Canggung

2259 Kata
“Vin, aku gak nyangka, guru Zayn begitu cantik.” Gavin yang tengah fokus dengan berkas di tangannya, mengalihkan tatapannya menatap sahabat sekaligus asisten pribadinya itu. “Siapa yang kamu maksud? Shanum?” Fernandes menganggukkan kepalanya, “dia wanita yang begitu sempurna,” pujinya sambil mengingat wajah cantik Shanum. “Apa kamu bertemu dengannya?” “Ya iyalah, kalau gak bertemu dengannya, bagaimana aku bisa memujinya. Kamu ini ada-ada aja.” Gavin menatap dalam ke kedua mata Fernandes, ‘dia gak jatuh cinta sama gurunya Zayn itu ‘kan?’ tanyanya dalam hati. Selama ini Gavin belum pernah melihat Fernandes memuji wanita manapun. Sahabatnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan yang diberikannya, sampai tak ada waktu untuk meladeni para gadis-gadis yang selalu menggodanya. Bahkan ada salah satu karyawan Gavin yang selalu mencari perhatian Ferandes. Tapi, Fernandes tak begitu memperdulikannya. Tapi sekarang, Gavin melihat ada yang berbeda dari cara bicara sahabatnya itu. “Fer, jangan bilang kamu tertarik sama Shanum?” Fernandes tersenyum, “siapa sih yang gak akan tertarik dengan wanita secantik Shanum? Dia juga wanita yang cerdas. Kenapa kamu bertanya seperti itu? jangan bilang kamu juga mulai tertarik dengan Shanum?” “Aku hanya penasaran. Aku gak pernah melihat kamu seperti ini, setelah kamu putus sama...” “Jangan sebut namanya lagi,” potong Fernandes. “O ‘ya, siang ini aku yang akan menjemput Zayn. Aku sudah janji sama dia,” lanjutnya. “Tumben. Biasanya Zayn selalu minta aku jemput.” Fernandes menggerakkan kedua alisnya naik turun, “karena siang ini, aku sama Zayn, akan pergi makan siang bersama dengan Shanum,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Gavin menggelengkan kepalanya, “ternyata ada maunya. Aku juga gak menyangka, Zayn bisa sedekat itu dengan Shanum. Padahal mereka baru kenal beberapa hari.” “Mungkin karena sifat keibuan Shanum yang membuat Zayn merasa nyaman saat bersamanya. Apalagi selama ini Zayn tak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Makanya, cepatlah menikah, biar Zayn bisa kembali merasakan kasih sayang dari ibu tirinya.” Gavin hanya diam. Ia kembali teringat akan desakan mamanya semalam soal perjodohannya dengan Rani. Terdengar suara pintu diketuk. “Siapa yang datang?” Gavin mengedikkan kedua bahunya. “Suruh masuk aja.” “Masuklah,” ucap Fernandes sambil menatap ke arah pintu. Sedangkan Gavin kembali fokus dengan berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. Pintu terbuka dengan perlahan. Seorang wanita cantik melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan begitu elegan. Fernandes hanya diam, dengan kedua mata tetap mengarah ke arah wanita cantik itu. Sedangkan Gavin, yang tak mendengar adanya suara dari Fernandes maupun seseorang yang masuk ke dalam ruangannya, tentu saja merasa penasaran. Siapa yang berani masuk ke dalam ruangannya tanpa mengucapkan salam atau apapun itu. Gavin mendongakkan wajahnya, menatap wanita cantik yang kini berdiri di samping meja kerjanya. “Rani!” serunya terkejut. Fernandes mengernyitkan dahinya, ‘Rani? Jangan bilang wanita ini yang akan dijodohkan sama Gavin?’ tanyanya dalam hati. Rani tersenyum, “hai, Kak. Maaf, aku gak bilang-bilang kalau mau datang kesini.” Fernandes menarik kursi yang ada di sampingnya, “duduklah,” pintanya. Rani menganggukkan kepalanya. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di sebelah Fernandes. “Kenalin, aku Fernandes. Teman Gavin,” ucap Fernandes sambil mengulurkan tangannya. Rani menjabat tangan Fernandes, “Rani,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. “Vin, apa ini teman masa kecil yang mau dijodohkan sama kamu?” Fernandes sengaja menggoda Gavin. Rani tersipu malu saat melirik ke arah Gavin yang saat ini tengah menatapnya. Fernandes yang tak mendapatkan jawaban dari Gavin memilih untuk beranjak dari duduknya, karena sudah waktunya untuk menjemput Zayn dari sekolah. “Aku pergi dulu. Sudah waktunya untuk menjemput Zayn dari sekolah. “Kamu mau menjemput Zayn?” tanya Rani sambil menatap Fernandes. “Hem...” “Biar aku sama Kak Gavin yang jemput Zayn. Aku datang kesini, karena Tante Sarah yang minta dan menyuruh aku untuk menjemput Zayn sama Kak Gavin.” Gavin menatap Fernandes, “biar aku aja yang jemput Zayn. Kamu handle dulu semua pekerjaan aku hari ini,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya. “Ok.” Gavin lalu melangkah mendekati Rani, “kita berangkat sekarang.” Rani beranjak dari duduknya, “kami duluan ya,” ucapnya dengan tersenyum menatap Fernandes. “Hem... Vin, salam buat Shanum. Katakan juga padanya, makan siangnya lain kali aja.” Gavin mengangguk pelan, ia lalu melangkah keluar dari ruangannya dan diikuti Rani di belakangnya. “Maaf ya, Kak. Seharusnya aku memberitahu kakak dulu, kalau aku mau mengajak kakak untuk menjemput Zayn.” Gavin menatap Rani sekilas, ia lalu kembali menatap ke depan. Tak mungkin juga dirinya akan menyalahkan Rani, dengan niat baik Rani yang ingin menjemput putranya dari sekolah. “Ini pertama kalinya kamu akan bertemu sama Zayn. Aku harap, kamu bisa mengerti dengan sikapnya nanti. Soalnya Zayn gak bisa dengan mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya.” Rani menganggukkan kepalanya, “Tante sudah memberitahu aku kok soal sifat Zayn.” Gavin lalu menghela nafas panjang, “Ran, soal perjodohan kita. Aku...” “Kakak gak usah terburu-buru untuk menjawabnya. Aku akan sabar menunggu. Aku tau, sampai sekarang kakak belum bisa melupakan mendiang istri kakak. Tapi, aku harap, kakak bisa membuka hati kakak untuk aku.” Rani lalu tersenyum, “aku sudah lama suka sama kakak, tapi aku tak berani untuk mengatakannya. Sekarang, mungkin ini jalan yang sudah Tuhan berikan padaku, untuk bisa menjadi bagian dari hidup kakak dan Zayn.” Gavin hanya diam, lebih memilih untuk fokus menatap jalanan yang ada di depannya. Bingung juga mau menjawab apa, karena ia sama sekali tak punya jawaban apapun untuk membalas ucapan Rani. Gavin menghentikan mobilnya tepat di halaman sekolah Zayn. Mereka berdua keluar dari mobil Zayn yang melihat papanya keluar dari mobil, langsung berlari menghampiri papanya. “Papa!” teriaknya sambil terus berlari. “Astaga, Zayn! Jangan lari-larian, Sayang. Nanti kamu bisa jatuh.” Shanum mengikuti Zayn dari belakang. Gavin berjongkok dan bersiap untuk menerima pelukan putra semata wayangnya itu. “Zayn senang deh, Papa yang jemput Zayn,” ucap Zayn dengan posisi masih memeluk papanya. Gavin mengusap punggung Zayn, “Papa juga senang bisa menjemput Zayn hari jni,” ucapnya lalu melepas pelukan itu. Gavin tersenyum menatap Shanum. Begitu pun dengan Shanum. “Pa, Bunda Shanum janji sama Zayn, mau menemani Zayn makan siang. Tapi, Om Fernandes malah gak jemput Zayn.” Shanum berjongkok di samping Zayn, “Sayang, lain kali juga gak apa makan siangnya. Zayn bisa makan siang sama papa hari ini.” “Tapi Zayn ingin mengajak Bunda Shanum makan siang. Boleh ‘kan, Pa?” Gavin dan Shanum saling menatap satu sama lain. Rani tak suka cara Shanum menatap Gavin. “Kak,” panggilnya. Shanum memutuskan tatapan mereka lebih dulu, lalu beranjak berdiri. Gavin menggenggam tangan Zayn, “ya udah, kita ajak Bunda Shanum makan siang bareng kita sekarang,” ucapnya dengan tersenyum. Rani mengepalkan kedua tangannya. Rencananya harus gagal kali ini. Padahal hari ini, ia berniat untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gavin dan Zayn. Ia juga ingin lebih dekat dengan Zayn, dan mengambil hati Zayn. “Tapi, Pak...” Gavin beranjak berdiri, “gak apa kok. Lagian Zayn sendiri yang ingin makan siang bareng Bunda Shanum nya,” ucapnya dengan tersenyum. Zayn sangat senang tentunya. Ia begitu kegirangan sampai memeluk kedua kaki Shanum. “Ye... Zayn bisa makan siang sama Bunda Shanum,” teriaknya. Shanum mengusap puncak kepala Zayn. Ia tak menyangka, Zayn akan sebahagia itu bisa pergi makan siang bersamanya. “Terima kasih ya, Pak. Maaf sudah merepotkan Pak Gavin,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. “Seharusnya aku yang harus berterima kasih. Zayn sekarang menjadi anak yang lebih periang. Dia bahkan selalu menceritakan soal Bunda Shanumnya,” ucap Gavin sambil mengusap puncak kepala Zayn. Rani merasa dirinya tak dianggap oleh mereka. Tentu saja itu membuatnya semakin kesal. “Zayn, Sayang, ayo sama Tante. Kasihan Bunda Shanum pasti capek sudah menjaga Zayn seharian.” Zayn menatap Rani, “Pa, Tante ini siapa?” “Dia Tante Rani, Sayang. Teman Papa.” Rani berniat untuk menggandeng tangan Zayn, tapi Zayn kembali memeluk Shanum. “Zayn mau sama Bunda Shanum.” Gavin menatap Rani, “biarkan Zayn sama Shanum. Lebih baik kita berangkat sekarang, karena aku harus kembali ke kantor lagi.” “Iya, Kak. Maaf.” Mereka berempat lalu melangkah menuju mobil. “Bunda Shanum duduk di depan sama Zayn ya?” pinta Zayn sambil menarik tangan Shanum. Rani yang ingin masuk ke pintu penumpang depan pun mengurungkan niatnya, saat Zayn mengajak Shanum untuk duduk di kursi penumpang depan. “Ran, kamu gak apa ‘kan duduk di kursi belakang?” Gavin merasa tak enak hati. “Iya, Kak. Gak apa-apa kok,” ucap Rani dengan senyuman yang dipaksakan. “Masuklah,” ucap Gavin menyuruh Shanum untuk masuk ke pintu penumpang depan. Shanum menganggukkan kepalanya. Ia merasa tak enak hati sama Rani. Tapi, ia juga tak bisa menolak permintaan Zayn. Dengan sangat terpaksa, ia mendudukkan tubuhnya di kursi penumpang depan. Gavin membantu Zayn untuk masuk ke dalam mobil, dan langsung di pangku oleh Shanum. Ia lalu menutup pintu mobil, berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi. Setelah itu lalu mulai melajukan mobilnya. “Bunda Shanum. Bunda mau gak main ke rumah Zayn?” tanya Zayn sambil mendongakkan wajahnya menatap Shanum. Shanum menatap ke arah Gavin, dan kebetulan Gavin juga tengah menatap ke arahnya, sebelum kembali menatap ke depan lagi. “Em... lain kali ya, Sayang. Lain kali, Bunda akan main ke rumah Zayn bersama dengan Bunda Yumna juga,” ucapnya sambil melirik ke arah Gavin. Astaga! Sekarang apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku malah menjanjikan itu sama Zayn. Kalau sampai Zayn menangihnya gimana? Shanum merutuki apa yang baru saja keluar dari mulutnya. “Pa. Bunda Shanum boleh main ke rumah Zayn ‘kan? Kata Nenek, Zayn boleh mengajak Bunda Shanum main ke rumah,” ucap Zayn sambil menatap papanya. Gavin menatap Zayn sekilas, lalu kembali menatap ke depan, “boleh kok, Sayang. Zayn juga boleh mengajak teman-teman Zayn untuk main ke rumah,” ucapnya dengan tersenyum. Rani semakin terlihat kesal, karena dirinya benar-benar telah diabaikan oleh Gavin dan juga putranya. Shanum akhirnya tak bisa menolak, saat Zayn terus memaksanya untuk berkunjung ke rumahnya setelah makan siang itu selesai. Gavin pun tak bisa membantu Shanum, karena dirinya tau, setiap anaknya itu mempunyai keinginan, maka harus dituruti. Apapun itu. Sarah senang melihat kedatangan Shanum dan Rani. Ia tak menyangka, Shanum akan mengunjungi rumahnya. “Siang, Bu Sarah,” sapa Shanum dengan senyuman di wajahnya. “Siang. Saya tidak menyangka anda akan datang berkunjung hari ini,” ucap Sarah dengan menepiskan senyumannya. Sarah lalu meminta asisten rumah tangganya untuk membuatkan minum buat tamunya. “Silahkan duduk,” pintanya kemudian. “Sayang, sekarang kamu ganti baju dulu sama Mbak Mina,” ucap Gavin sambil mengusap puncak kepala Zayn. Zayn menganggukkan kepalanya. Mina lalu mengajak Zayn untuk pergi dari ruangan itu. Rani memilih duduk di samping Gavin. Sarah tersenyum melihatnya. Apa yang dirasakan Shanum saat ini? Canggung dan bingung mau bicara apa, itulah yang dirasakan Shanum saat ini. “Maaf. Em...” Gavin bingung harus memanggil Shanum apa. Ia merasa canggung kalau harus memanggil Shanum dengan panggilan bunda seperti putranya—Zayn. “Panggil Shanum aja,” ucap Shanum yang mengerti dengan tingkah Gavin yang terlihat kebingungan saat ingin berbicara dengannya. Gavin mengangguk, “maafin sikap Zayn ya, karena telah memaksa kamu untuk datang kesini. Zayn memang seperti itu. Apapun keinginannya, harus dituruti. Mungkin semua itu karena aku selalu memanjakannya.” “Kak, wajar dong kalau kakak memanjakan Zayn, karena Zayn itu anak kakak satu-satunya. Apalagi selama ini Zayn tumbuh tanpa kasih sayang ibunya. Tapi, setelah kita...” Rani menghentikan ucapannya saat Gavin menatapnya, “maaf, Kak. Aku gak bermaksud untuk...” “Apa yang Rani katakan memang benar, Vin. Makanya Mama selalu meminta kamu untuk segera menikah, agar Zayn bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Rani adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu Zayn,” potong Sarah. Gavin menatap ke arah Shanum. Kenapa mamanya harus membahas soal itu lagi di depan Shanum. Malu... itulah yang Gavin rasakan saat ini. “Ma, lebih baik kita bicarakan itu lain kali. Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.” Shanum merasa keputusannya untuk menuruti kemauan Zayn untuk berkunjung ke rumahnya bukanlah keputusan yang tepat. Buktinya dirinya saat ini harus berada di situasi yang membuatnya begitu canggung dan tak enak hati. “Em... maaf, sepertinya saya harus kembali sekarang. Tolong sampaikan salam saya untuk Zayn,” ucap Shanum tak enak hati. “Maaf ya, anda harus melihat semua ini. Saya sendiri sampai pusing kalau memikirkan masa depan Zayn nantinya,” ucap Sarah. “Ma!” Gavin lalu beranjak dari duduknya, “aku akan mengantar kamu pulang.” “Kak! kenapa harus kakak yang mengantarnya? Kan ada supir?” Rani jelas tak akan membiarkan Shanum berduaan sama Gavin. “Aku yang membawa Shanum kesini, jadi sudah kewajiban aku untuk mengantarnya pulang. Lagian aku juga mau kembali ke kantor, karena sore ini, ada meeting penting yang harus aku hadiri,” ucap Gavin berbohong. Gavin ingin menghindar dari mamanya dan juga Rani, karena ia sudah bisa menebak, apa yang akan mereka bicarakan nantinya. “Bu Sarah, saya permisi,” pamit Shanum lalu beranjak dari duduknya. Sarah pun beranjak dari duduknya, “jangan bosan main ke sini ya,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Shanum menganggukkan kepalanya, “saya permisi dulu. Mari Mbak Rani, saya duluan,” pamitnya sambil menepiskan senyumannya. Rani mengangguk, tentu saja dengan senyuman yang dipaksakan. “Vin, antar Bunda Shanum sampai di rumahnya,” pinta Sarah. “Iya, Ma. Ayo, aku akan mengantar kamu sampai rumah,” ucap Gavin dengan tersenyum. Gavin dan Shanum lalu melangkah keluar dari rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN