Lima

1472 Kata
Karena sang ibu yang terus menangis, Andi yang genap berusia lima belas tahun pun mengambil alih tugas rumah, membantu kedua adiknya mandi dengan menimba air. Maklum belum ada mesin air kala itu. Sumur pun berada sekitar dua puluh meter dari rumah dan merupakan sumur keluarga besar sang ibu yang juga mempunyai dua kakak yang tinggal di dekat rumah ibunya. Anak ketiga Bagus bernama Rendi, saat ini berusia sepuluh tahun, sementara anak ke empat bernama Tari, berusia tujuh tahun, dipikir mereka tak akan mempunyai anak lagi, namun ternyata Rukmi justru hamil di usianya yang sudah empat puluh tahun ini. Darren sudah tak mengenakan baju, Rendi dan Tari membantunya mandi sementara Andi terus saja mengisi air bak. “Rendi, bantu mas Andi cuci baju ya, Tari nanti bantu Darren pakai baju,” perintah Andi. Berbeda dengan Anto, Andi justru terlihat dewasa dan bijaksana, dia juga sangat menyayangi adik-adiknya. “Tapi nanti kita terlambar masuk sekolah, Mas,” ucap Rendi. Andi hanya menggeleng. “Kita selesaikan cepat-cepat, masih ada waktu, daripada diamuk ibu,” ucap Andi. “Mas, Tari lapar,” ucap Tari seraya menyabuni Darren. “Sabar ya, habis ini mas ke tempat nenek barangkali nenek sudah memasak nasi,” ucap Andi. Tari pun mengangguk lantas dia membasahi bajunya dan memakai sabun di luar baju itu. “Lho kok basah-basahan?” ujar Rendi membuat Andi tertawa. “Kan bajunya mau dicuci, biar bersih sekalian, aku malas ke bilik,” dengus Tari, Rendi menggeleng tak percaya dan mulai menginjak-injak baju yang telah diberi sabun di dalam bak. Dekat sumur timba itu memang ada bilik untuk mandi. Setelah mandi, Tari menggendong Darren ke dalam rumah, meski agak kesulitan karena tubuh Tari yang kurus. Sang ibu masih berbaring seraya terisak. Tari mengambil baju Darren dan memakaikannya. Lalu dia memakai seragam sekolahnya. Setengah berlari, Andi menuju rumahnya, membawa empat gulungan nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Dia menghampiri Tari dan Darren yang duduk di dipan. “Itu apa, Mas?” tanya Tari. Andi membuka salah satu bungkusan daun pisang yang dibuat mirip seperti lontong itu. “Nasi hangat pakai garam, nenek baru masak nasi dan belum masak lauk. Kamu suapi Darren ya, Mas mau ke belakang lagi,” ucap Andi, mengusap rambut Darren yang basah dan belum disisir. Dia membawa dua nasi ke belakang, untuknya dan untuk Rendi. Sementara Tari menyuapi Darren, meski hanya nasi dan garam namun rasanya enak, mungkin karena perutnya lapar. Awalnya Darren seperti menolak namun Tari berhasil membujuknya sehingga Darren mau mengunyah nasi itu. *** Sudah sangat siang, saat Bagus kembali ke rumah dengan langkah gontai mendorong sepedanya. Darren bermain seorang diri di ruang tengah dengan mainan yang sengaja dibawanya dari rumahnya. Bagus membuka gorden yang dibuat pintu kamar itu, melihat ke arah sang istri yang masih berbaring. “Sudah makan, Bu?” tanya Bagus, Rukmi menggeleng dan menyusut air mata dengan kain yang dipegangnya. “Ketemu Anto?” Bagus menggeleng sedih, “kata temannya semalam dia langsung naik bis ke kota, namun bapak tidak tahu dia kemana? Bapak coba ke kota tadi ... tapi tidak menemukannya dimana pun? Kemungkinan dia sudah pergi naik kereta,” ucap Bagus. “Anto ... kenapa kamu seperti ini Nak!” isak ibunya, “dulu kamu anak baik dan penurut,” imbuhnya seraya mencoba duduk. “Sudahlah, Bu, sekarang kita irit-irit pengeluaran untuk s**u Darren juga, besok bapak mulai berkebun lagi, hari ini bapak lelah.” Bagus bersandar di dinding dengan kaki berselonjor, Rukmi pun beranjak, dia tahu nasi sudah menjadi bubur, Anto pasti sudah pergi jauh. Dia pun bersiap membuat masakan untuk anak-anaknya yang sebentar lagi akan pulang sekolah. Melirik ke Darren yang memainkan mobilannya, Rukmi pun menggeleng perih. Dia merasa Tuhan sedang mengujinya dan dia tak tahu apakah dia akan kuat melalui ujian ini? *** (Tiga tahun kemudian) Kini Darren sudah berusia lima tahun, sama seperti kondisi ke-empat anak Bagus lainnya, Darren tampak tak terurus, pakaiannya lusuh dan kumal nyaris tak pernah di setrika. Bahkan dia memakai pakaian bekas dari anak Bagus. Hanya setahun sekali mereka membeli pakaian baru, itu pun paling banyak hanya dua pasang. Bagus pernah jatuh dari pohon kelapa dulu, itu sebabnya dia tak bisa bekerja berat dan hanya mengandalkan hasil ladang. Setiap hari dia akan berjualan di pasar membawa sepedanya. Dari buah pepaya, daun pepaya atau daun singkong dan terkadang berjualan pisang, atau apa saja yang bisa dia jualnya yang penting keluarganya bisa makan dan menyisihkan sedikit untuk bayaran sekolah anak-anak. Tahun ini Andi sudah lulus SMA dan dia ingin mengadu nasib ke kota, temannya mengajak menjadi buruh pabrik dan dia sudah menyetujui itu, dia sangat ingin membantu orang tuanya meskipun hanya sedikit. Di desa tak ada pekerjaan yang bisa digelutinya. Sementara Anto benar-benar tak pernah pulang setelah itu, bahkan ijazahnya saja diantarkan gurunya ke rumah karena Anto memang telah selesai ujian. Andi berjongkok memeluk Darren, meskipun mereka hanya sebatas sepupu, namun Andi sangat menyayangi Darren seperti menyayangi adiknya sendiri, tak jarang dia yang memberikan jatah makannya untuk Darren, sang ibu memang keterlaluan, memisahkan makanan untuk Darren dan dilakukan tanpa sepengetahuan suaminya. Jika kebetulan dia memasak ayam, Darren hanya diberi ceker atau kepala, membuat Andi sedih dan memberikan dagingnya secara diam-diam. Sejak kepergian Anto dan kedatangan Darren, ibunya menjadi lebih sering marah dan mengamuk, membuat anak-anaknya takut untuk melawannya dan hanya bisa membela Darren diam-diam dibelakangnya. Anak balita itu bahkan sering kena pukul di b****g hanya karena kesalahan kecil yang dilakukan. Rukmi menganggap Darren membawa sial di keluarganya sehingga dia membencinya. “Darren, jadi anak baik ya, sekarang mas Andi sudah nggak tinggal di rumah lagi, jadi Darren nanti mainnya sama mas Rendi, mbak Tari dan dede Novi ya,” ucap Rendi, anak terakhir Rukmi berjenis kelamin perempuan dan kini berusia tiga tahun. Darren yang tak terlalu mengerti hanya mengangguk seraya memegangi tangan Andi. Andi mengeluarkan permen gagang dari sakunya lantas membuka bungkusnya dan menyuapi Darren yang sangat senang menerimanya. Andi menyalami adiknya yang lain dan memeluk sang ayah. “Andi janji akan mengirim uang, Pak.” Andi yang kini jauh lebih tinggi dari ayahnya itu menatap mata tua sang ayah yang menahan haru. “Jangan pikirkan itu Ndi, yang penting kamu bisa makan dan hidup nyaman dulu, jangan sampai kamu mengorbankan diri kamu sendiri,” ucap Bagus dengan suara bergetar. “Iya Pak,” suara Andi tercekat di tenggorokan, dia sebenarnya tidak tega meninggalkan keluarganya, namun jika bukan dia, siapa lagi? Dia sangat ingin merubah nasib keluarganya. Sementara sang ibu sudah terisak sambil menggendong putri terakhirnya. Andi mencium punggung tangan sang ibu dan mengecup kening adiknya. “Bu, titip Darren, tolong jangan terlalu keras kepadanya,” pesan Andi membuat ibunya berdecih sebal. Andi hanya menggeleng tak berdaya, menatap mata Darren yang tak berdosa. Lalu dia benar-benar pergi dari rumah itu membawa tas ranselnya yang sudah usang. Darren yang polos hanya bersandar pada Rendi. Tak terlihat lagi punggung Andi membuat keluarganya berpencar dan Darren bermain bersama teman sebayanya yang merupakan keponakan Rukmi. *** Darren duduk di serambi rumah nenek, dia adalah ibu Rukmi yang sudah renta dan bongkok namun masih sangat bugar. Hanya mampu melihat anak-anak lain memakan permen dan snack yang dibelinya di warung depan. Nenek menghampiri Darren dan mengusap kepalanya dengan sayang. “Aen mau jajan?” tanya nenek, yang selalu memanggilnya dengan panggilan ‘Aen’. Darren kecil mengangguk dengan sepasang mata besarnya yang menatap sedih. Rukmi hampir tak pernah memberinya uang jajan. “Yuk sama nenek,” ajak nenek seraya berdiri dan menuntun Darren. “Nenek ada uang?” tanya Darren, mendongak untuk melihat wajah wanita keriput yang sangat menyayanginya itu. Hanya nenek dan pakdehnya kini yang sering membelanya, tak jarang Darren menangis di pelukan sang nenek ketika Rukmi memarahinya atau memukulnya, meskipun di dalam tubuh Darren tak mengalir darah nenek, namun nenek sangat menyayanginya, dia yang menasehati Rukmi untuk tidak membenci Darren, namun bukan Rukmi namanya jika menurut begitu saja. Berjalan menuju warung terdekat, nenek membuka ikatan kainnya, disitulah dia biasa menaruh uang. Lalu mengeluarkan recehan, menyodorkan kepada pemilik warung yang merupakan pendatang itu. “Aen mau apa?” tanya nenek. Darren menunjuk permen gagang yang rasanya asam karena taburan bubuk berperisa stroberri itu. Di masa tersebut permen itu sangat hits. “Dua?” tanya nenek, Darren mengangguk dan melompat senang. Nenek menunjuk permen yang diambilkan oleh pemilik warung, rasa stroberri dan jeruk. “Mau apa lagi?” tanya nenek, namun Darren yang sudah memeluk kedua permen itu dengan senang pun menggeleng. Biasanya dia hanya memakan permen sisa dari Tari itupun mereka memakannya di belakang rumah agar tak ketahuan Rukmi. Nenek mengambil cemilan lain untuk Darren dan menuntunnya setelah mengucap terima kasih. Darren tampak sangat senang, menghisap permen itu mencelupkan ke bubuknya lalu memakannya lagi, senyum tak lepas dari bibirnya. Dia pun memakannya di rumah nenek, menghabiskan jajanannya. Nenek mengusap kepalanya dan Darren tertidur di pangkuannya. Meskipun aroma tubuh sang nenek tercium bau balsam, namun itu menenangkan Darren yang entah mengapa sangat menghapal aroma tubuhnya?   ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN