Setelah dibawa pulang dari rumah sakit, Davin terus saja menangis dan menolak minum s**u. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Triana sampai menghubungi orang tuanya karena dia tak mengerti cara menenangkan Davin, sepertinya Davin masih terikat dengan kedua kembarannya yang terpisah sehingga terus mencarinya. Wajar mengingat dia tak pernah melihat Triana dan Bachtiar sebelumnya.
Kedua orang tua Triana datang dan berusaha menenangkan Davin yang terus saja menangis histeris. Setelah kelelahan Davin pun tertidur di dekapan Triana. Triana mengajaknya ke kamar, sudah hampir tengah malam namun Davin baru bisa tertidur.
Ayah Triana tampak menelepon seseorang dari telepon rumah Triana dan dia meletakkan gagang telepon itu lalu menghampiri Bachtiar yang duduk di sofa. Triana dan ibunya keluar dari kamar setelah memastikan Davin tertidur pulas karena kelelahan akibat terlalu banyak menangis.
“Bapak habis menghubungi pakdemu Tri, kamu tahu kan dia ‘orang pintar’ di kampung,” ucap bapak Triana.
“Iya Pak, lalu apa kata pakde?” tanya Triana sambil menggerakkan lehernya karena pegal, Bachtiar yang duduk di sampingnya pun memijat belakang leher sang istri.
“Katanya orang tuanya masih ada di sekitarnya, wajar Nak mereka baru saja meninggal. Sebaiknya besok kita adakan acara pengajian ya untuk mendoakan mereka dan juga pakde mu bilang, sebaiknya Davin ganti nama karena namanya itu akan membuatnya menjadi anak yang cengeng dan agar bisa terlepas dari bayang orang tuanya,” ucap bapak Triana.
“Tapi pak, aku sudah berjanji tidak menghilangkan identitasnya,” ucap Triana seraya meringis, menoleh ke arah suaminya.
“Hanya satu huruf di depannya saja Nak, tidak apa-apa, tadi pakde kamu juga tanya namanya dan dia bilang ganti satu huruf saja, dari Davindra jadi Ravindra, toh di kartu kalian nanti kan tetap tersemat nama orang tua kandungnya,” ucap bapak Triana.
“Ibu setuju dengan bapak Nak, kasihan Davin jika menangis terus dia bisa dehidrasi,” ucap ibu Triana. Triana menoleh lagi ke arah suaminya yang sudah mengangguk setuju.
“Nanti jika sudah dewasa dan waktunya tepat, kita tetap akan memberi tahu asal usulnya Bun,” ucap Bachtiar. Triana pun mengangguk, mulai sekarang nama Davin akan menjadi Ravin mereka yang percaya dengan hal seperti itu memutuskan mengikuti saran pakdenya.
***
Sementara itu di kediaman Devan.
Malam ini Devan langsung dibawa ke Singapura. Rumah mewah milik Delia seolah menyambutnya, Devan bahkan sudah mempunyai baby sitter yang dibawa Delia dari Indonesia. Kesibukan Delia akan usahanya membuatnya harus membagi waktu dengan Devan nanti dan dia membutuhkan jasa baby sitter.
Suaminya tampak menyambutnya, pria berwajah oriental itu tersenyum kepada sang istri yang mendengus sebal, sementara baby sitter itu dihela oleh asisten rumah tangga mereka yang memang sudah menyiapkan kamar untuk Devan sesuai instruksi nyonya besarnya.
Delia meletakkan tas mahalnya di atas meja, lalu duduk di sofa mewah seraya melipat kakinya.
“Sudah puas bersenang senang dengan mainan kamu?” sindir Delia. Sang suami yang bernama Zephyr itu hanya menggeleng.
“Kamu bisa tidak sih sekali saja tidak curiga sama aku?” ucap Zephyr yang memang merupakan pria Indochina.
“Nggak bisa! Kamu sudah terlalu sering berselingkuh, dan bodohnya aku selalu tahu,” dengus Delia.
“Sekarang kita sudah punya anak, dan aku tidak akan selingkuh lagi, aku janji. Karena itu kamu juga luangkan waktu dong untuk aku,” ucap Zephyr seraya mengusap paha sang istri.
“Huh! Ingat yaa seluruh warisan kita nanti jatuh ke Devan! Aku tidak sudi kamu membaginya kepada keponakan-keponakan kamu itu!” sentak Delia seraya memindahkan tangan sang suami dari pahanya ke sofa.
“Iya iya, tapi satu syarat,” ucap Zephyr.
“Apa?”
“Ubah namanya, aku tidak suka. Aku sudah menyiapkan nama untuknya,” ucap Zephyr.
“Siapa?”
“Enzi Zephyr Malik,” ucap Zephyr, “dia akan menjadi pewaris tunggal Zephyr corp. aku akan membuat aktanya besok,” imbuh Zephyr. “Jadi malam ini, kita harus merayakannya kan?”
“Kamu mau berjanji tak akan pernah selingkuh lagi?” ujar Delia.
“Ya, kamu tahu kan ketika aku sudah berjanji, pantang bagiku mengingkarinya, aku merasa sudah sewajarnya kita bersikap seperti suami istri,” ucap Zephyr seraya tersenyum.
“Akhirnya masa itu tiba juga, masa dimana kamu bisa berpikir jernih,” ucap Delia dengan senyum sinisnya yang entah mengapa justru terlihat cantik.
“Kamu selalu cantik jika tersenyum, maaf aku telah melukai kamu,” ucap Zephyr seraya memajukan tubuhnya, melumat bibir sang istri. Delia membalas lumatan bibir sang suami dengan sama panasnya hingga mereka memutuskan pindah ke kamar karena tak mau terganggu dengan aktifitas para asisten rumah tangga yang melewati ruang tamu besar itu. Delia cukup senang dan menganggap Devan atau Enzi itu membawa keberuntungan baginya.
***
Di kediaman Bagus.
Bagus membuka pintu kamar reyot di rumah kayu miliknya itu, menghela napas melihat Darren yang tertidur pulas berjejer dengan sepupu-sepupu dan istrinya itu.
Bagus keluar dari rumah itu dan duduk di dipan kayu depan rumah, suara jangkrik dan serangga malam terdengar bersahutan, wajar saja karena rumah mereka dekat dengan hutan dan sawah, bahkan jarak antara satu rumah dan rumah lainnya cukup jauh.
Rumah terdekat dari kediamannya adalah rumah orang tua Rukmi yang juga sama reyot dengan rumahnya.
Datanglah pria muda dengan wajah lebam itu, anak sulung Bagus yang baru pulang dari rumah temannya dan duduk di samping sang ayah.
“Sudah puas, To?” tanya ayahnya. Anto hanya menunduk.
“Bagi uang Pa,” ujar Anto dengan tak tahu malu.
“Uang untuk apa? Kamu tahu berapa banyak uang untuk membebaskan kamu?” sentak Bagus.
“Untuk perbaiki motor! Besok bagaimana aku sekolah kalau nggak ada motor,” ujar Anto, meskipun dia sudah selesai mengikuti ujian kelulusan namun dia masih harus datang ke sekolah untuk beberapa hal.
“Naik sepeda atau jalan seperti dulu kan bisa!”
“Ah! Bapak memang nggak pernah sayang aku. Aku minta sama ibu saja!” ujar Anto sehingga ayahnya menarik tangannya dan Anto kembali duduk.
“Ibu kamu sudah lelah dan pusing, dia sedang hamil, tak ada pengertian sedikitpun dari kamu To, kamu anak pertama, harusnya kamu membantu kami, bukan menyusahkan terus,” ucap Bagus dengan menahan suaranya agar tidak berteriak.
“Memang kita dari dulu sudah hidup susah Pa! bukan karena aku, hidup kita susah!” ujar Anto seraya menatap tajam sang ayah. Lalu dia menghempaskan tangannya dan masuk ke dalam, mengambil banyak baju-bajunya dan memasukkan ke dalam tas lalu kembali keluar rumah.
“Anto! Mau kemana kamu!”
“Bapak bilang aku jangan menyusahkan bapak, aku akan pergi biar bapak nggak susah lagi!”
“Anto berhenti!” panggil Bagus namun Anto tak menggubrisnya hingga Bagus merasa sangat lemah. Dia tak tahu lagi bagaimana mendidik anak pertamanya itu? Dia sangat lelah, biarlah Anto sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Bukan berarti dia tak sayang dengan anak pertamanya, namun dia benar-benar sudah lelah dengan kelakuannya yang selalu seenaknya. Dia tak tahu bahwa Anto pergi membawa uang tunai miliknya yang diberikan oleh Rian dari menjual rumah adiknya itu. Sepertinya Anto sudah merencanakan semuanya.
***
Keesokan paginya, Rukmi berteriak dan mengacak lemarinya hingga Bagus yang tertidur di dipan luar rumah, berselimut kain sarung melonjak kaget dan segera berlari ke dalam. Ke tiga anak Bagus, juga Darren ikut terbangun. Darren langsung di peluk Andi, putra kedua Bagus yang kini menginjak bangku kelas tiga sekolah menengah pertama.
“Ada apa, Bu? Teriak pagi-pagi,” tanya Bagus seraya mengucek matanya, dia bahkan baru dapat tertidur sekitar dua jam saja. Sehingga kepalanya terasa sangat pening.
“U-uang kita Pak, uang kita hilang!”
“Memang ibu taruh dimana?”
“Di sini, Pak, di dalam lemari, di bawah baju. Astaga Gusti!!!” jerit Rukmi tak berdaya, terduduk lemah di lantai dengan baju yang sudah porak poranda. Bagus langsung dapat menebak siapa yang mengambilnya. Siapa lagi jika bukan Anto? Anak pertamanya yang selalu saja membuat onar, dia pasti telah merencanakannya karena saat pulang kemarin dia sempat melihat sang ibu mengeluarkan amplop.
“Pasti Anto, dia pergi semalam membawa tas dan bajunya,” tukas Bagus seraya membalikkan tubuh hingga tangannya di pegang sang istri.
“Bapak jangan menuduh! Anak kita bukan pencuri!” bela Rukmi terhadap anak kesayangannya.
“Bu! Terus saja ibu memanjakannya, biar dia semakin besar kepala!” kali ini Bagus tak dapat menahan kesabarannya lagi, melepas tangannya dari pegangan sang istri.
“Bapak mau kemana?”
“Bapak mau cari itu si Anto, coba ibu lihat yang lain ada yang hilang nggak?”
Rukmi mengambil tas Darren dan menghela napas melihat isinya, “Buku tabungan dan uang dari pengadopsi Davin juga Devan masih ada, yang hilang justru yang paling besar, uang rumah Bagas,” isak Rukmi, dia sudah membayangkan akan membeli sawah di kampung agar suaminya menanam padi sendiri, bukan seperti saat ini harus bertani di sawah orang dengan sistem bagi hasil yang lebih sering tak adil.
“Bapak akan cari Anto,” ucap Bagus.
“T-tapi bapak yakin Anto yang ambil?”
“Andi melihatnya Bu, mas Anto memasukkan amplop cokelat ke dalam tasnya, Andi pikir ... Andi nggak tahu jika amplop itu berisi uang,” ucap Andi seraya memeluk Darren yang kembali tertidur di pelukannya. Rukmi semakin tampak lemah. Sementara suaminya sudah berjalan keluar rumah, mengambil sepeda di samping dan melajukannya, dia akan mencari Anto di tempat nongkrongnya. Udara pagi yang terasa dingin menusuk kulit bahkan tak dipedulikannya.
Dia hanya ingin mengambil hak Darren yang dicuri anaknya. Tanpa terasa airmata Bagus menetes, dia merasa benar-benar telah gagal mendidik anaknya. Dia sangat kecewa saat ini.
***