Darren sudah tumbuh menjadi anak yang pintar dan senang berbaur, dia berusia tujuh tahun kini. Ikut Bagus ke sungai untuk memancing ikan, hari ini Bagus pulang dari pasar cukup cepat karena dagangannya sudah habis terjual.
Seperti janji Andi yang akan mengirimi mereka uang, dia pun menepatinya, setiap bulan selalu ada kiriman uang untuk adik-adiknya dan Darren, meskipun ibunya tetap saja tak pernah menyisihkan untuk Darren karena kebenciannya.
Bagus mendapatkan dua ikan mujair cukup besar, sementara Darren berenang di sungai jernih itu. Dia sangat senang, Bagus menyalakan api dan memanggang kedua ikan itu, dia hanya membawa garam untuk ditaburkan di ikan bakar tersebut, dia tahu Darren jarang mendapatkan protein yang cukup, tubuhnya tampak kurus dan kusam.
Meskipun sedih namun dia tak bisa berbuat banyak, Rukmi akan menggila jika dia berdebat tentang Darren, dia berkata Darren mengingatkannya akan kepergian Anto dan dia membenci itu. Entah setan apa yang merasuki Rukmi sehingga bersikap demikian terhadap anak tak berdosa itu.
Terkadang Bagus memikirkan kedua adik Darren, apakah mereka mendapat kasih sayang yang cukup? Dia sangat berharap kedua orang tua Davin dan Devan melimpahi mereka dengan kasih sayang dan kecukupan, tak seperti Darren yang harus hidup susah bersamanya. Tak terasa air mata Bagus menetes. Seandainya adiknya masih hidup, pasti Darren tak akan berpisah dengan kedua kembarannya, pasti Darren akan menjadi anak yang ceria.
Dia bahkan harus menunda sekolahnya karena tak ada biaya. Bagus tak tahu apakah tahun ajaran baru yang sebentar lagi dimulai, dia bisa menyekolahkan Darren?
Darren berlarian membawa batu berwarna hijau gradasi merah. Lalu meletakkan di dekat api unggun.
“Padeh, liat batunya bagus,” ujar Darren. Bagus tersenyum dan mengacak rambut keponakannya, lalu dia membuka baju dan celana Darren, meletakkan di atas batu kali yang paling besar dan terkena sinar matahari, istrinya pasti akan marah jika Darren pulang dalam keadaan basah.
Semenjak Andi pergi, dia mencuci baju seluruh keluarga, karena Rendi tak pernah becus mencuci baju, tak seperti Andi. Biasanya Rukmi akan marah dengan pekerjaan Rendi, membuat Rendi kian malas.
Darren hanya mengenakan celana dalam, itupun diikat karet karena sudah melar. Lagi-lagi Bagus menyusut air matanya.
“Pakde ikannya sudah matang,” tunjuk Darren membuyarkan lamunan Bagus. Bagus mengambil ikan yang telah ditusuk sebilah bambu itu dan menaburkan garam di atasnya. Darren memakannya dengan lahap.
“Enak?” tanya Bagus.
“Enak banget,” ucap Darren dengan senyum polosnya membuat hati Bagus kian tercubit.
***
Sesampainya di rumah, Bagus memberikan beberapa ikan hasil tangkapan ke istrinya. Rukmi mendengus sebal, malas mengolahnya hingga Bagus yang akan membersihkannya dahulu.
“Makan sana!” sentak Rukmi, Darren menggeleng.
“Sudah kenyang, bukde,” ucap Darren, Rukmi memelototkan matanya ke arah Bagus.
“Kalian habis makan di luar? Bukannya irit-irit!” sentak Rukmi. Darren mengkerut ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Bagus.
“Tadi bakar ikan di sungai, nggak keluar uang,” tutur Bagus.
“Halah alasan! Sini kamu! Bude udah capek masak malah makan di luar!!” teriak Rukmi, Darren ketakutan dan berlari ke arah rumah nenek, hanya di sana dia merasa aman.
“Selalu saja kabur jika salah!” teriak Rukmi.
“Bu! Cukup! Jangan terus memarahinya!” ucap Bagus dengan nada tinggi.
“Tuh, demi anak sial itu bapak sudah membentak ibu!” dengus Rukmi seraya masuk ke dalam rumah. Bagus hanya menggeleng lemah, meletakkan ikan tersebut di sangkutan paku dan berjalan ke rumah ibu mertuanya, melihat Darren.
Darren justru tertidur di dipan reyot sang ibu mertua yang membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Dimarahi Rukmi lagi dia?” tanya nenek seraya menatap menantunya. Bagus duduk di dekat Darren, menatapnya dengan pandangan sedih dan mengangguk.
“Rukmi sangat keras kepadanya, kasihan padahal dia yatim piatu. Dia sudah harus sekolah kan?” tanya nenek. Bagus mengangguk.
“Belum ada biaya, Bu. Tapi jika ditunda tahun depan lagi, nanti justru akan berbarengan dengan Novi,” ucap Bagus seraya menunduk sedih. Nenek menatap Darren. Lalu berdiri, menuju lemari jatinya, mengambil benda yang berada paling bawah bajunya, sebuah dompet dengan resleting yang sulit dibukanya.
“Bawa ke toko emas, sekolahkan Aen, dia berhak mendapat pendidikan,” ucap nenek seraya menyerahkan kalung emasnya. Dengan tangan gemetar Bagus menerima kalung itu.
“T-tapi, Bu. Bagaimana jika anak ibu yang lain tahu?”
“Sssst jangan bicara sama siapa-siapa termasuk Rukmi, bilang saja kamu dapat sumbangan dari orang lain untuk Darren, kasihan dia harus sekolah, semakin tua nanti akan semakin malu dia sekolah, ibu ikhlas,” ucap nenek. Bagus bersujud mencium kaki sang ibu mertua yang sangat baik.
“Bu, padahal dia bukan cucu kandung ibu,” isak Bagus.
“Dia cucu ibu, dan selamanya akan jadi cucu ibu, sudah sana mumpung belum tutup toko emasnya, besok daftarkan Aen sekolah, dia pasti akan senang, beli juga keperluan sekolah untuknya,” ucap nenek. Menepuk bahu Bagus, Bagus mendongak dan menyeka air matanya, lantas dia langsung berdiri untuk berlari pergi ke pasar menjual kalung milik ibu mertuanya. Dia terus berdoa agar mertuanya diberi kesehatan dan rejeki yang luas karena telah menyayangi anak yatim piatu seperti Darren.
***
Karena uang dari nenek, hari ini, Darren masuk sekolah seperti yang lainnya.
Bagus mengantarnya sampai depan gerbang, Darren memakai baju bekas lungsuran dari keponakan Rukmi yang kini kelas tiga SD. Hal itu dikarenakan Bagus tak tega menghabiskan seluruh uang milik ibu mertuanya. Jadi dia hanya mengambil untuk membeli buku paket dan juga bayar pendaftaran sekolah. Dia berjanji akan membelikan Darren baju baru setelah menyisihkan uang. Sisa penjualan kalung, dibelikan cincin untuk simpanan sang mertua.
Meskipun tak seputih seragam yang lain, namun seragam itu masih tampak baik. Sedikit kebesaran untuk tubuh Darren yang kurus kering itu.
Bagus melambaikan tangan ke arah Darren yang tampak senang, kemarin dia diajak melihat kelasnya sehingga dia sudah tahu dimana dia harus masuk.
Sementara Bagus mengayuh sepedanya menuju pasar, membawa barang dagangannya. Kesiangan, namun tak apa-apa, dia sangat ingin mengantar Darren di hari pertamanya sekolah.
Sesampai di pasar, Darren terus merenung. Barang dagangannya tak laku, dia sangat sedih, padahal dia berjanji untuk menyisihkan uang, demi membeli seragam Darren.
“Rian, mau makan pepaya?” tanya seorang ibu muda ke putranya yang berada di gandengan tangannya. Seolah mengingatkan Darren akan sebuah nama, ya Rian! Bukankah dia berjanji membantu Darren. Bagus melayani pembeli itu dan langsung pulang ke rumah membawa barang dagangannya yang masih banyak.
Dia ingin mencari nomor telepon Rian, semoga masih ada.
Bagus mengayuh sepedanya sekuat tenaga, segera berlari masuk rumah saat sampai. Membuka tas lama milik Darren yang masih tersimpan di lemari terbawah, dia melihat banyak kertas termasuk tagihan rumah sakit yang dulu telah dilunasi dokter yang mengadopsi Devan.
Menemukan secarik kertas dengan tulisan yang mulai pudar, berisi nomor telepon Rian. Dengan cepat dia turunkan barang dagangannya di atas dipan dan kembali mengayuh sepeda mencari wartel terdekat.
Dia menelepon nomor Rian sambil berdoa agar Rian masih tinggal di sana. Tak berapa lama panggilannya diangkat seorang pria.
“Bisa bicara dengan Rian?” tanya Bagus dengan suara bergetar.
“Iya saya sendiri, dari siapa ya?” tanya Rian, Bagus menghela napas panjang, sebuah kelegaan tersirat dari wajahnya.
“Rian, ini Bagus kakak almarhum Bagas, masih ingat?”
“Mas Bagus? Tentu mas, bagaimana kabar Darren?” tanya Rian yang nada suaranya terdengar senang. Bagus pun menceritakan tentang Darren dan juga mengutarakan apa yang menjadi tujuannya menelepon.
Rian terdengar tidak keberatan, dia memang sedang cuti karena istrinya melahirkan, namun di rumah ada keluarganya yang membantu merawat sang istri, sehingga dia akan segera ke kediaman Bagus untuk membelikan Darren baju juga buku dan peralatan sekolah yang dibutuhkan, istrinya pun menyetujuinya karena dia sangat tahu bahwa selama ini sang suami menunggu telepon dari Bagus untuk mengabari tentang Darren.
Semasa hidup, Bagas banyak membantunya, sehingga kini waktunya bagi dia untuk membalas budi kepada anaknya.
***
Keesokan harinya, sepulang sekolah. Rian membawa mobilnya menjemput Darren, bersama Bagus mereka menuju pusat perbelanjaan. Rian sangat sedih melihat penampilan Darren, memakai sepatu usang dan juga tas bekas. Karenanya dia membelikan beberapa pasang sepatu sekaligus, juga tas yang cukup kuat dan bagus, dia tak peduli dengan harganya. Dia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Darren.
Setelah itu dia membelikan seragam sekolah untuk Darren dan juga peralatan sekolah lainnya yang semuanya tentu baru dan bagus, cukup banyak, bahkan mungkin cukup untuk dua sampai tiga tahun ke depan. Bahkan Rian sempat mengajak Bagus dan Darren singgah ke toko sepeda untuk membelikan Darren sepeda karena katanya anak-anak biasa memakai sepeda.
Lalu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang tunai yang diminta langsung dibayarkan ke sekolah Darren untuk bayaran bulanannya selama setahun penuh.
Bagus langsung menyelipkan amplop itu di saku celana agar Rukmi tak tahu, biarlah dia menanggung dosa berbohong pada istri, dia tak mau Darren direnggut lagi haknya.
“Mas, ini nomor ponsel aku, jika terjadi sesuatu atau jika mas butuh sesuatu untuk Darren, Mas hubungi nomor ini saja ya, aku akan cepat mengangkat panggilan jika ke nomor ini, khawatir jika aku kerja atau di luar sehingga Mas nggak bisa menghubungi aku di nomor rumah,” ucap Rian.
“Ponsel itu apa?” tanya Bagus. Rian tersenyum dan mengeluarkan sebuah benda dari tasnya, ukurannya cukup besar karena di tahun itu ponsel belum banyak beredar.
“Ini nggak ada kabelnya?” tanya Bagus.
“Nggak ada Mas, karenanya disebut telepon genggam,” kekeh Rian. Karena hari yang semakin sore, dia pun berpamitan, tak lupa memberikan beberapa lembar uang ke Rukmi untuk membeli makan. Rukmi tersenyum senang, sudah lama tak memegang uang sebanyak itu. Dia bersikap bak ibu baik hati kepada Darren di depan Rian, membuat Bagus menggeleng, seandainya Rukmi bisa bersikap seperti itu terus kepada keponakannya, namun dia tahu hal itu tak mungkin.
Rian memeluk Darren dan mengecup kepalanya, menatap mata Darren yang mewarisi mata Bagas, sahabatnya. Dia berharap Darren bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan baik seperti ayahnya. Andai dia bisa, ingin dia mengadopsi Darren, namun dia tahu hal itu hanya akan melukai Bagus karena dipisahkan dengan seluruh keponakannya, karena itu dia mengurungkan niatnya dan akan menyokong Darren dari belakang.
***