Jam menunjuk pukul 07.00, tubuh Amira mengeliat di sebuah kasur berukuran king size. Dia perlahan membuka matanya melihat langit-langit kamar yang tampak asing baginya.
Amira segera bangkit duduk dan mengerjapkan mata melihat kamar yang sama sekali dia tak kenal. dia berdiri dan keluar dari pintu, anak itu terus melihat sekitaran rumah tersebut.
Dia bingung kenapa dia ada di sini, bukannya semestinya dia ada di rumahnya. Langkah kakinya terus melangkah sampai ke dapur.
"Kau sudah bangun rupanya, apakah kau tidur dengan baik?" tanya orang itu pada Amira.
"Om kok kita ada di sini? Ini rumah siapa? Bukannya kita pulang ke desa ya?" Max yang sibuk memasak sarapan tersenyum simpul.
"Maaf ya Amira, bukannya Om tidak mau mengantar Amira pulang ke rumah, tapi Om takut nanti kemalaman pulangnya jadi Om bawa saja Amira pulang ke rumah Om." tuturnya dengan tenang.
"Kok gitu sih Om, harusnya kalau mau bawa Amira ke rumah Om, Om bilang sama Amira." Max terkekeh pelan,
"Iya, Om yang salah maafin Om ya. Sarapannya sudah siap ayo Amira kita sarapan dulu".
Amira dengan antusias duduk di kursi makan "Om masak apa?"
"Nasi goreng, kau mau mengicipnya?" Amira mengangguk, kebetulan dia lapar sekali.
Gadis itu mengambil sendok yang di berikan Max padanya dan menyendok nasi goreng tersebut lalu memakannya "Apa enak?"
"Iya enak, Om pandai memasak ya."
"Ah biasa saja, Om sehari-hari juga selalu memasak sendiri." katanya merendah.
"Om tinggal di sini sendiri ?"
"Iya" jawab Max singkat.
"Papa sama Mama Om di mana?"
Max tersenyum getir mendengar pertanyaan itu, "Om nggak punya Papa sama Mama karena Om yatim piatu. Om dulu tinggal di panti asuhan."
Amira terkedu mendengar suara serak Max "Maafin Amira Om, Amira..."
"Tidak apa-apa, Om mengerti kok. Makanlah." mereka lalu sama-sama diam menikmati makanan yang di buat oleh Max.
Max tiba-tiba saja teringat sesuatu, "Amira" panggilnya.
"Hmm..."
"Om boleh tidak bekerja dulu baru antar Amira." usul Max tiba-tiba.
"Soalnya tadi pagi Om dapat telepon sama teman om ada meeting."
"Meeting itu apa ?"
"meeting itu, Om ketemu dengan orang-orang penting."
"Kenapa mereka penting ?"
"karena mereka adalah kunci kesuksesan perusahaan Om."
"Kunci kesuksesan itu apa?" Tanya Amira lagi, dia sepertinya sangat ingin tahu dengan perkataan Max yang terdengar asing di telinganya.
"Perusahaan itu apa?" Max terdiam mendengar pertanyaan Amira.
Tak lama kemudian, dia tersenyum dan menepuk kepala Amira. "Nanti kau juga akan tahu jika kau sudah dewasa."
"Kapan aku dewasa?" tanya Amira.
"Amira kau sangat polos, aku makin gemas sama kamu." katanya dengan mencubiti salah satu pipi gadis itu. Amira meringis kesakitan lalu cemberut karena pertanyaanya tak di jawab.
"Kau mau ikut tidak denganku, aku khawatir di sini tak ada yang menjagamu."
"Tapi om, aku tidak yakin dengan ajakan Om. Aku takut kalau di sana aku hanya akan merepotkan om."
"Merepotkan? Tidak Amira sayang, kau tidak akan merepotkanku kok"
"Benar tidak apa-apa?"
"Iya tidak apa-apa, cepat habiskan Om harus datang tepat waktu di meeting tersebut." Amira yang patuh dengan segera menghabiskan sarapannya
Bukan namanya Amira jika dia tak kagum melihat sesuatu yang unik. Dia kembali terpesona melihat bangunan megah Anderson Corporation.
Max hanya senyum melihat Amira yang terpesona dengan perusahaannya. "Kenapa Amira? Terpesona lagi ya?"
Amira mengangguk cepat, "Ayo kita masuk, meeting Om sebentar lagi akan di mulai." dia segera menggandeng tangan kecil Amira.
Saat mereka berjalan menuju pintu, ponsel Max berbunyi dan langsung diangkat oleh Max.
"Halo"
"Halo Max, di mana kau?" tanya Alvin dari balik telepon dari suaranya dia tak tenang.
"Tenanglah, Alvin aku sudah sampai di perusahaan kau tak usah cemas ya." Max bisa mendengar suara embusan napas lega Alvin.
"Cepat ya klien sudah datang." telepon di matikan dan Max mengalihkan pandangannya pada Amira.
Max dan Amira akhirnya sampai di ruangan Max. Ketika keduanya sampai, Alvin langsung menghampiri mereka berdua.
"Syukurlah kau datang Max, aku lega sekali melihatmu datang." ungkapnya. Dia melihat sekilas pada Amira yang di gandeng oleh Max.
"Max, siapa dia?" tanya Alvin pada Max. Max menoleh pada Amira lalu memandang pada Alvin.
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Dasar pria ini, aku bertanya baik-baik dia malah ketus padaku." Alvin yang sibuk menggerutu ditinggalkan Max dan Amira yang masuk ke kantornya Max.
Alvin yang selesai menggerutu melihat dirinya ditinggalkan oleh sahabatnya kembali menggerutu tak jelas.
Setelah mereka masuk kedalam kantor Max, seorang wanita muda datang menghampiri mereka "Tuan, ini berkas yang anda inginkan."
"Terima kasih Sophia, apa boleh kau membawa beberapa cemilan coklat di ruanganku?"
"Tentu Tuan, tapi untuk apa?"
"Ada Amira di sini, aku khawatir dia akan bosan jika menungguku meeting oh ya sekalian kau menjaga dia ya."
"Tapi Tuan saya'kan sekertaris Tuan apa boleh saya meninggalkan pekerjaan saya demi menjaga anak ini?"
Max bisa mendengar nada tak suka dari Sophia yang memandang Amira dengan pandangan jijik. "Itu boleh diatur, kau hanya tinggal menjaga Amira itupun jika kau mau mempertahankan pekerjaan ini." kata Max dingin.
Sudah jelas Max sedang mengancam Sophia karena tidak suka pada Amira. Sementara Alvin mengkerutkan dahinya mendengar ancaman Max yang tidak langsung pada Sophia.
Max kemudian menyamakan tingginya dengan Amira, "Om kerja dulu ya jangan nakal jika kau butuh sesuatu ada sekertaris Om yang akan membantumu nanti. Kalau Amira butuh Om datang saja ke ruang meeting Om, ok?"
"Baik Om, Amira mengerti." jawab Amira.
Max tersenyum dan menepuk kepalanya Amira. Alvin dan Sophia tertegun melihat perubahan sikap Max 180 derajat. Yang awalnya dingin dan marah menjadi sikap lembut terhadap Amira. Apa ini yang namanya mujizat?
Max lalu keluar beserta dengan Alvin yang menyusul keluar mengikuti Max dari belakang. "Kau angkuh sekali, Max. Masa aku yang sahabatmu sejak kecil tak pernah kau tersenyum padaku malah kau lebih perhatian sama anak kecil itu." omel Alvin.
"Kenapa? Cemburu ya?"
"Tentu saja aku cemburu, ini tidak adil untukku Max kau jahat sekali"
Max hanya mendengus kesal mendengar omelan Alvin "Cemburu dengan anak kecil."
❤❤❤❤
Amira menatap kagum pada jendela ruangan Max yang sangat besar. Dia bisa melihat pemandangan kota yang indah dari jendela, jauh lebih indah dari yang pernah dia lihat.
Mata sapphirenya kemudian melihat seluruh ruangan yang luas itu. Banyak sekali buku yang tersusun rapi di sebuah rak dan beberapa sofa berwarna abu-abu di depan meja Max.
Banyak lagi, ada juga beberapa vas yang diisi oleh bunga-bunga yang sangat cantik. Amira yang berada di jendela hendak menuju vas bunga tersebut, tapi dia tak sengaja menabrak sebuah patung kaca yang berada di sampingnya.
Alhasil, kaca itu jatuh dan pecah, beling-beling kaca tersebut berserakan di lantai. Sophia datang dan terkejut melihat patung tersebut hancur berantakan, "Dasar anak nakal, kau tahu tidak patung kaca ini mahal tahu?! Patung ini juga kesukaan Tuan Max!!"
"Maaf, aku tidak sengaja."
"Maaf, maaf kau pikir patung ini akan kembali seperti semula ketika kau meminta maaf, akan kulaporkan kau pada Tuan."
'Rasakan akibatnya anak jelek, kau pasti akan di marahi oleh Tuan.' Amira tertegun mendengar olokan entah dari siapa sementara Sophia sudah pergi dari tempat tersebut.
"Dari tadi siapa yang berbicara?"
❤❤❤❤
Max mendecak kesal ketika dia di panggil oleh Sophia tiba-tiba yang mengatakan bahwa Amira menjatuhkan sebuah patung kaca di ruangannya.
Tanpa membuang waktu lama lagi pria itu bergegas menuju ruangannya. Dia berharap Amira tak akan terluka. Diikuti oleh Shopia mereka sama-sama ke ruangannya Max.
"Amira kau.." Amira menoleh mendapati Max berada di pintu.
"Om !!" Serunya dia langsung berhamburan memeluk tubuh Max.
"Syukurlah kau tak apa-apa, aku sangat merisaukanmu." balasnya sembari memeluk Amira.
"Apa kau tidak apa-apa, kata Sophia kau memecahkan patung kaca." kata Max setelah melepas pelukannya.
"Soal itu.." kata Amira terhenti memandang pada patung kaca yang telah berdiri tegak seperti semula.
Anehnya, patung kaca itu dalam keadaan baik-baik saja dan tidak tergores sama sekali. "Amira sudah memperbaikinya om" lanjut gadis itu.
Sophia termangu melihat patung tersebut, dia yakin dari tadi dia melihat patung yang sama tapi hancur berantakan di lantai. tapi kenapa bisa kembali seperti semula bahkan lebih bagus.
Max menatap tajam pada Sophia. "Sophia, kau ini bekerja atau melamun sih ?! Lihat patungnya baik-baik, tidak terjadi apa-apa pada patungnya. Kau membuatku panik setengah mati tahu?!"
"Tapi Tuan... tadi..." Sophia kehabisan kata-kata karena ketakutan melihat sikap Max.
"Sudah?! Besok jangan melakukan hal yang seperti ini lagi mengerti?!"
"Mengerti Tuan, maafkan aku."
"Jaga Amira, kali ini lakukan yang benar."
"Baik Tuan" sahut Sophia.
Max yang hendak pergi di tahan oleh Amira yang memegang lengannya kuat, dia lalu menoleh pada Amira "Om Amira mau pulang. Amira tidak suka di sini."
"Tapi Amira..."
"pokoknya Amira mau pulang, sekarang!!"
Max menghela napas mendengar rengekan gadis kecil itu. "Baiklah, Om akan membawa pulang Amira tapi dengan satu syarat Om harus selesaikan meeting ini baru bisa bawa pulang Amira, Ok?" Amira cemberut mendengar persyaratan Max.
"Om janji tidak akan lama."
"Janji ya ?"
"Iya janji." Akhirnya dengan pasrah Amira menunggu kembali Max selesai dengan rapatnya.