya di sofa, “kamu ini ya? bisa gak sih nanya satu-satu. Baru juga aku datang, udah kamu cerca dengan pertanyaan-pertanyaan kamu itu!”
Fernandes nyengir kuda. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di samping Gavin.
“Gimana, kamu udah sampaikan pesan aku belum?”
“Hem... tapi sorry, karena Shanum sudah pergi makan siang duluan sama aku.”
“Hah! Serius?”
Fernandes terkejut dong. Bagaimana Bisa Shanum setuju pergi makan siang sama sahabatnya itu, sedangkan dirinya saja harus membujuk Shanum dulu baru dia setuju.
“Zayn yang maksa Shanum. Shanum gak bisa nolak, dan akhirnya setuju.”
“Sama calon kamu juga?”
Gavin menatap tajam ke arah sahabatnya itu, “calon dari mana coba? Aku kan belum memutuskan untuk menerima perjodohan itu apa gak.”
“Tapi, sepertinya kamu juga gak akan bisa menolak lagi. Tante Sarah juga akan terus maksa kamu untuk cepet-cepet nikah, demi Zayn juga.”
Gavin menghela nafas panjang. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
“Itu juga yang aku pikirkan sekarang. Zayn sudah semakin tumbuh besar. Dia butuh kasih sayang seorang ibu.”
“Lalu... apa lagi yang kamu pikirkan? Rani itu cantik. Kamu juga sudah kenal lama sama dia.”
“Aku gak tau. Aku masih takut. Aku takut akan menyakiti Rani, karena aku gak bisa mencintainya. Apalagi sampai sekarang aku belum bisa melupakan Yasmin. Rani sahabat aku. Dulu dan sekarang, gak ada yang berubah.”
“Kamu mau dengerin nasehat aku gak?” Fernandes mengubah duduknya jadi menghadap Gavin.
“Apa?”
“Gimana kalau kamu coba menjalin hubungan dulu sama Rani? Kalau kalian ternyata cocok, kamu bisa putuskan untuk menerima perjodohan itu apa gak.”
Gavin terdiam. Mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan sahabatnya itu. Dirinya juga tak boleh egois. Bagaimanapun Zayn sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Tapi, yang menjadi pertanyaan disini. Apa Zayn mau menerima Rani sebagai ibu sambungnya? Apalagi mengingat sang putra yang tak bisa dengan mudah dekat dengan orang asing.
Apa aku terima usulan Fernandes ya?
“Gimana? Kamu mau terima usulan aku gak?”
“Em... gimana ya. Kamu tau ‘kan Zayn gak bisa dekat sama orang yang baru dikenalnya? lalu bagaimana cara aku untuk memberitahu Zayn nantinya?”
“Itu urusan gampang. Yang terpenting kamu yakinkan hati kamu dulu. Kamu juga bisa bujuk Zayn pelan-pelan.”
Gavin menghela nafas panjang. Ia lalu mengangguk pelan.
“Kamu terima usulan dari aku? serius?” Fernandes tak bisa percaya begitu saja. Apalagi sahabatnya itu tipe orang yang keras kepala.
“Aku akan mencobanya. Tapi, aku gak yakin, apa aku bisa meyakinkan Zayn nantinya.”
“Lebih baik mencoba, daripada kamu terus ragu sama keputusan kamu,” ucap Fernandes sambil menepuk bahu Gavin.