Tujuh

1436 Kata
“PLAK!!!!” tamparan di b****g Darren terdengar jelas. Darren membungkuk, berpegangan di tembok. Dia bahkan belum melepas seragam sekolahnya yang kotor akibat terjatuh dari sepeda tadi. Sebuah musibah yang tanpa di duganya. Darren yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah dasar itu, sejak Novi mulai sekolah kelas satu beberapa bulan belakangan, ikut di bonceng di sepedanya dan naasnya, mereka dikejar beberapa angsa di perjalanan pulang sekolah hingga Novi jatuh tersungkur dan siku tangannya terluka. Novi hanya menunduk seraya menangis, tak bisa berbuat banyak karena dia pun merasa sakit. “Kamu sengaja mau celakain Novi iya?! Memang anak nakal kamu!!” jerit Rukmi seperti orang kesetanan. Dia bahkan mengambil pukulan kasur, ya sebuah benda mirip seperti raket berbahan rotan yang biasa digunakan untuk memukul kasur kapuk ketika dijemur untuk membersihkan debu atau tungau yang menempel di kasur itu. Darren bahkan tak meneteskan air mata sama sekali, terbiasa di pukul oleh bukde nya meskipun rasa sakitnya tentu tak tertahan. Rukmi pun menghantamkan benda rotan itu ke b****g Darren. Suaranya sangat menyayat hati. Darren menggigit bibirnya sendiri, sakit! Matanya sampai berkaca-kaca. Sejak mulai mengingat bahkan dia sudah tahu bahwa kedua orang tuanya meninggal dan dia dirawat dengan keluarga pakdenya. Hanya saja dia tak pernah diberitahu bahwa dia mempunyai adik kembar. “Bu ... sudah, mas Darren nggak salah,” tukas Novi seraya memegang tangan ibunya. “Minggir kamu! Kamu mau terbunuh jika dia mencelakai kamu!!” teriak Rukmi seraya mendorong putrinya. “Bu ...,” isak Novi yang terus mendekati ibunya dan memegang kakinya untuk menghentikan sang ibu memukul Darren. Sayangnya Tari dan Rendi sedang tak ada dirumah, mereka belum pulang sekolah. Barulah setelah puas memukul Darren, Rukmi melempar benda itu. “Sudah sana cuci bajumu besok dipakai sekolah! Isi semua bak dengan air!” ujar Rukmi sambil menarik napas panjang dan meninggalkan Darren yang kini berusaha berdiri di atas kedua kakinya. Novi membantu Darren. Dan disela kesakitannya Darren masih tersenyum ke arah Novi yang menangis. Gadis kecil berusia enam tahun itu memang sangat menyayangi Darren. “Mas ...,” isak Novi. Darren mengusap kepalanya dan berjalan ke arah halaman belakang ke sumur timba dibantu oleh Novi. Darren melangkah dengan tertatih karena kesakitan. Tentu saja, siapa yang tak sakit dipukul seperti itu? “Sudah kamu pulang sana, nanti bukde marah kalau kamu di sini, kalau tercebur sumur, mas lagi yang disalahin,” ucap Darren seraya memegang tali timba itu. Novi menggeleng dan duduk tak jauh dari Darren. “Aku duduk di sini, temani mas,” ucap Novi. Darren melihat mata Novi yang masih memerah karena menangis itu. Lalu dia menggeleng perih dan berusaha mengisi ember timbaan dengan air dan menariknya ke atas, lalu memenuhi bak-bak yang tersedia. Seandainya nenek masih ada, mungkin dia akan berlari ke rumahnya, nenek akan mengusap bokongnya dan membiarkannya tertidur di dekapannya. Sayang sang nenek telah berpulang bulan lalu, membuat hati Darren kian sunyi seolah tak ada tempat mengadu lagi, karena jika dia mengadu kepada pakdenya, pakde akan bertengkar dengan bukde, dan Darren tak menyukai hal itu. *** Berbanding terbalik dengan kehidupan Darren di desa. Devan atau yang dikenal dengan nama Enzi baru saja pulang sekolah, turun dari mobil mewahnya di negara Singapura tersebut. Pengasuhnya berlari tergopoh menghampirinya. Enzi mendengus dan melemparkan tasnya ke arah pengasuh yang telah mengasuhnya setahun belakangan ini. Tingkah Enzi yang kelewat manja membuat para pengasuhnya tak betah sehingga hampir setiap tahun dia berganti pengasuh. Dia memang mempunyai orang tua yang merupakan konglomerat, namun dia tak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Kedua orang tuanya sangat sibuk mengembangkan bisnis mereka. Mereka selalu bepergian bersama keluar negeri atau kemana pun itu. Ketika di rumah pun, mereka akan sibuk dengan ponsel dan laptop mereka, membuat Enzi merasa sendirian, karena itu lah dia cari perhatian dengan seluruh pekerja di rumah itu, membut ulah atau apapun agar orang tuanya mengingatnya, mereka akan memperhatikannya namun hanya bertahan sebentar, karena setelah itu mereka kembali kepada kesibukannya. “Aku mau minum jus buah naga!” ucap Enzi seraya mengentakkan sepatu mahal dengan lampu menyalanya itu. “T-tapi buah naga sedang tidak ada tuan muda,” ucap pengasuh muda itu. “Aku bilang, AKU MAU BUAH NAGA! SEKARANG!” ucap Enzi lagi membuat asisten rumah tangga lainnya yang berada di rumah itu menoleh seraya menggeleng. “Mbak buatin jus pisang pakai s**u saja ya?” tawar pengasuh muda itu. “Nggak!” “Tapi buah naganya tidak ada, Tuan muda, di supermarket juga tidak ada karena memang belum musim. Nanti dikirim dari Indonesia ya,” ucap pengasuh itu masih dengan senyum di bibirnya, mengekor Enzi ke kamar. “Buatin sussu aja! Pakai es! Sekarang!” perintah Enzi seraya duduk di ranjang dan mengambil mainan tamagochi miliknya. Sebuah benda kecil yang isinya permainan merawat hewan. Pengasuh itu meletakkan tas Enzi dan membuka sepatu Enzi. Enzi kini berbaring sambil terus memainkan benda berukuran kecil itu. “Ganti baju dulu ya, Tuan muda,” ucap pengasuh itu, Enzi mendelik dan mendecakkan lidahnya sebal hingga pengasuh itu mengalah dan undur diri membuatkan es sussu untuk majikannya itu. Setelah es sussu jadi, pengasuh itu membawa kembali ke kamar Enzi, kamar yang berfasilitas sangat lengkap. Segala apapun ada di kamar itu, dari komputer, televisi berukuran besar, nintendo dan seluruh permainan tercanggih tahun itu. Saat pengasuh itu memberikan gelas sussu, Enzi menerima dengan tetap memperhatikan peliharaan di gamenya dan tangan Enzi tak sengaja menyampar gelas itu hingga es sussu itu tumpah. “ARGHHHHHHH! KAMU KURANG AJAR! Aku akan minta mami pecat kamu!” ujar Enzi seraya beranjak dari ranjang dan membuka kancing seragamnya. Pengasuh itu berlutut dengan tangan gemetar. “Maaf Tuan, mbak nggak sengaja, jangan pecat mbak, mbak punya anak bayi di kampung, mbak mohon Tuan, ampuni mbak satu kali ini saja,” ucap pengasuh itu. “Ngomong sama tangan!” ujar Enzi seraya melemparkan seragam sekolahnya ke muka sang pengasuh. Lalu dia berjalan ke lemari, mengambil kaos dan memakainya sambil berjalan keluar kamar. Meninggalkan pengasuh itu yang masih terisak, memikirkan nasibnya. *** “Aku pulang ... bun ... bunda dimana?” ucap seorang anak pria berusia delapan tahun itu dengan suaranya yang terdengar gembira, Davin yang telah berganti nama menjadi Ravin itu tumbuh menjadi anak yang ceria dengan senyum yang selalu terbit dari bibirnya. Pakaiannya sangat bersih dan rapih, mengenakan jam tangan hitam dengan sepatu yang juga berwarna hitam. “Anak bunda sudah pulang? Bagaimana hari ini? Menyenangkan?” tanya Triana menghampiri Ravin. Ravin mencium punggung tangan sang ibu yang memakai apron melapisi bajunya itu, tentu dia tahu bahwa ibunya pasti sedang memasak makan siang. “Bun, tahu nggak? Tadi aku juara dua lho saat praktek lari, seharusnya bisa juara satu, tapi karena tali sepatu aku copot jadinya aku jatuh deh dan kalah,” ucap Ravin dengan nada suara kecewa. “Kamu jatuh sayang? Luka nggak, coba bunda lihat,” ucap Triana menghentikan langkahnya dan membungkuk melihat lutut putra semata wayangnya itu. “Sudah diobati bu guru, Bun. Tadi luka sedikit, sekarang sudah nggak apa-apa,” ucap Ravin. “Benar? Kamu nggak apa-apa?” tanya Triana seraya mendongak karena dia yang masih membungkuk melihat lutut anaknya yang tertempel plester. “Benar kok Bun, nggak apa-apa,” ucap Ravin. Triana tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Anak bunda hebat, bisa juara lari, bunda bangga banget sama kamu,” ucap Triana, tersenyum hangat kepada Ravin. “Siapa dulu? Ravin gitu lho,” ujar Ravin seraya tersenyum lebar. “Nah sekarang, kamu ganti baju, habis itu makan dan minum obat agar lukanya nggak infeksi,” ujar Triana. Ravin pun mengangguk lalu berjalan ke kamarnya, sementara Triana kembali ke dapur, namun Ravin segera membalik tubuhnya dan berlari mengejar sang ibu dan memeluk dari belakang. Triana sampai terkejut, namun dia tersenyum lembut seraya mengusap tangan kecil sang anak yang sangat dicintainya itu. “Anak bunda lagi manja ya?” tanya Triana. “Bunda masak apa?” tanya Ravin dengan tetap memeluk sang ibu dari belakang. Dia selalu senang menghirup aroma tubuh sang ibu yang wanginya sangat manis.   “Udang goreng tepung, kesukaan kamu,” ucap Triana. Ravin melepas pelukannya dan Triana berbalik tubuh menatap putranya. “Kenapa sayang?” Ravin menggeleng dan mendongak tersenyum pada ibunya, “aku cuma mau bilang kalau aku sayang bunda,” ucap Ravin. Triana memeluk Ravin dan mengecup keningnya, “bunda juga sayang Ravin, sayang banget. Ravin itu anugerah terindah yang bunda miliki, hadiah dari Tuhan untuk Bunda.” Ravin mengangguk dan tersenyum lebar, dia sangat senang mempunyai orang tua yang melimpahinya dengan kasih sayang seperti ini. Begitulah tiga anak kembar yang hidup terpisah itu menjalani kesehariannya. Dan pola asuh tentu mempengaruhi karakter ketiganya, yang hidup sangat berbeda antara satu dan lainnya. Yang akan dipertemukan Tuhan dengan cara yang tak pernah disangka. ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN